Oleh Mukhamad Najib Guru Besar Ilmu Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor.

“Dunia akan gelap gulita 2023”, begitu kata menteri keuangan Sri Mulyani dalam Kanal Youtube Kementerian Keuangan RI, Senin (31/7/2023). Meski data BPS (2023) menyebutkan ekonomi Indonesia triwulan II-2023 terhadap triwulan II-2022 tumbuh sebesar 5,17 persen (y-on-y), namun adanya sinyal ekonomi dunia yang akan gulita pada 2023 membuat kita tetap harus waspada. Salah satu pelaku ekonomi yang perlu dilihat dan dijaga ditengah redupnya ekonomi dunia adalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).

Sebagaimana diketahui, UMKM berperan penting dalam perekonomian Indonesia, dimana sebagian besar tenaga kerja (99,9%) bekerja di UMKM. Selain itu, UMKM telah berkontribusi nyata pada pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya dalam agenda pengentasan kemiskinan. Oleh karena itu kelangsungan UMKM harus dijaga sedemikian rupa agar kondisi sosial ekonomi nasional tidak mengalami gejolak yang merugikan.

Belajar dari pandemi Covid-19 lalu, UMKM menjadi kelompok bisnis yang sangat terpukul oleh krisis. Beberapa perusahaan mampu bertahan saat pandemi, meski sampai saat ini belum sepenuhnya mampu bangkit kembali seperti sebelum pandemi. Namun, banyak UMKM yang sulit bertahan di masa krisis dan akhirnya tersingkir dari pasar. Saat pandemi Covid-19 menyerang, sekira 30 juta UMKM Indonesia berhenti beroperasi. Banyaknya UMKM yang bangkrut telah menimbulkan masalah ekonomi yang serius, seperti pengangguran dan meningkatnya kemiskinan. 

Pertanyaannya kemudian, bila prediksi Sri Mulyani mengenai gelapnya ekonomi 2023 sungguh terjadi, bagaimana menyiapkan UMKM agar dapat bertahan? Tentu kita tidak berharap krisis mematikan bakal terulang, namun menyuntikkan vaksin resiliensi ke tubuh UMKM sangatlah diperlukan. Reivich dan Shatte (2002) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan dalam mengatasi, melalui, dan kembali kepada kondisi semula setelah mengalami kejadian yang menekan. Singkatnya, resiliensi dapat diartikan sebagai kemampuan bertahan dan bangkit kembali.

Kemampuan bertahan dalam konteks bisnis didefinisikan sebagai kemampuan perusahaan untuk mengubah situasi yang dapat membahayakan kelangsungan hidup perusahaan (Najib & Fahma, 2022). Situasi yang membahayakan bisa berupa persaingan yang sangat tinggi, perubahan lingkungan bisnis yang drastis, maupun lingkungan yang tidak kondusif bagi bisnis seperti adanya krisis ekonomi. Lantas, apa yang dapat dilakukan untuk melindungi UMKM? Dan apa yang perlu dimiliki pelaku UMKM agar bisnisnya memiliki resiliensi, bukan hanya bertahan tapi juga mampu bangkit kembali dari krisis yang setiap saat bisa datang?

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa resiliensi UMKM dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia, faktor eksternal yang paling berpengaruh bagi daya tahan UMKM adalah adanya dukungan pemerintah. Di negara berkembang, pemerintah dianggap memiliki segala sumberdaya yang dibutuhkan untuk bisa memberikan perlindungan maksimal bagi keberlangsungan bisnis UMKM. Sehingga tingkat ketergantungan UMKM pada pemerintah dalam situasi krisis sangat tinggi.

Di Indonesia sendiri, selama pandemi Covid-19, dukungan pemerintah diberikan melalui program bantuan dari sisi keuangan dan permodalan. Bantuan tersebut antara lain berupa subsidi bunga, penempatan dana pemerintah pada bank umum mitra untuk mendukung perluasan kredit modal kerja dan restrukturisasi kredit UMKM, penjaminan kredit modal kerja UMKM, Banpres Produktif Usaha Mikro (BPUM), Bantuan Tunai untuk PKL dan Warung (BT-PKLW), dan insentif PPh Final UMKM Ditanggung Pemerintah.

Dukungan pemerintah terbukti mampu meringankan dampak pandemi pada bisnis UMKM, sehingga jutaan UMKM dapat terselamatkan. Menghadapi dunia yang gelap pada 2023, sepertinya pemerintah juga perlu bersiap dengan skema-skema kreatif yang dapat membentengi UMKM. Terlebih lagi pemerintah menilai ketidakpastian ekonomi global semakin terlihat pada pertengahan tahun ini (Republika, 1/8/2023). Kebijakan preventif untuk memitigasi risiko dari pengaruh ekonomi global yang bisa terjadi pada UMKM Indonesia perlu disiapkan.

Pemerintah sendiri, sebagaimana diungkapkan oleh Sri Mulyani, terus mendukung penguatan produk UMKM dengan kebijakan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (P3DN). Saat ini pemerintah mengatakan sedang menggencarkan peningkatan realisasi belanja untuk produk UMKM dan artisan sebesar Rp 250 triliun dalam APBN (Republika, 3/8/2023). Hal ini tentu sangat baik bagi UMKM karena akan memberikan kepastian pasar ditengah situasi dunia yang semakin tidak pasti.

Meski keuangan dan permodalan penting, namun dukungan yang dibutuhkan UMKM dari pemerintah bukan hanya finansial, tapi juga dukungan teknis. Untuk bisa bertahan dan bangkit, UMKM perlu memiliki kemampuan inovasi, baik inovasi produk, pemasaran, maupun inovasi proses produksi. Selama ini, kemampuan inovasi UMKM terkendala oleh kurang tersedianya fasilitas dan telenta inovatif yang memadai. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah dapat membantu meningkatkan kapasitas inovasi UMKM diantaranya dengan memfasilitasi semacam lembaga penelitian dan pengembangan bersama. Lembaga ini nantinya dapat digunakan bersama oleh UMKM untuk meningkatkan kemampuan inovasi mereka.

Sementara faktor internal yang paling berpengaruh terhadap daya tahan UMKM adalah efikasi diri (self-efficacy) pelaku UMKM sendiri. Menurut Bandura dan Wood (1989) efikasi diri adalah keyakinan seseorang mengenai kemampuan dirinya untuk menggerakkan sumberdaya dalam menghadapi situasi tertentu yang terjadi. Efisikasi diri yang kuat mendorong pelaku UMKM secara proaktif mempersiapkan diri menghadapi peluang dan tantangan. Lebih jauh, sikap ini akan membawa perusahaan untuk menciptakan keunggulan bersaing secara berkelanjutan. 

Selain penguatan efikasi diri, para pelaku UMKM juga perlu disiapkan agar memiliki orientasi strategis yang membuat mereka lebih inovatif dan fleksibel dalam menghadapi perubahan lingkungan bisnis. Pelaku usaha yang adaptif selalu siap dalam segala cuaca bisnis yang datang, termasuk gelapnya perekonomian yang semakin membayang. Perilaku adaptif merupakan salah satu komponen inti yang berpengaruh signifikan terhadap kelangsungan hidup bisnis UMKM.

Guna bersiap menghadapi gelapnya ekonomi dunia, maka pemerintah, kampus, dan para pegiat UMKM perlu melakukan aksi bersama dalam membantu meningkatkan imunitas UMKM. Pemerintah, kampus, dan para pegiat UMKM dapat membantu menumbuhkan dan menguatkan efikasi diri wirausaha (entrepreneurial self-efficacy) dan perilaku adaptif pelaku UMKM. Sehingga imunitas internal UMKM dapat melindungi UMKM dari segala cuaca bisnis yang tidak menguntungkan.Pemerintah, kampus dan pegiat UMKM dapat memfasilitasi pelatihan, mentoring, coaching dan pemagangan yang ditujukan untuk menguatkan efikasi diri dan perilaku adaptif pelaku UMKM. Pelatihan teknis yang dapat meningkatkan kemampuan berfikir kreatif dalam menyelesaikan masalah juga perlu digencarkan. Sehingga ketika gelapnya perekonomian benar-benar datang, UMKM Indonesia bukan sekedar siap untuk bertahan melainkan juga mampu mencari solusi untuk bangkit lebih kuat lagi.

sumber: https://www.republika.id/posts/44144/umkm-menyambut-gulita-ekonomi-dunia

Related Posts