Silke Zorena Jono (Alumni Program Magister Sains Agribisnis (MSA) – FEM IPB), Dr. Feryanto (Sekretaris Departemen Agribisnis FEM IPB,  dan  Staf Pengajar Departemen Agribisnis –  FEM IPB), Dr. Netti Tinaprila (Staf Pengajar Departemen Agribisnis –  FEM IPB)

Cabai merah adalah salah satu rempah yang tergolong sebagai pangan pokok di Indonesia. Harga dari cabai merah sendiri sering mengalami gejolak, terutama ketika permintaan meningkat saat mendekati periode tertentu seperti Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Natal. Jika ditelusuri, perubahan harga cabai merah tidak hanya terjadi karena permintaan yang tinggi, namun juga disebabkan oleh tingkat produksi cabai merah di tingkat petani yang mengalami fluktuasi atau cenderung rendah. Rata-rata biaya produksi cabai merah di Indonesia sebesar Rp 64.346.700 per hektar per musim panen (BPS 2018), dimana serapan biaya terbesar berada pada upah tenaga kerja dan biaya pupuk.

Peran tenaga kerja sangat diperlukan untuk melakukan tindak intensif seperti penanganan pascapanen, serta pemberian pupuk dan pestisida dalam jumlah yang cukup. Namun, seringkali kebutuhan untuk memproduksi cabai merah tidak terpenuhi karena keterbatasan modal petani untuk membeli pupuk sesuai rekomendasi dan mempekerjakan tenaga kerja (Andayani 2016). Oleh karena itu, permodalan petani sangat diperlukan  untuk mendukung kegiatan produksi pertanian.

Kredit untuk petani telah diupayakan oleh pemerintah sejak lama sebagai bentuk menjaga ketahanan pangan dan meningkatkan produksi hasil pertanian, serta upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan petani. Permodalan dalam bentuk kredit ditujukan untuk membantu petani agar mampu untuk membeli sarana produksi pertanian ketika petani itu sendiri belum memiliki modal. Hal ini dapat membantu petani, terutama ketika kegiatan produksi memerlukan biaya yang besar seperti produksi cabai merah.

Sejak awal jenis program kredit yang diluncurkan oleh pemerintah untuk petani adalah program Bimbingan Massal (BIMAS) yang dikhususkan bagi petani padi. Kemudian pemerintah memperbarui program tersebut menjadi Kredit Usaha Tani (KUT) dimana cakupan petani pada program ini diperluas kepada petani palawija dan hortikultura. Dengan adanya perubahan skema kredit baru KUT, maka pemerintah memperbarui program kredit tersebut menjadi Kredit Ketahanan Pangan (KKP) yang berawal pada tahun 2002. Program KKP kemudian disempurnakan menjadi Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) yang mencakup petani tanaman pangan, petani hortikultura, petani tebu, peternak, dan koperasi. Program kredit ini berlanjut hingga tahun 2015, yang kemudian diperbarui menjadi Kredit Usaha Rakyat (KUR) hingga saat ini.

Kredit ditujukan untuk menghasilkan dampak positif terhadap kinerja usahatani, dimana dengan kredit, petani dapat meningkatkan investasi dalam kegiatan produksi yang menghasilkan jumlah produksi dan pendapatan jika dibandingkan sebelum menggunakan kredit (Abdallah et al., 2019; Awotide et al., 2015; Puspitasari et al., 2021; Vhiswanatha & Eularie, 2017). Namun, meskipun beberapa penelitian telah menunjukkan adanya dampak positif dari kredit terhadap kinerja usahatani, beberapa penelitian lain menunjukkan kondisi sebaliknya yaitu kredit tidak memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan pendapatan petani (Angelucci et al., 2015; Seng 2017; Banerjee et al., 2018; Meager, 2019; Feryanto, 2020).

Dampak kredit terhadap kinerja usahatani dapat diukur dengan membandingkan kinerja usahatani yang menggunakan kredit dan yang tidak. Berdasarkan data yang berasal dari Survei Rumah Tangga Usaha Tanaman Hortikultura BPS (2014), jumlah petani cabai merah di Indonesia yang menggunakan kredit dan yang tidak menggunakan kredit dapat dilihat pada Gambar 1.  

Gambar 1 Jumlah Usahatani Cabai Merah di Indonesia

Sumber : Jono et al. (2023)

Penelitian Jono et al. (2023) menjumlahkan petani yang menggunakan kredit dan yang tidak menggunakan kredit berdasarkan kondisi yang mirip antar dua kelompok tersebut. Sehingga diperoleh jumlah petani cabai merah di Indonesia per tahun 2013 adalah 6,250 usahatani. Sebagian petani belum menggunakan kredit sebagai modal usaha apabila dilihat berdasarkan Gambar 1. Kemudian, untuk melihat dampak kredit maka parameter kinerja usahatani dibandingkan antara kelompok usahatani (treated) dengan kredit dan yang tidak menggunakan kredit (control), dan diestimasi dengan pendekatan metode Propensity Score Matching (PSM). 

Tabel 1 Dampak kredit terhadap kinerja usahatani cabai merah di Indonesia

VariabelTreatedControlSelisihS.ET-stat
Penerimaan (Revenue)15.436.08612.143.2083.292.878853.6383,86*
Keuntungan (Profit)5.134.3064.588.153546.153655.1930,83

Keterangan : *  signifikan pada taraf nyata α=1%, |t| ≥ 2,58 

Sumber : Jono et al. (2023)

Dampak Kredit terhadap Penerimaan Usahatani Cabai Merah

Menurut Jono et al. (2023), kredit memberikan dampak positif yang nyata terhadap penerimaan usahatani. Petani yang menggunakan kredit memperoleh rata-rata penerimaan lebih besar Rp 3.3 juta dibandingkan petani yang tidak menggunakan kredit sebagai penguat modal usahanya. Penerimaan usahatani berkaitan dengan jumlah produksi, dimana jumlah produksi berkaitan erat dengan sarana pertanian. Penggunaan kredit dapat mendukung petani untuk membeli saprodi yang sebelumnya tidak dapat dibeli akibat tidak memiliki modal (Moahid et al. 2021). Semakin banyak saprodi yang dimiliki oleh petani dapat mendorong jumlah panen lebih banyak, pada akhirnya menghasilkan penerimaan yang lebih besar saat petani menjual hasil panen (Iski et al. 2016; Toure 2021). Pemilihan sumber permodalan dengan kredit dapat meningkatkan penerimaan petani jika dibandingkan dengan petani yang tidak menggunakan kredit (Abdallah et al. 2019).

Dampak Kredit terhadap Keuntungan Usahatani Cabai Merah

Berdasarkan hasil yang diperoleh Jono et al. (2023), kredit tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap keuntungan atau profit usahatani secara statistik. Walaupun demikian, jika diamati, terdapat selisih positif profit usahatani yang menggunakan kredit dengan usahatani yang tidak menggunakan. Usahatani yang menggunakan kredit menerima rataan profit sebesar Rp 550 ribu lebih besar dibandingkan usahatani yang tidak menggunakan, namun hasil ini tidak berbeda nyata secara statistik.

Kredit mendukung petani untuk memperoleh saprodi yang sesuai secara jumlah dan kualitas, sehingga dapat diikuti dengan peningkatan produksi. Namun, seiring peningkatan jumlah serta kualitas saprodi yang dibeli maka ukuran usahatani, aset produktif dan non produktif, serta total biaya usahatani juga ikut meningkat (Awotide et al. 2015). Keuntungan diperoleh berdasarkan selisih penerimaan dengan biaya produksi. Oleh karena itu bagi petani cabai merah yang menggunakan kredit, ketika penerimaan yang diperoleh petani meningkat, keuntungan yang diperoleh petani tidak berbeda nyata akibat kenaikan biaya produksi. 

Kredit berdampak positif terhadap kinerja usahatani cabai merah di Indonesia. Petani yang memilih kredit sebagai sumber modal memperoleh rata-rata penerimaan yang lebih besar dibandingkan petani yang tidak menggunakan kredit. Masih rendahnya petani yang menggunakan kredit untuk kegiatan usahataninya, perlu menjadi catatan pengambil kebijakan. Tanaman cabai yang menjadi komoditas penyumbang inflasi perlu didorong untuk dapat meningkatkan produktivitasnya dengan memberikan akses dan kemudahan terhadap kredit. Kredit dalam bentuk KUR perlu dipermudah prosedur dan biaya yang akan dibayarkan oleh petani (bunga) sehingga ada insentif bagi petani untuk memanfaatkan kredit komersial dan program. Selain itu untuk meningkatkan keuntungan usahatani tanaman cabai, petani perlu didorong memanfaatkan teknologi dan teknik budidaya yang mengoptimalkan input berbiaya rendah.##

sumber: https://www.republika.id/posts/44388/dampak-kredit-terhadap-kinerja-usahatani

Related Posts