Oleh: Dr. Sahara, Dosen Departemen Ilmu Ekonomi-FEM-IPB dan Adjunct Associate Professor-Adelaide University, Australia

Seperti yang kita ketahui pada tahun 2024 rakyat Indonesia akan menggelar pesta demokrasi terbesar sepanjang sejarah. Untuk pertama kalinya pada pemilu 2024, rakyat Indonesia akan memilih langsung presiden (dan calon presiden), calon anggota legislatif (tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota), dan kepala daerah (tingkat provinsi hingga kabupaten/kota) secara serentak.

Jelang Pemilu 2024 berbagai konten hoaks (berita bohong) hate speech (ujaran kebencian) diperkirakan akan meningkat dan berpotensi menimbulkan kesimpangsiuran informasi.  Kesimpangsiuran informasi berpotensi menimbulkan berbagai ketidakpastian dan berdampak pada berbagai aspek kehidupan bangsa termasuk bidang ekonomi. 

Diera industri 4.0, penyebaran informasi melalui sosial media berlangsung secara masif, mudah, murah dan cepat. Berdasarkan laporan DATAREPORTAL, pada bulan Januari 2023 sebanyak 212.9 juta masyarakat Indonesia aktif menggunakan internet. Dari jumlah tersebut sebanyak 167 juta (60.4% dari penduduk Indonesia) aktif menggunakan media social (https://datareportal.com/reports/digital-2023-indonesia). Secara absolut angka tersebut merupakan angka tertinggi dengan negara Asia Tenggara lainnya.

Tulisan ini mencoba mengkaji pentingnya informasi dan bagaimana mencegah asimetri informasi termasuk di kalangan masyarakat sehingga tidak membawa kerugian terutama  kerugian di bidang ekonomi jelang perhelatan akbar Pemilu 2024.

Asimetri Informasi: Bounded rationality dan opportunistic behavior

Dalam teori ekonomi neoklasik, informasi diasumsikan bersifat sempurna yang berarti bahwa setiap pelaku ekonomi baik itu rumah tangga, perusahaan maupun pemerintah memiliki akses yang sama terhadap informasi. Teori ini juga mengasumsikan bahwa tidak ada biaya yang dikeluarkan untuk mengakses informasi.

Berdasarkan asumsi pada teori neoklasik tersebut, maka kondisi ketidakpastian tidak akan pernah ada karena semua pihak memiliki pengetahuan yang sama terhadap informasi. Namun demikian, asumsi teori ekonomi neoklasik terkait informasi tersebut kemudian ditentang oleh Wiliamson dkk.

Melalui teori ekonomi kelembagaan (institutional economics), Wiliamson (1979) menyatakan bahwa informasi pada kenyataannya tidak sempurna dimana tidak semua pelaku ekonomi memiliki akses yang sama terhadap informasi. Lebih lanjut Williamson juga menyatakan bahwa diperlukan biaya untuk mengakses informasi.

Misalnya di pasar produk pertanian, para pedagang (middlemen) lebih mengetahui informasi harga pasar dibandingkan dengan petani. Dipasar mobil bekas misalnya, penjual mobil bekas lebih memiliki informasi terhadap kondisi terakhir mobil tersebut dibandingkan dengan pihak pembeli.

Contoh lain lagi terkait asimetri informasi adalah di pasar asuransi. Pada kasus asuransi kesehatan, pihak pembeli asuransi kesehatan lebih mengetahui kondisi kesehatannya dibandingkan dengan pihak penjual jasa asuransi tersebut.

Berbagai ilustrasi yang diuraikan diatas menunjukkan bahwa asimetri atau ketimpangan informasi memang terjadi di dunia nyata. Asimetri informasi akan memengaruhi keputusan dan perilaku dari para pelaku ekonomi.

Ketika asimetri informasi terjadi, maka perilaku oportunistik dari pihak-pihak yang memiliki informasi yang lebih banyak akan muncul dan mereka yang mempunyai informasi yang lebih banyak tersebut bisa saja memanipulasi pihak-pihak yang memiliki informasi yang lebih sedikit untuk mengambil keuntungan.

Pada contoh kasus di yang dipaparkan di atas misalnya, pedagang bisa saja mengambil keuntungan dengan cara menyimpan informasi naiknya harga pasar  dan tidak menyampaikannya kepada para petani sehingga para pedagang tersebut tetap bisa memberikan harga yang murah kepada petani.

Pada kasus mobil bekas, penjual mobil bekas akan menutupi kekurangan (kerusakan) pada mobilnya agar bisa mendapatkan harga jual yang lebih tinggi dari pembeli.

Kondisi di atas (asimetri informasi) diperparah dengan  adanya bounded rationality yaitu kondisi dimana pembuatan keputusan oleh seseroang dibatasi oleh informasi dan waktu yang dia miliki. Sebagai akibatnya individu yang memiliki informasi yang lebih sedikit akan cenderung menerima saja informasi dari pihak yang memiliki informasi lebih banyak.

Dengan kata lain keputusan yang dibuat oleh pihak yang memiliki informasi yang lebih sedikit akan dipengaruhi oleh pihak yang memiliki informasi yang lebih banyak. Kondisi ini jika dibiarkan akan menyebabkan kegagalan pasar (market failure) dan akibat yang paling buruk adalah chaos (kekacauan) di tengah-tengah masyarakat.

Kita tentu saja tidak menginginkan terjadinya kekacauan tersebut. Oleh karena itu literasi informasi terutama untuk menangkal terjadinya asimetri informasi jelang Pemilu 2024 perlu dilakukan.

Literasi informasi

Kondisi jelang Pemilu 2024 dapat dianalisis melalui perspektif Wiliamson dkk. Asimetri informasi menyebabkan penyebaran berita hoaks berlangsung secara masif dan berpotensi diterima mentah-mentah oleh masyarakat terutama pada golongan masyarakat yang tidak mempunyai waktu atau malas untuk melakukan pengecekan terhadap kebenaran informasi tersebut.

Mastel (2017) melaporkan bahwa 44.3% responden yang disurvey menyatakan menerima berita hoaks setiap hari dan 17.2% menerima berita hoaks lebih dari sekali dalam sehari. Lebih lanjut Mastel (2017) menyatakan bahwa sebanyak 35% berita hoaks disebarkan melalui situs web dan sebanyak 63% disebarkan melalui aplikasi chatting seperti Whatsapp, Line dan Telegram.

Adanya bounded rationality dimana masyarakat memiliki informasi yang memang terbatas terhadap kebenaran berita hoaks tersebut, menyebabkan mereka meneruskan berita hoaks tersebut tanpa melakukan cek dan ricek terlebih dahulu. Jika informasi hoaks tersebut ditelan mentah-mentah oleh masyarakat, maka mereka akan terpolarisasi yaitu membenci pihak yang menjadi target dari berita hoaks tersebut.

Perilaku opportunistik dari pihak-pihak yang menyebarkan hoaks untuk mengambil keuntungan dari kondisi ketidakpastian akan memperparah situasi ketidakpastian dimasyarakat.  Oleh sebab itu, untuk menghindari perilaku oportunik dari pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan dari adanya asimetri informasi, Wiliamson menyarankan agar individu-individu melindungi diri mereka dalam suatu sistem kelembagaan yang baik.

Pada kasus asimetri informasi tersebut pihak-pihak yang terlibat dalam sistem kelembagaan tersebut adalah pemerintah, masyarakat, industri media dan perusahaan teknologi. Pemerintah diharapkan menjadi koordinator pada sistem kelembagaan tersebut. Agar sistem kelembagaan tersebut efektif untuk memerangi asimetri informasi, masing-masing pihak diharapkan dapat berkontribusi melalui cara-cara sebagai berikut.

Pemerintah melalui Kementerian Kominfo dan lembaga pendidikan harus terus mempromosikan pentingnya literasi informasi dan kampanye anti hoaks bagi masyarakat. Pengecekan terhadap konten berita yang mengandung informasi hoaks harus semakin ditingkatkan oleh Kominfo dan pemblokiran terhadap situs-situs atau media-media yang menyebarkan hoaks harus segera dilakukan.

Masyarakat harus selalu melakukan cek dan ricek sebelum menshare suatu informasi. Luangkan beberapa menit untuk membaca informasi secara utuh. Pastikan judul berita akurat dan mencerminkan konten atau isi berita. Berita hoaks biasanya menggunakan judul dan gambar yang provokatif dan sensasional. Langkah terakhir adalah periksa apakah situs yang menerbitkan informasi tersebut merupakan situs yang memiliki reputasi baik atau bukan.

Industri media harus bisa menyediakan jurnalisme berkualitas tinggi untuk membangun kepercayaan publik dan ikut berpartisipasi meluruskan informasi palsu yang beredar di masyarakat. Perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang teknologi bisa berkontribusi dengan menciptakan teknologi yang dapat yang dapat mengidentifikasi berita palsu.

Melalui upaya-upaya tersebut diharapkan asimetri informasi dapat dikurangi. Semua pihak diharapkan berhati-hati dalam menyebarkan informasi karena sifat informasi yang non-rivalrous dan non-exclusive dimana jika informasi sudah tersebar maka semua orang akan bisa mengaksesnya.

Jika informasi yang tersebar tersebut benar maka tidak akan menjadi masalah, namun jika informasi yang disebar tersebut salah maka masyarakat akan menanggung dampak negatif dari penyebaran informasi tersebut. Insya Allah dengan niat baik dari semua pihak, Pemilu 2024 akan berlangsung lancer dan sukses.

sumber: https://www.republika.id/posts/41738/mewaspadai-asimetri-informasi-jelang-pemilu-2024

Related Posts