Oleh Dr. Indra Refipal Sembiring (Dosen Departemen Manajemen FEM IPB)
Pemulihan ekonomi lintas sektor di Indonesia berjalan dan berkelanjutan. Sektor otomotif di masa pandemi misalnya, setelah mengalami perlambatan dari jumlah unit rata-rata per bulan di tahun 2020 hingga mencapai 44,367 unit mobil per bulan atau setengah dari rata-rata tahun 2019 (detikoto 2021), perlahan meningkat ke titik awal sebelum pandemi dan bahkan sudah terlampaui di tahun 2022. Tak cukup berbicara di angka rata-rata bulanan yang masih didominasi mobil Internal Combustion Engine (ICE), penjualan kendaraan listrik (Electric Vehicle/ EV) terutama mobil listrik mencapai lebih dari 10,000 unit dibanding masa pandemi yang lalu yang tak lebih dari 1000 unit (katadata, 2023). Hal ini menunjukkan adanya ekstra pencapaian dalam usaha pemulihan ekonomi dalam bentuk trend positif bisnis otomotif yang berkelanjutan dalam dukungannya terhadap pengurangan kontribusi karbon di Indonesia dan pada akhirnya di dunia.
Berbicara tentang Electric Vehicle/EV di masa kini seringkali dikaitkan dengan kolaborasi pemerintah dan swasta yang seakan seiring seirama dalam musik tango (“takes two to tango”). Betapa tidak, kebijakan yang sangat suportif terhadap penggunaan Electric Vehicle/EV diterjemahkan dalam program bertubi-tubi, sebut saja mulai dari PPN (Pajak Pertambahan Nilai) Pembelian Mobil Listrik hanya 1%, sampai yang terbaru berupa subsidi mobil listrik hingga 80 juta rupiah. Tentu saja tujuannya adalah menarik minat masyarakat untuk sebanyak-banyaknya menggunakan Electric Vehicle/EV sebagai salah satu cara untuk mendukung Kebijakan Energi Nasional dan pencapaian target yang dirumuskan di Paris 2015 COP 21. Hal ini sekali lagi menjelaskan pertumbuhan sektor otomotif yang telah terdisrupsi oleh pandemi juga akan terdisrupsi dengan pengenalan jenis kendaraan baru yang diharapkan memperbaiki kualitas kehidupan manusia. Disrupsi yang harapannya berdampak positif.
Tidak berhenti atas keberpihakan terhadap pelaku industri otomotif, pengembangan Electric Vehicle/EV, juga secara tidak langsung didukung oleh adanya Green Down Payment dari Bank Indonesia. Sejak Oktober 2020, Indonesia telah menetapkan 0% Down Payment terhadap kendaraan ramah lingkungan yang berdasar pada Peraturan Bank Indonesia nomor 22/13/PBI/202 pasal 23A yang menjelaskan adanya uang muka 0% terhadap kendaran roda tiga atau lebih dengan persyaratan bahwa bank pemberi kredit memiliki tingkat NPL (non-performing loan) di bawah 5%. Tentu saja hal ini disambut dengan sangat positif oleh masyarakat. Dengan uang muka 0% membantu kepemilikan kendaran elektrik lebih menarik dibanding dengan skema kredit pemilikan mobil konvensional/ICE yang masih menerapkan persentase uang muka yang cukup besar.
Perkembangan Electric Vehicle (EV) ini menjadi sangat menarik ketika dikaitkan dengan kebijakan makroprudensial. Spirit dalam insentif makroprudensial sangat sejalan dengan usaha yang ingin dicapai dalam percepatan Electric Vehicle (EV) di Indonesia. Insentif ini diharapkan menjadi wujud pelonggaran atas kewajiban bank yang menyalurkan pembiayaan dalam sektor/kredit pembiayaan hijau, yang pada akhirnya bertujuan untuk pemulihan dan pertumbuhan ekonomi. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kesesuaikan kebijakan makro ini bisa tetap berjalan berdampingan dengan program-program mikro besutan bank dan pihak swasta penyedia akses terhadap kendaraan. Lebih lanjut, suara konsumen tampak mendukung manfaat-manfaat yang diberikan oleh pemerintah mau perbankan. Akan tetapi konsumen seakan larut dalam euforia “diskon hijau” dibanding dengan kesadaran atas apa dampak yang lebih besar dari sekedar mendapatkan subsidi kepemilikan kendaraan.
Mari kita belajar dari negara lainnya. Hingga akhir 2022, terdapat lebih dari 64,000 kendaran/mobil elektrik yang sudah terjual di Thailand. Jumlah ini enam kali lebih besar dari jumlah di Indonesia. Dalam sebuah penelitian di Bangkok, Thailand disebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi percepatan ini adalah performa dari kendaraan, faktor pengaruh lingkungan, dan finansial (Khlaleghiyaraziz, 2021). Penekanan dari faktor finansial menjadi paling utama karena rata-rata konsumen adalah melihat dari aspek harga dari kendaraan electrik dibandingkan dengan kendaraan konvensional. Penelitian tersebut juga didukung oleh penelitian sebelumnya yang menjelaskan hubungan antara ketakutan terhadap resiko finansial pembelian terhadap keinginan membeli konsumen ((Thananusak, Rakthin et al. 2017, He, Zhan et al. 2018, Kumar and Alok 2020).
Dalam studi yang dilakukan oleh Frost & Sullivan didukung oleh Nissan berjudul ‘Future of Electric Vehicles in Southeast Asia’ tahun 2018, yang termasuk di dalamnya adalah negara Indonesia dan Thailand, ditemukan bahwa harga yang lebih murah akan mendorong lebih banyak orang untuk mempertimbangkan kendaraan listrik. Tiga dari empat responden menyatakan siap bermigrasi ke mobil listrik jika pajaknya ditiadakan. Meskipun tidak ada yang menyebutkan bahwa dukungan perbankan dalam mengurangi biaya seperti uang muka pada saat pengajuan kredit untuk kendaraan listrik, tetapi tetap diartikan sebagai faktor penting dalam peningkatan penetrasi kepemilikan kendaraan listrik.
Lebih lanjut, alasan masyarakat di Indonesia yang masih membatasi minat dalam kepemilikan mobil listrik adalah persepsi atas harga yang cukup mahal (Astra International, 2021). Hal ini tentu saja mulai dapat teratasi dengan adanya dukungan pemerintah dalam kebijakan pajak maupun dukungan perbankan dalam menterjemahkan Green Down Payment. Kebijakan ini tentunya memberikan angin segar bagi pertumbuhan otomotif kendaraan listrik di Indonesia. Di satu sisi akan membuat konsumen memiliki pilihan tambahan dan di sisi lain efek domino pengembangan mobil listrik juga akan dapat terwujud, sehingga ketakutan-ketakutan untuk aspek teknis seperti penyediaan sumber energi dapat juga diatasi.
Terlepas dari banyaknya faktor yang masih akan mempengaruhi pertumbuhan Electric Vehicle/EV di Indonesia, kebijakan yang telah dikeluarkan nyatanya memberi kesempatan untuk percepatan pencapaian target reduksi karbon di Indonesia. Suara konsumen yang menunjukkan prioritas terhadap alternatif kendaraan dengan harga yang lebih murah (secara persepsi), nyatanya dapat dijawab dengan program-program yang telah diberikan. Negara seperti Thailand menjadi acuan bahwa program dukungan ini dapat mempercepat adopsi kendaraan listrik. Meskipun demikian, faktor-faktor lain tentu saja tetap penting untuk dikaji dan didukung. Sepeti halnya dukungan terhadap penyediaan sumber energi listrik dan pengadaan sumber listrik seperti baterai. Hal ini tentu menuntut adanya program Green Finance yang dapat digelontorkan kepada pihak-pihak yang terkait di dalamnya , meskipun mungkin bukan dalam nuansa Makroprudensial seperti yang didefinisikan saat ini.
Electric Vehicle, Green Down Payment, dan Suara Konsumen, adalah tiga keterkaitan yang senantiasa dinamis. Kajian terhadap ketiganya akan menjadi penting dan sudah seharusnya didasarkan pada tujuan utama pengurangan karbon di Indonesia dan dunia. Semangat ini hendaknya dijadikan landasan utama oleh Pihak Swasta, Perbankan (penyalur kredit hijau), dan konsumen pengguna. Dengan demikian pada akhirnya tujuan mulia yang dilandaskan pada Paris COP tidak hanya bersifat material (harga komoditas) tetapi untuk sebesar-besarnya harga atas kehidupan yang lebih baik bagi generasi kita berikutnya.
artikel ini di muat pada https://www.republika.id/posts/45469/kendaraan-listrik-green-down-payment-dan-suara-konsumen