Dr. Etriya  Staf pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB University

Usaha pertanian budidaya menghadapi masalah yang dilematis. Di satu sisi, kebutuhan pangan dunia masih sangat bergantung pada aktivitas pertanian, baik skala besar maupun kecil. Di sisi lain, aktivitas budidaya pertanian dituduh sebagai salah satu sektor yang berkontribusi pada degradasi lingkungan, seperti menghasilkan emisi gas rumah kaca dari peternakan sapi, sawah, pupuk kimia, kotoran ternak, dan mesin pertanian. Emisi karbon dioksida yang berasal dari peternakan, seperti peternakan sapi potong, sapi perah, dan domba jauh lebih tinggi dari pada pertanian pangan serealia dan hortikultura. Sebagian peternakan skala besar maupun kecil dicurigai tidak memperhatikan kesejahteraan hewan. Tidak hanya itu, penyediaan lahan pertanian dituding menyebabkan perubahan kualitas permukaan tanah akibat pembukaan hutan dan perubahan kandungan karbon tanah. Demikian juga dengan budidaya tanaman monokultur dan penggembalaan ternak dianggap turut andil dalam menurunnya keanekaragaman hayati. Pertanian di lahan miring juga dianggap turut berperan dalam terjadinya erosi tanah. Lebih lanjut, aktivitas pasca panen yang kurang baik juga dapat meningkatkan jumlah kehilangan pangan (food loss). Inilah beberapa dampak dari aktivitas di sektor pertanian budidaya pada penurunan kualitas lingkungan alam.

Tidak hanya lingkungan alam, pertanian budidaya juga dapat menimbulkan dampak pada lingkungan sosial. Sebagai contoh, konflik dengan masyarakat sekitar akibat pembukaan lahan pertanian. Demikian juga dengan berkurangnya kesempatan masyarakat bekerja pada usaha pertanian akibat mekanisasi dan otomatisasi pertanian, alih-alih menciptakan lapangan pekerjaan. Oleh karena itu, masyarakat dunia yang semakin sadar dan peduli akan keberlanjutan dan kelestarian lingkungan alam dan sosial mendesak aktivitas bisnis di sektor pertanian termasuk budidaya pertanian untuk berupaya secara sungguh-sungguh melakukan praktik bisnis yang lestari dan ramah lingkungan.

Masalah degradasi lingkungan alam dan sosial ini mengindikasikan terjadinya ketidaksempurnaan pasar (Cohen dan Winn, 2007). Masalah tersebut memerlukan solusi dalam bentuk inovasi dan model bisnis baru. Oleh karena itu, kewirausahaan berkelanjutan memandang masalah tersebut sebagai sumber peluang bisnis dalam bentuk solusi yang inovatif menuju lingkungan sosial dan alam yang lestari. Sektor usaha budidaya pertanian termasuk sektor yang berpotensi menerapkan konsep kewirausahaan berkelanjutan.

Untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan yang ramah lingkungan alam maupun sosial, bisnis pertanian yang hanya bertujuan memaksimumkan keuntungan semata tidak lagi cukup saat ini. Bisnis budidaya pertanian sudah sangat perlu mempertimbangkan aspek keberlanjutan dalam proses bisnisnya, misalnya dalam alokasi sumber daya dan pengambilan keputusan bisnis yang tidak lagi hanya berdasarkan  rational choice. Proses bisnis pertanian yang lestari dan ramah lingkungan ini dapat dilakukan dengan pendekatan kewirausahaan yang berkelanjutan dengan prinsip longevity (Greco and Jong, 2017). Prinsip ini berupaya menggunakan sumber daya secara bijak dan lestari agar sumber daya berumur panjang sehingga dapat digunakan oleh generasi mendatang. Konsep dan praktik bisnis ini akan memberikan manfaat ekonomi maupun sosial yang luas untuk masyarakat dalam jangka panjang. Oleh karena itu, pencapaian keuntungan tidak perlu dipertentangkan lagi dengan upaya perwujudan bisnis yang berkelanjutan. Konsep kewirausahaan berkelanjutan mencoba menjawab tantangan di dunia bisnis, termasuk usaha pertanian, dengan menyelaraskan pencapai tujuan untuk memperoleh keuntungan melalui praktik bisnis yang ramah lingkungan alam dan sosial.

Kewirausahaan berkelanjutan dapat dilakukan dengan memperhatikan keseimbangan manfaat yang dihasilkan dalam bentuk sinergi antara tiga komponen, yaitu sosial, lingkungan alam, dan kemakmuran (triple bottom line: people, planet, and profit/prosperity (Elkington,1997)). Oleh karena itu, kewirausahaan berkelanjutan menjadi solusi yang win-win bagi semua pemangku kepentingan.

Komponen sosial (people) meliputi seluruh pemangku kepentingan, termasuk di dalamnya adalah tenaga kerja, komunitas masyarakat sekitar usaha pertanian, pelaku di dalam rantai pasok, konsumen, dan generasi yang akan datang. Usaha budidaya pertanian diharapkan mempertimbangkan manfaat proses bisnisnya bagi seluruh pihak di komponen sosial ini. Misalnya memberikan kesempatan bekerja yang setara dan upah yang adil bagi tenaga kerja perempuan, memproduksi produk pangan yang berkualitas dengan harga wajar, memberikan  informasi yang jelas bagi pelanggan, dan memberikan akses ketelusuran produk untuk pelaku di sepanjang rantai pasok produk pertanian. Dengan demikian, usaha budidaya pertanian turut andil dalam menciptakan kesejahteraan sosial dalam bentuk pemerataan pendapatan, keterlibatan kelompok masyarakat yang lebih luas, penciptaan lingkungan kerja yang sehat dan aman, pengentasan kemiskinan, dan penyediaan produk pangan sehat dan terjangkau untuk masyarakat.

Komponen berikutnya adalah lingkungan alam (planet), yaitu perhatian dan kepedulian usaha budidaya pertanian akan kelestarian lingkungan alam, yang terdiri atas lingkungan biotik (tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme) maupun lingkungan abiotik (tanah, air, dan udara). Usaha budidaya pertanian harus sangat memperhatikan dan bertanggung jawab atas dampak operasional usahanya bagi lingkungan alam sekitar. Misalnya emisi gas rumah kaca dari aktivitas dan limbah usaha pertanian, penurunan kualitas tanah dan air, serta berkurangnya keanekaragaman hayati. Inovasi teknologi pada kewirausahaan berkelanjutan berupaya menciptakan nilai yang bermanfaat bagi masyarakat melalui penciptaan peluang bisnis pada lingkungan yang selalu berubah. Sudah saatnya usaha budidaya pertanian, baik skala besar maupun kecil, menerapkan praktik bisnis dan teknologi yang ramah lingkungan (green farming) untuk pertanian yang berkelanjutan. Tidak hanya pada produk utamanya, tetapi juga pada limbahnya yang bisa ditingkatkan nilai ekonominya.

Beberapa teknologi pertanian yang ramah lingkungan antara lain penggunaan energi terbarukan sebagai pengganti energi fosil, pertanian tanpa mengolah atau membalik tanah (no-till farming), pertanian organik, bertani secara vertikal, monitoring irigasi untuk penggunaan air yang efisien, integrated pest management, dan smart farming yang hemat energi. Demikian juga dengan usaha peternakan yang bisa dikelola dengan teknologi hijau. Misalnya, pemberian pakan dan suplemen untuk ternak dengan komposisi presisi, pengelolaan limbah peternakan dengan proses aerob, pengomposan, dan sistem reaksi biofilm. Berbagai teknologi ramah lingkungan ini diharapkan dapat meningkatkan produktivitas ternak, menurunkan limbah ternak, dan mengurangi dampak negatif dari limbah peternakan sehingga aman untuk lingkungan.

Komponen ketiga dari triple bottom line adalah profit dan kemakmuran. Komponen ini mempertimbangkan indikator ekonomi yang berdampak positif bagi masyarakat dalam praktik budidaya pertanian. Contohnya antara lain penegakan etika bisnis, penciptaan kesempatan kerja, dan penciptaan tempat kerja yang sehat dan aman. Keuntungan yang dihasilkan tidak hanya bermanfaat untuk pemilik usaha semata, tetapi juga bermanfaat luas bagi masyarakat.

Mungkin sebagian orang berpikir bahwa praktik bisnis yang peduli lingkungan berbiaya tinggi sehingga mengurangi potensi perusahaan memperoleh keuntungan yang tinggi. Akan tetapi, kewirausahaan berkelanjutan dapat memberikan keuntungan jangka panjang. Mungkin saja investasi dan modal awal usaha yang berkelanjutan lebih besar dari pada bisnis konvensional. Akan tetapi, bisnis berkelanjutan memberikan tingkat pengembalian yang terus-menerus dalam jangka panjang. Hal ini dimungkinkan karena bisnis berkelanjutan berupaya menjaga penggunaan sumber daya lebih efisien dengan mengurangi dampak negatif praktik  bisnis tersebut bagi lingkungan dan masyarakat. Oleh karena itu, biaya investasi awal yang besar untuk pengelolaan sumber daya tersebut dapat dikompensasi dengan tingkat pengembalian yang kontinu dalam jangka panjang karena kelestarian alam terjaga dan bisnis tersebut diterima baik oleh masyarakat luas.Dengan menerapkan konsep triple bottom line, usaha budidaya pertanian, baik skala besar maupun kecil, mampu berkontribusi pada kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, disarankan bahwa usaha pertanian dengan kewirausahaan berkelanjutan perlu dipelajari lebih mendalam dan luas. Teknologi ramah lingkungan (seperti clean, green, and zero-waste technologies) dapat terus dipelajari dan dikembangkan di perguruan tinggi, pusat penelitian, perusahaan swasta, dan petani Selanjutnya, diseminasi teknologi tersebut dapat dilakukan secara sinergis oleh mahasiswa, akademisi, peneliti, petani, maupun organisasi non pemerintah melalui kegiatan pengabdian kepada masyarakat. Lebih lanjut, peluang kewirausahaan dapat diciptakan dengan teknologi yang mengubah limbah pertanian (seperti serat, kotoran ternak, dan jerami) menjadi produk baru bernilai ekonomi tinggi, ramah lingkungan, dan berpeluang pasar luas. Sebagai contoh adalah pakan berbasis serangga dari sampah pangan (misalnya Black Soldier Fly maggots), perisa dan pewangi dari jerami padi, dan pewarna alami dari limbah sayuran. Akhirnya, peran aktif masyarakat juga diperlukan untuk menyebarluaskan informasi dan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya bisnis dengan prinsip kewirausahaan yang berkelanjutan.

sumber: https://republika.id/posts/43352/kewirausahaan-berkelanjutan-oleh-usaha-budidaya-pertanian

Related Posts