Oleh: Siti Barokhah (Mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB), Dr. Dedi Budiman Hakim, Sri Retno Wahyu Nugraheni (Dosen Departemen Ilmu Ekonomi, FEM IPB)

Era globalisasi yang terus meningkat telah mendorong negara-negara internasional untuk memperluas kegiatan ekonominya, salah satunya melalui perdagangan internasional. Perdagangan internasional menjadi penghubung suatu negara untuk melakukan pertukaran barang dan jasa internasional dengan berbagai negara di dunia. Jika suatu negara memiliki sumberdaya yang terbatas untuk menghasilkan barang, maka negara perlu melakukan impor dan begitu pula sebaliknya. Dalam kurun dekade terakhir, dunia telah mengalami percepatan proliferasi Regional Trade Agreement (RTA) yang merupakan bagian dari sistem perdagangan global (WTO). RTA memiliki peranan krusial dalam mengatasi hambatan perdagangan melalui sistem perdagangan multilateral. Hingga saat ini, secara kumulatif per tahun 2023 Indonesia telah menandatangani 13 perjanjian dagang regional yang berlaku. RTA memiliki memiliki peranan penting dengan penghapusan tarif untuk mendorong peningkatan ekspor Indonesia.

Dalam lingkup regional Asia, salah satu kerjasama yang memiliki peranan besar pada ekonomi Indonesia adalah ASEAN yang diperluas dengan kerjasama dengan tiga negara di Asia Timur lainnya yaitu China, Jepang, dan Korea Selatan, selanjutnya disebut ASEAN+3. Kerjasama dengan ketiga negara tersebut dapat dijadikan pendorong ekonomi Indonesia dan negara ASEAN lainnya. Seperti yang diketahui bahwa ketiga negara tersebut dikenal sebagai negara yang cukup kuat pengaruhnya di luar kawasan dan kompetitif di bidang teknologi, pembangunan, keuntungan komparatif, dan skala perdagangan. Pencapaian ekspor Indonesia didukung oleh beberapa sektor, salah satunya adalah industri pengolahan. Ekspor industri pengolahan yang direpresentasikan oleh 10 komoditas unggulan yaitu komoditas ore (bijih) (HS 26), komoditas bahan bakar mineral (HS 27), komoditas kimia inorganik (HS 28), komoditas chemicals organik (HS 29), komoditas tanning dan tinting abstrak (HS 32), komoditas karet dan artikelnya (HS 40), komoditas kayu (HS 44), komoditas pasta kayu; kertas (HS 47), komoditas alas kaki, (HS 64), dan komoditas mutlak alam atau budidaya (HS 71).  Ekspor sektor industri pengolahan ke ASEAN+3 mencapai 57 persen dari total nilai ekspor Indonesia ke ASEAN+3. Sepanjang tahun 1999 hingga 2020 berfluktuasi baik untuk total ekspor Indonesia atau total ekspor industri pengolahan Indonesia ke kawasan ASEAN+3 (Gambar 1). Nilai ekspor industri pengolahan Indonesia tertinggi ke ASEAN+3 terjadi pada tahun 2011 dengan presentase sebesar 8 persen atau mencapai 71.31 Miliar USD. Hal sama sejalan dengan total ekspor Indonesia ke ASEAN+3 yang mencapai 115.14 Miliar USD di tahun yang sama.

Gambar 1  Total Nilai Ekspor Industri Pengolahan Indonesia ke ASEAN+3 Tahun 1999-2020 (diolah dari UN Comtrade)

Di sisi lain, nilai ekspor industri pengolahan Indonesia di beberapa negara di ASEAN+3 ternyata mengalami peningkatan setelah kesepakatan RTA ASEAN-China, namun sebaliknya mengalami penurunan setelah kesepakatan RTA ASEAN-Jepang. Penurunan tersebut juga dikarenakan pasca fenomena global finance crisis di tahun 2008 yang menyebabkan nilai ekspor industri pengolahan Indonesia mengalami tekanan. Hal tersebut terlihat pada Gambar 2 dimana nilai eskpor industri pengolahan Indonesia ke ASEAN+3 sebelum dan setelah kesepakatan RTA ASEAN-China (tahun 2005 ̶ 2006) dan RTA ASEAN-Jepang (tahun 2008 ̶ 2009).

Gambar 2  Nilai ekspor industri pengolahan Indonesia ke kawasan ASEAN+3 tahun 2004 ̶ 2005 dan tahun 2008 ̶ 2009 (diolah dari UN Comtrade)

Selain karena adanya pengaruh global, penurunan pada nilai ekspor industri pengolahan dapat diakibatkan beberapa faktor, salah satunya yaitu kurangnya efisiensi ekspor. Efisiensi ekspor dapat diartikan sebagai rasio antara nilai ekspor aktual dengan ekspor potensial maksimumnya di suatu negara. Suatu ekspor dapat dikatakan efisien apabila nilai aktual ekspor mencapai titik maksimum potensial ekspor yang seharusnya dapat dicapai oleh negara tersebut. Hal tersebut tentunya yang diharapkan oleh seluruh negara ASEAN dimana semakin tinggi nilai efisiensi ekspor maka semakin kecil perbedaan antara aktual ekspor dengan potensial ekspornya.

Lebih rinci, hasil estimasi faktor-faktor yang memengaruhi ekspor industri pengolahan Indonesia ke kawasan ASEAN+3 periode 1999-2020 menggunakan stochastic frontier gravity model tersaji dalam Tabel 1. Secara simultan tanda parameter estimasi untuk GDP dan populasi secara signifikan berpengaruh positif seperti yang diharapkan. Variabel GDP riil negara mitra berpengaruh positif dan signifikan terhadap ekspor industri pengolahan Indonesia, artinya semakin tinggi GDP riil suatu negara, semakin tinggi pertumbuhan ekonomi negara tersebut dan juga semakin tinggi volume perdagangan termasuk impor dan ekspor. Variabel GDP riil Indonesia juga berpengaruh positif terhadap arus ekspor industri pengolahan Indonesia, dan signifikan pada taraf nyata 5 persen. Ketika GDP riil Indonesia terjadi kenaikan sebesar 1 persen maka ekspor sektor industri pengolahan Indonesia ke kawasan ASEAN+3 akan meningkat sebesar 0.562 persen (ceteris paribus).

Variabel populasi sebagai proksi untuk ukuran pasar negara pengimpor. Diperoleh bahwa populasi berpengaruh positif dan signifikan pada taraf nyata 5 persen. Secara rata-rata, 1 persen peningkatan populasi atau ukuran pasar negara mitra akan meningkatkan ekspor indsutri pengolahan Indonesia sebesar 0.283 persen (ceteris paribus). Selanjutnya, parameter jarak ekonomi Indonesia dengan negara mitra juga berpengaruh negatif dan signifikan. Jarak ekonomi merepresentasikan biaya transportasi atau biaya ekspor yang harus dikeluarkan dalam aktivitas perdagangan. Semakin jauh jarak ekonomi negara eksportir dengan negara importir maka volume dan nilai perdagangan semakin berkurang. Hal ini disebabkan karena semakin mahal biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan transaksi perdagangan.

Tabel  1  Hasil estimasi parameter  faktor yang memengaruhi nilai ekspor industri pengolahan Indonesia ke ASEAN+3

VariabelKoefisienProbabilitas
Lnrgdpj1.6930.000          ***
Lnrrgdpi0.5620.017          **
TO0.00020.000           ***
Lnedistance-0.1970.022            **
Lnpopulasi0.2830.028           **
Lnrer0.0190.659           
RTA ASEAN-China-0.0300.776
RTA ASEAN-Jepang0.3530.00             ***
Sigma square19.905 
Gamma0.991 
Eta-0.0218 
Log likeliheood-178.188 
Keterangan: signifikan pada taraf 1%(***), 5%(**)
Sumber: diolah dari Stata 2023

Parameter trade openness juga menunjukkan pengaruh positif dan signifikan terhadap ekspor industri pengolahan Indonesia. Semakin baik dan semakin fasilitatif perjanjian perdagangan termasuk kebijakan liberalisasi yang diterapkan, maka semakin besar potensi suatu negara untuk merangsang dan memicu volume perdagangan. Perjanjian kerjasama multilateral yang tergambar dari RTA ASEAN-Jepang secara signifikan berpengaruh positif terhadap ekspor sektor industri pengolahan Indonesia pada taraf nyata 1 persen dengan koefisien 0.353. Koefisien ini mengindikasikan terdapat perbedaan ekspor industri pengolahan Indonesia ke kawasan ASEAN+3 sebelum memberlakukan RTA ASEAN-Jepang dengan negara yang sudah memberlakukan RTA ASEAN-Jepang sebesar 0.353. Pemberlakuan RTA pada suatu negara tentu akan mengurangi hambatan perdagangan sehingga potensi mencapai volume perdagangan yang efisien lebih mudah dijangkau. Penelitian ini melibatkan negara-negara di kawasan ASEAN+3 yang secara keseluruhan rata-rata nilai efisiensi ekspor industri pengolahan Indonesia sebesar 0.32. Dengan kata lain, Indonesia belum optimal dalam mengekspor sektor industri pengolahan ke negara mitra dagang yang ada pada kawasan ASEAN+3. Negara mitra dagang Indonesia di kawasan ASEAN+3 dengan nilai rata-rata efisiensi ekspor tertinggi baik sebelum atau pun setelah kesepakatan RTA adalah Brunei Darussalam, Cambodia, dan China. Brunei Darussalam merupakan negara dengan nilai rata-rata efisiensi paling tinggi mencapai 0.89 sebelum kesepakatan RTA dan 0.86 setelah kesepakatan RTA. Kemudian diikuti oleh Kamboja sebagai negara dengan nilai rata-rata efisiensi ekspor sektor industri pengolahan Indonesia mencapai 0.89 sebelum kesepakatan RTA dan 0.86 setelah kesepakatan RTA. Selanjutnya, ada negara China sebagai negara ke tiga dengan nilai rata-rata efisiensi ekspor mencapai 0.87 sebelum kesepakatan RTA dan 0.84 setelah kesepakatan RTA.

Gambar 3  Efisiensi ekspor industri pengolahan Indonesia ke ASEAN+3 sebelum kesepakatan RTA
Gambar 4  Efisiensi ekspor industri pengolahan Indonesia ke ASEAN+3 setelah kesepakatan RTA

Pada Gambar 3 terlihat bahwa rata-rata efisiensi ekspor sebelum kesepakatan RTA hanya sebesar 0.35. Pelemahan efisiensi ekspor industri pengolahan Indonesia salah satunya disebabkan oleh pasca krisis ekonomi global pada tahun 2008. Pasca peristiwa tersebut, Indonesia mengalami perlambatan pertumbuhan kinerja ekspor terlihat dari ekspor sektor industri pengolahan yang pertumbuhannya negatif pada industri barang kayu dan hasil hutan, dan industri logam dasar, besi dan baja. RTA diharapkan dapat meningkatkan efisiensi perdagangan menjadi lebih tinggi. Namun demikian, berdasarkan hasil analisis yang tersaji dalam Gambar 4 menunjukkan bahwa nilai efisiensi ekspor industri pengolahan Indonesia justru lebih rendah dibandingkan sebelum kesepakatan RTA yaitu sebesar 0.3. Penurunan efisiensi ekspor terjadi akibat pelemahan harga minyak mentah Indonesia mencapai 40 persen di tahun 2015, serta peristiwa Brexit yang berdampak pada melemahnya rupiah yang mencapai 1 persen. Peristiwa pandemi Covid-19 juga turut menyebabkan ekspor industri pengolahan mengalami penurunan yang signifikan.

sumber: https://www.republika.id/posts/42821/pengaruh-rta-terhadap-efisiensi-ekspor-indonesia-ke-asean3

Related Posts