Oleh Sri Rahayu Ningsih (Alumnus Departemen Ilmu Ekonomi Syariah FEM IPB), Dr Mohammad Iqbal Irfany (Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi Syariah FEM IPB)

Peranan hutan merupakan salah satu hal penting untuk pembangunan berkelanjutan global. Sekitar 1,6 miliar orang bergantung pada hutan untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka serta 10 juta orang bekerja di sektor kehutanan di seluruh dunia (CDP 2022). Meningkatnya permintaan global akan makanan untuk 9,73 miliar orang yang akan mengisi bumi pada tahun 2050 dikombinasikan dengan degradasi lingkungan dan lahan, menggarisbawahi transformasi penggunaan lahan yang berkelanjutan dalam Sustainable Development Goals (SDGs) poin 15 yaitu Life on Land (UNEP 2018). Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2020, sekitar 50,9 persen (95,6 juta ha) dari total luas daratan Indonesia adalah hutan, dengan 92,5 persen (88,4 juta ha) termasuk dalam kawasan hutan. Selain itu, Indonesia merupakan salah satu dari tiga hutan hujan tropis terbesar di dunia (WRI Indonesia 2018). Hal tersebut merupakan komponen yang sangat mempengaruhi perubahan iklim (Baker dan Randall 1993). Demikian menjadikan Indonesia memiliki peran penting dalam mitigasi perubahan iklim dan penjagaan ekosistem darat baik tingkat nasional maupun internasional. 

Namun, dalam 25 tahun terakhir Indonesia telah kehilangan hampir 25 persen dari tutupan hutannya. Transformasi fungsi hutan menjadi kawasan industri menjadi salah satu penyebab utama deforestasi yang terjadi (Kementerian PPN 2017). Selain itu adanya 14 juta lahan kritis, hilangnya lahan basah seperti mangrove yang memiliki luas 3,4 juta ha dengan sebanyak 1,8 juta ha dalam kondisi kritis merupakan permasalahan yang dihadapi Indonesia dalam penjagaan ekosistem darat. Kemudian, perluasan daerah subsisten pertanian memiliki efek yang sama, meski meningkatkan lahan pertanian sebesar 18,7 persen namun menurunkan bahan organik tanah dan menyebabkan 80 persen tanah erosi. Lebih lanjut, meningkatnya produksi kelapa sawit, kayu lapis, pulp, dan lahan kosong turut menyebabkan adanya degradasi lahan. Semua hal tersebut berimplikasi pada kondisi kekeringan akibat musim kemarau panjang, kurangnya resapan air ke dalam tanah, dan kekurangan pasokan air (KLHK 2020). 

Mengatasi permasalahan dalam tujuan pembangunan berkelanjutan diperlukan pula pendanaan yang berkelanjutan. Para ekonom sepakat bahwa instrumen wakaf merupakan salah satu solusi pendanaan dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (Oktaviani et al. 2018). Menurut Obaidullah (2018) pembangunan berbasis wakaf sejalan dengan tujuan SDGs dan sesuai dengan maqasid syariah. Lebih lanjut, Asni et al. (2020) menyatakan bahwa wakaf adalah salah satu mekanisme pendanaan sosial Islam yang mendukung berbagai upaya, dari pengembangan sosial ekonomi masyarakat hingga perbaikan infrastruktur. Dalam berbagai literatur mengungkapkan bahwa wakaf memiliki relevansi dengan tujuan SDGs yang ingin dicapai, seperti pengentasan kemiskinan dan peningkatan pendidikan, kesehatan, dan lain-lain (Abdullah, 2018; Akhtar, 1996; Al-Khouli, 2005; Budiman, 2011; Hasan, 2006; Marsuki, 2009; Thajudeen, 2018). Tidak terkecuali pemanfaatan instrumen wakaf untuk aksi perubahan iklim dan penjagaan ekosistem darat serta pengembangan renewable energy (Budiman 2011; Ali dan Kassim 2020; Jaelani et al. 2020).

Pemanfaatan instrumen wakaf untuk penjagaan ekosistem darat termasuk ke dalam konsep Green Waqf, yang mana konsep ini merupakan konteks baru di Indonesia yang diperkenalkan pada 2021. Menurut Beik et al. (2022) Green Waqf adalah konsep penggunaan aset wakaf untuk mempromosikan keberlanjutan dan keseimbangan ekologi yang sekaligus memiliki efek sosial dan ekonomi yang positif bagi masyarakat. Istilah “green” dalam hal ini mengacu pada Green Growth Framework, yang hasilnya diharapkan berdampak pada pertumbuhan inklusif dan adil serta pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan serta dapat membantu mencapai ketahanan sosial, ekonomi, dan lingkungan, mendukung ekosistem yang kuat yang melayani masyarakat, dan membantu mengurangi emisi gas rumah kaca. Adapun konsep Green Waqf pada dasarnya selaras dengan poin SDGs 13 (aksi iklim) dan 15 (ekosistem darat). Beberapa poin SDGs lainnya dapat disesuaikan dengan program pengembangan Green Waqf seperti wakaf hutan, wakaf pertanian, dan lainnya.

Di Indonesia terdapat dua lembaga yang mengusung program Green Waqf yakni Green Wakaf oleh MUI dan Green Waqf oleh Yayasan Dana Wakaf Indonesia (YDWI). Green Wakaf oleh MUI merupakan program pengembangan pertanian produktif melalui dana wakaf. Program tersebut sebagai upaya membangun ketahanan pangan untuk kemandirian nasional melalui program tambak modern udang vaname dan baru terbentuk pada Maret 2022. Sementara program Green Waqf yang diusung oleh YDWI merupakan program penyelamatan lahan kritis dengan kampanye penanaman tamanu pada 14 juta lahan kritis di Indonesia menggunakan sumber pendanaan wakaf dan infaq. Green Waqf tersebut diresmikan oleh BWI pada Agustus 2021 pada acara Grand Launching Green Waqf yang diadakan oleh YDWI dan WaCIDS. 

Pada kajian ini akan dibahas lebih lanjut mengenai program Green Waqf oleh YDWI. Dalam pelaksanaan programnya YDWI berkolaborasi dengan WaCIDS dalam Green Waqf Project telah menandatangani perjanjian dengan IBF Net (Islamic Business Finance Network). IBF Net akan membuat portofolio digital dari aset hijau seperti pohon yang ditanam di tanah wakaf di Indonesia, penghematan karbon dari pohon-pohon tersebut akan menjadi kripto hijau. Kripto ini mencerminkan nilai riil ekonomi yang akan diperdagangkan di Impact Exchange yang dibuat oleh IBF Net di Blockchain. Hasil dari penjualan kripto hijau akan disalurkan ke perkebunan. Adapun nilai riil pohon tamanu yang tumbuh dewasa bagi perekonomian setara finansial dari pemanfaatan pohon tamanu dalam bentuk penghematan biaya sosial selain itu manfaat finansial dalam bentuk penjualan produk sampingan tamanu (Iqbal 2021). Berikut Skema Green Waqf Project pada Gambar 1.

Gambar 1 Skema Green Waqf Project (Disintesis oleh penulis)

Tahap pendanaan didasarkan pada wakaf sebagai instrumen dana sosial Islam yang memiliki sifat berkelanjutan yang relevan dengan tujuan wakaf, termasuk penjagaan ekosistem darat. Skema yang digunakan diantaranya wakaf uang, wakaf melalui uang, wakaf dan infak, dan infak atau donasi. Selanjutnya, dari pihak Nazhir melakukan pengelolaan dana untuk Green Waqf Project yang kemudian digunakan untuk pembelian bibit tamanu. Selanjutnya, bibit tamanu akan diberikan kepada partisipan yang telah mendaftar baik masyarakat, Nazhir atau perusahaan yang memiliki lahan dan bersedia untuk menanam tamanu. Setelah tanaman berbuah selanjutnya dilakukan pengolahan bahan mentah dengan tiga pilihan pengolahan yaitu untuk menjadi di kebun menjadi Virgin Tamanu Oil (VTO), di farmasi menjadi obat-obatan, dan di refinery menjadi biofuel dan bahan-bahan baku industri. Setelah proses pengolahan kemudian dihasilkan green product diantaranya dapat berupa skincare, VTO, biofuel dan lainnya. 

Tahap terakhir yaitu manfaat yang diharapkan berupa proyek diantaranya pengembangan hutan wakaf atau hutan wakaf tamanu, tamanu green industry, meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar dan dalam jangka panjang dapat menjadi salah satu sumber energi terbarukan. Sehingga Green Waqf ini relevan dengan tujuan SDGs poin 13 (aksi iklim) dan 15 (ekosistem darat). Berdasarkan paparan tersebut ditunjukkan bahwa dalam mewujudkan tujuan penjagaan ekosistem darat, instrumen wakaf dapat digunakan untuk membiayai proyek ekosistem darat yang berkelanjutan. Pengembangan proyek dengan skema ini sejalan dengan green finance dan green economy, yang mana proyek ini menggunakan skema wakaf dalam pendanaannya. Kemudian jika terciptanya hutan wakaf tamanu dan tamanu green industry, dapat digunakan untuk meningkatkan ekonomi lokal sekaligus mengurangi bahaya kerusakan lingkungan (green economy). 

Oleh karena itu, Green Waqf merupakan salah satu proyek yang termasuk dalam green finance dan green economy sehingga diperlukan dukungan dalam perkembangannya di Indonesia. Namun sampai saat ini belum ada regulasi yang mengatur tentang Green Waqf di Indonesia. Adanya regulasi tersebut bertujuan untuk memperkuat legalitas pengembangan Green Waqf di Indonesia (Huda et al. 2017; Pitchay et al. 2018) agar dapat berkembang secara optimal. Selanjutnya, untuk mendukung pengembangan Green Waqf pemangku kepentingan (stakeholder) harus berperan aktif baik dari sisi regulator, praktisi, maupun akademisi untuk mendukung pengembangan Green Waqf di Indonesia. Sebagai regulator, dalam hal ini Badan Wakaf Indonesia (BWI), Kementerian ESDM, dan Pemerintah Daerah dapat membuat kebijakan sekaligus pengatur aktivitas terkait pengembangan Green Waqf di Indonesia. Praktisi dalam hal ini yakni Nazhir, Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), Perusahaan dan UMKM, BUMN Energi dalam pengembangan Green Waqf mengupayakan terlaksananya program Green Waqf baik dari pengelolaan wakaf hingga green product yang dihasilkan. Selanjutnya, akademisi berperan penting dalam mengedukasi masyarakat dan menciptakan SDM yang mendukung pengembangan Green Waqf di Indonesia kini dan nanti.  Kemudian, dalam mengatasi literasi wakaf masyarakat yang rendah serta edukasi dan sosialisasi Green Waqf yang belum optimal (Abdullah et al. 2018; Rusydiana 2019; Rahmah Ghanny dan Fatwa). Pembinaan dan pendampingan Nazhir secara berkala perlu dilakukan untuk menciptakan sumber daya Nazhir yang profesional (Fitri dan Wilantoro 2018; Hasanah et al. 2021).  Dengan itu diharapkan berdampak pada peningkatan literasi masyarakat terhadap wakaf serta pengembangan Green Waqf di Indonesia.

Demikian, mekanisme dan lembaga pengelola wakaf akan sangat berperan penting dalam konteks pemeliharaan ekosistem darat dan pengembangan Green Waqf Indonesia ke depan. Jika berhasil dikembangkan, Green Waqf di Indonesia sebagai instrumen keuangan syariah yang inovatif dapat menjadi pionir Green Waqf khususnya untuk program renewable energy di dunia.

sumber: https://www.republika.id/posts/43510/strategi-pengembangan-wakaf-hijau-dalam-menjaga-ekosistem-darat

Related Posts