Dr Ujang Sehabudin Dosen Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB University dan Manajer Sekolah Vokasi IPB University Kampus Sukabumi

Tulisan ini merupakan bagian dari hasil studi tim P2SDM IPB University bekerjasama dengan salah satu BUMN, dengan lokasi studi Kabupaten Rembang, Jawa Tengah pada tahun 2022.  Rendahnya produktivitas jagung di Kabupaten Rembang merupakan isu utama yang melatarbelakangi studi ini. Produktivitas jagung Kabupaten Rembang, 4,3 ton/ha, masih dibawah produktivitas rata-rata Provinsi Jawa Tengah, 6.03 ton/ha. Rendahnya produktivitas ini mencerminkan rendahnya efisiensi produksi, yang tentunya berimplikai terhadap pendapatan petani. Upaya peningkatan  produktivitas merupakan strategi utama peningkatan produksi terutama di wilayah dengan lahan terbatas – dikenal dengan program intensifikasi.  Produktivitas yang semakin tinggi akan berimplikasi terhadap pendapatan petani yang semakin baik.  Tulisan ini mencoba memberikan gambaran produksi dan produktivitas jagung serta memberikan rekomendasi pengembangan jagung berbasis kluster.

Produksi dan Produktivitas Jagung

Walaupun produktivitas jagung Kabupaten Rembang masih tergolong rendah dibandingkan dengan rata-rata produktivitas jagung Provinsi Jawa Tengah, namun terdapat variasi produktivitas antar kecamatan di Kabupaten Rembang.  Berdasarkan produktivitas, terdapat tiga kecamatan dengan produktivitas tertinggi (kluster 1) yaitu Kecamatan Gunem, Rembang, dan Pancur, sedangkan terendah (kluster 5) yaitu Kecamatan Sumber, Kaliori, dan Sluke (Gambar 1). Tidak selalu kecamatan dengan produktivitas tertinggi merupakan sentra produksi utama jagung (kluster 1), kecuali Kecamatan Gunem (Gambar 2).   Rendahnya produktivitas terkait dengan jenis lahan, penggunaan sarana produksi, dan intensitas pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT).  Wilayah sentra produksi jagung umumnya merupakan lahan kering, hanya sebagian kecil di lahan sawah tadah hujan, dengan pola tanam monokultur.  Selain monokultur, budidaya jagung dilakukan pada lahan Perhutani dengan sistem agroforestry (jagung – tanaman jati).  Produktivitas jagung di lahan sawah tadah hujan lebih tinggi daripada jenis lahan lainnya.  Tingginya produktivitas di lahan sawah tadah hujan antara lain karena penggunaan sarana produksi yang lebih lengkap khususnya penggunaan pupuk dan pengendalian OPT yang lebih baik, di samping ketersediaan air dilahan sawah tadah hujan relatif masih tersedia dbandingkan lahan kering.

Diagram

Description automatically generated
Diagram

Description automatically generated

Gambar 1. Peta kluster jagung berdasarkan       Gambar 2. Sentra produksi jagung berdasarkan       

produktivitas di Kabupaten Rembang tahun 2021       luas areal di Kabupaten              Rembang  tahun 2022           

Jika didasarkan pada produktivitas petani, terdapat tiga kecamatan dengan produktivitas tertinggi (kluster 1), yaitu Kecamatan Gunem dan Sale, sedangkan terendah di Kecamatan Rembang, Kaliori, dan Sumber  (Gambar 3).  Terdapat korelasi antara wilayah produktivitas petani tertinggi (kluster 1) dengan sentra produksi jagung tertinggi yaitu Kecamatan Gunem dan Sedan, juga antar kluster produksi dan produktivitas petani terendah. 

Diagram, map

Description automatically generated

Gambar 3. Peta Kluster jagung berdasarkan produktivitas petani di Kabupaten Rembang       tahun 2021

Pengembangan Kluster Jagung

Upaya peningkatan produksi jagung diprioritaskan pada wilayah/kecamatan dengan produktivitas lahan terendah (kluster 1) dan rendah (kluster 2) melalui optimalisasi penggunaan sarana produksi, terutama penggunaan pupuk, yaitu pukan pada tahap penanaman (pupuk dasar) dan gandasil (pupuk lanjutan), serta pengendalian OPT.  Penggunaan pupuk pukan dan gandasil diharapkan dapat meningkatkan produktivitas jagung terutama di lahan kering. Prioritas pengembangan selanjutnya adalah pada wilayah dengan produktivitas petani terendah (kluster 1) dan rendah (kluster 2), melalui peningkatan kapasitas SDM petani antara lain dengan pendampingan dengan melibatkan perguruan tinggi.  Walaupun terdapat Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) di lokasi studi, namun jumlah tenaga penyuluh pertanian lapangan (PPL) sangat terbatas dibandingkan luas wilayah yang dilayani, sehingga pelayanan terhadap petani menjadi terbatas.  Banyak PPL yang berpindah menjadi pegawai struktural.  Belum lagi PPL yang ada umumnya sudah tidak muda lagi, berusia diatas 40 tahun.  Oleh karenanya penambahan PPL mutlak dilakukan oleh pemerintah daerah.  

Rekomendasi selanjutnya adalah  mengintegrasikan unit/pelaku usaha yang terlibat dalam agribisnis jagung, terutama petani jagung, pedagang pengumpul, pabrik pakan, melalui kebijakan pemerintah daerah.  Saat ini antar pelaku belum terintegrasi secara tertutup.  Akibatnya posisi tawar petani rendah yag tercermin dari nilai tambah (marjin) yang diterima petani, Rp 350 – 500/kg (Gambar 4).  Harga di tingkat petani ditentukan oleh pedagang, demikian juga harga di tingkat pedagang ditetukan oleh pabrik pakan.  Harga jagung pipilan juga tergantung kadar air.  Dengan demikian petani menghadapi risiko produksi dan risiko harga.  Pedagang juga menghadapi risiko harga terutama ketika musim panen raya. Pada musim panen raya, memerlukan waktu antrian yang lebih lama untuk pengiriman ke pabrik. Jika pada kondisi normal memerlukan waktu 1-2 hari sampai di pabrik, namun ketika musim panen raya bisa mencapai 3 hari.  Ini menyebabkan kadar air meningkat, dan berimplikasi terhadap harga jagung pipilan. Setiap kenaikan 1% air, harga turun sebesar Rp 63/kg.  Pedagang juga menghadapi risiko penyusutan ketika pengangkutan, mencapai 10-15% dari volume penjualan.

                                                     

Gambar 4.  Saluran Pemasaran Jagung di Kabupaten Rembang

Related Posts