Oleh Dr. Sahara, Direktur International Trade Analysis and Policy Studies (ITAPS) FEM IPB dan Adjunct Associate Professor Adelaide University Australia.

High Inflation is a dangerous disease for the society (inflasi yang tinggi merupakan penyakit yang berbahaya bagi masyarakat), demikian ungkapan yang disampakan seorang ekonom terkenal dunia Milton Friedman untuk menggambarkan dahsyatnya dampak inflasi bagi masyarakat. Inflasi meningkatkan harga-harga, meningkatkan biaya hidup dan mengurangi daya beli dari uang yang dipegang oleh masyarakat sehingga berujung pada penurunan kesejahteraan mereka.

Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan di Indonesia pada bulan Agustus 2023 terjadi inflasi sebesar 3,27% (y-on-y) dengan lima besar komoditas penyumbang inflasi adalah beras, kentang, bawang putih, daging ayam ras, telur ayam ras.

Terkait dengan beras, kita semua tahu bahwa beras merupakan komoditas pangan pokok di Indonesia. Dengan konsumsi beras didalam negeri yang sangat tinggi,  maka ketersediaan beras dan statibilitas harga harus dijaga. Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa tren kenaikan harga beras sudah mulai terasa. 

BPS melaporkan bahwa inflasi harga beras menembus 13,76% (y-on-y) pada Agustus 2023 yang merupakan angka sejak Juni 2012. Menurut data BPS, pada bulan Juni 2012, inflasi harga beras saat itu mencapai 16,22%. Diperkirakan kenaikan harga beras akan terus terjadi, terutama disebabkan oleh faktor internal (dalam negeri) dan eksternal (perdagangan beras di pasar internasional. 

Faktor internal

Kenaikan harga beras di pasar domestik disebabkan karena tingginya permintaan beras dan terkontraksinya produksi padi dalam negeri.   Dari sisi permintaan, beras merupakan makanan pokok di Indonesia dengan konsumsi beras per kapita mencapai 82 kg per kapita per tahun. Dengan jumlah penduduk sekitar 270 juta jiwa, menempatkan Indonesia Indonesia sebagai negara konsumen beras terbesar ke empat di dunia.

Dari sisi penawaran,  kekeringan karena Elnino  yang ditunjukkan dengan rendahnya curah hujan di Indonesia menyebabkan produksi beras mengalami penurunan.  Sepanjang Juli-September 2023, produksi beras mengalami penurunan sebesar 4,2% dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya.

Pantauan penulis di salah satu wilayah lumbung pangan di Indonesia menujukkan harga Gabah Kering Giling (GKG) mencapai Rp 7 700 per kg dan harga Gabah Kering Panen (GKP) mencapai Rp 5 600-Rp 5 800 per kg. Di satu sisi kenaikan harga gabah tersebut memberikan keuntungan pada petani, tetapi hanya sebagian petani yang bisa menanam padi di musim kemarau ini terutama petani yang lokasi sawahnya di sekitar bendungan. Sementara bagi petani yang mengandalkan sawah tadah hujan, mereka memilih untuk tidak menanam padi karena ketidaktersediaan air. 

Kenaikan harga GKP/GKG tersebut ditransmisikan dengan cepat kepada kenaikan harga beras di tingkat konsumen. Harga beras medium kini berada pada kisaran  Rp 12 300-12 400 per kg, sementara harga beras premium berkisar Rp 14 000-14 200 per kg.

Faktor eksternal: kebijakan proteksionesme beras India

Tren kenaikan harga beras diperkirakan akan terus berlanjut beberapa bulan kedepan karena faktor internal (penurunan produksi dalam negeri) yang dibarengi dengan berkurangnya volume beras yang diperdagangkan di pasar internasional.

India, pengekspor beras terbesar di dunia, sejak bulan Juli lalu melakukan kebijakan proteksionisme terhadap komoditas beras yaitu melarang  ekspor beras non-basmati ke pasar internasional. Langkah tersebut di lakukan oleh negara dengan populasi terpadat di dunia tersebut setelah produksi di dalam negeri mengalami penurunan akibat banjir di wilayah-wilayah yang menjadi lumbung beras. Penurunan produksi telah mendorong kenaikan harga beras di India sebesar 3%. 

India sendiri menyatakan bahawa upaya pelarangan ekspor yang dilakukan bertujuan untuk mengendalikan stabilitas dan ketersediaan beras di dalam negeri pasca bencana banjir dan juga untuk antisipisasi jelang tahun pemilihan umum di negara tersebut. Tentu saja larangan ekspor beras yang dilakukan oleh India akan memicu kenaikan harga beras di tingkat global mengingat India merupakan negara eksportir beras terbesar di dunia dengan pangsa ekspor sekitar 39%.

Perdagangan beras global akan berlangsung sengit

Salah satu karakteristik perdagangan beras dunia adalah residual market (pasar sisa). Dalam konteks perdagangan internasional residual market  merujuk kepada situasi dimana beras akan diperdagangan di pasar internasional oleh negara-negara pengekspor apabila kebutuhan dalam negerinya sudah terpenuhi.

Ketika kebutuhan beras di dalam negeri belum terpenuhi atau terjadi lonjakan harga beras di dalam negeri, maka negara eksportir akan memilih untuk mengutamakan pemenuhan kebutuhan beras di dalam negeri dengan membatasi ekspor, seperti yang dilakukan oleh India baru-baru ini. Hal yang perlu dicatat adalah tidak banyak negara di dunia yang memiliki kapasistas sebagai negara pengekspor beras.

Eksportir beras di pasar global didominasi oleh negara-negara Asia. Laporan USDA (2023), pada tahun 2022, India berada pada peringkat pertama dengan kontribusi sekitar 39% dari pasar beras dunia dan volume ekspor mencapai 22.1 juta ton beras. Posisi berikutnya ditempati oleh Thailand dengan kontribusi ekspor di pasar global (14%), Vietnam (13%), Pakistan (8%) dan Burma (4%).

India mengekspor beras terutama ke Kenya, Benin, and Togo, negara-negara Timur Tengah (Saudi Arabia, Iran, Iraq), Tiongkok dan negara pantai gading. Indonesia tidak terlalu tergantung dengan India terkait impor beras. Selama ini untuk memenuhi cadangan beras pemerintah, Indonesia mengimpor terutama dari Vietnam dan Thailand. Sekilas larangan ekspor beras India tidak berdampak langsung ke Indonesia. 

Namun demikian larangan ekspor beras oleh India tersebut akan berdampak ke semua negara importir beras, termasuk Indonesia. Negara-negara yang tadinya mengimpor beras dari India tentu saja akan beralih ke negara eksportir beras lainnya terutama Thailand dan Vietnam. 

Diperkirakan akan terjadi persaingan yang sengit antar negara importir beras untuk memperebutkan beras yang diperdagankan di pasar internasional. Kondisi ini akan memicu kenaikan harga beras di pasar internasional dan mendorong inflasi pangan. 

Berdasarkan estimasi Trading Economics (2023) inflasi pangan yang dipicu oleh kenaikan harga beras akan menghantui negara-negara yang kebutuhan beras di dalam negeri masih di topang dari impor, termasuk Indonesia. Trading Economics juga memperkirakan inflasi pangan volatile di Indonesia akan mencapai tiga persen diakhir kuartal 2023. 

Indonesia sendiri melalui Bulog harus mengamankan kuota impor beras sekitar 400 ribu ton untuk menjamin cadangan beras pemerintah terutama menjelang pemilu (Februari 2024) dan bulan ramadhan (Maret 2024). Kemampuan negosiasi Bulog mewakili pemerintah sangat diperlukan untuk mendapatkan kuota impor beras dari Thailand dan Vietnam. Indonesia merupakan pelanggan lama dari kedua negara eksportir beras tersebut sehingga seharusnya bisa diprioritaskan untuk mendapatkan jatah beras dari Thailand dan Vietnam.

Sebagai penutup ditengah kebijakan proteksionesme beras oleh India dan ancaman elnino, beberapa strategi dapat dilakukan oleh pemerintah untuk menghadapi ancaman inflasi beras di Indonesia. Dalam jangka pendek pemerintah harus memastikan bahwa cadangan beras di Indonesia cukup untuk memenuhi kebutuhan beras jelang pemilu dan ramadhan di awal 2024, menggelontorkan beras melalui operasi pasar terutama ke pasar-pasar tradisional melalui kerjasama Bulog dan tim TPID, dan menutup ruang kepada para rent seeker untuk melakukan penimbunan. 

Melalui upaya-upaya tersebut diharapkan dalam jangka pendek psikologis pasar atau ekspektasi konsumen dapat terjaga sehingga mencegah konsumen untuk melakukan  panic buying yang berujung pada penimbunan.

Dalam jangka menengah dan panjang, berbagai program untuk mengakselerasi produksi beras di Indonesia harus terlus dilakukan secara konsisten melalui program ekstensifikasi dan intensifikasi (peningkatan produktivitas). Dari sisi konsumen, program diversifikasi pangan harus tetap dilakukan dalam rangka mengurangi ketergantungan mereka terhadap beras. 

Melalui upaya-upaya tersebut, dalam jangka panjang kecukupan beras di alam negeri diharapkan dapat terpenuhi secara mandiri. Dengan demikian, Indonesia tidak perlu tergantung pada pasar beras di tingkat global yang rentan terhadap kebijakan proteksionisme dari negara-negara eksportir beras.

Artikel ini dimuat pada https://www.republika.id/posts/45376/inflasi-pangan-indonesia-dan-proteksionisme-beras-india

Related Posts