OLEH Dedi Budiman Hakim (Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB dan InterCAFE IPB)

Tidak sengaja membaca tulisan di Financial Times edisi online 30 Oktober 2023 yang berjudul Australia and EU fail to reach free trade deal. Negosiasi selama lima tahun tidak membuahkan hasil yang diharapkan dalam upaya meningkatkan market access bagi produk Australia ke pasar Uni Eropa. Pihak Australia menganggap EU tidak siap membuka keran impor daging sapi dan kambing dari Australia. Ada kalimat yang menarik dan perlu digaribawahi pernyataan Menteri Pertanian Australia Murray Watt : “It’s very protectionist market when it comes to agriculture and they weren’t prepared to budge enough for it to be in our interest.”

Kita masih ingat dan mungkin tidak akan lupa kebijakan EU atas ekspor CPO Indonesia. Budidaya kelapa sawit yang dianggap mengganggu ekosistem alam (kehilangan biodiversitas) mendapat hambatan untuk masuk ke pasar Eropa. Produktivitas CPO per hektar jauh di atas produktivitas minyak substitusinya misalnya rape seed/canola, jagung, dan bunga matahari. Bentangan alam yang luas dan intenstitas matahari menjadikan Indonesia dan negara-negara di khatulistiwa memiliki keuntungan komparatif dibandingkan dengan di Eropa.

Pun demikian pula produksi daging sapi dan kambing Australia. Dengan sistem pengembalaan yang sangat luas dengan pakan yang tersedia melimpah, biaya produksi daging sapi dan kambing pasti akan murah. Dengan jarak ekspor yang jauh dari Australia ke pasar Uni Eropa, harga daging sapi dan kambing Australia masih dapat bersaing dengan daging sapi atau kambing Uni Eropa. Secara teoritis, konsumen Uni Eropa akan diuntungkan dengan adanya impor daging sapi dan kambing yang relatif murah. Namun hambatan perdagangan yang dikenakan pemerintah atas barang impor akan menghilangkan potensi manfaat bagi  konsumen (consumer’s surplus). Artinya konsumen tidak mendapatkan barang yang berkualitas dan harga murah.

The Common Agricultural Policy

Penulis yang pernah studi lama di Eropa dan pernah berkunjung ke Komisi Eropa di Bruessel Belgia, memahami sekali kebijakan perlindungan petani. Bagi negara-negara Eropa pertanian tidak hanya sebatas petani/peternak yang mendiami wilayah perdesaan. Kata pertanian dalam bahasa Inggeris adalah agriculture yang mengandung makna ada culture atau budaya di wilayah peredesaan. Artinya ada interkasi sosial antara masyarakat yang menciptakan sistem, tata nilai dan kelembagaan juga interaksi antar masyarakat dengan lingkungannya yang menghasilkan landscape perdesaan. Bagi negara-negara Eropa yang cenderung industrialis, perlindungan terhadap petani adalah suatu keniscayaan. Jika petani terpaksa pindah ke perkotaan atau beralih peran, Eropa akan kehilangan keindahan alam/landscape dan juga peran pertanian sebagai pemasok kebutuhan primer masyarakat EU. Daya tarik Eropa bukan gedung-gedung yang menjulang tinggi, bukan jalan yang panjang dan mulus namun keindahan alam perdesaan dan gedung-gedung tua bersejarah. Petani adalah perdesaan, dan perdesaan adalah pertanian. Dengan demikian perlindungan terhadap petani berarti juga mempertahankan panorama alam dan sistem nilai juga kebudayaan.

Mengacu kepada tujuan kebijakan umum pertanian (the common agricultural policy) 2023-2027 telah ditetapkan 10 tujuan spesifik (Gambar 1) : (1) pendapatan petani yang adil, (2) daya saing, (3) rantai pasok pangan, (4) perubahan iklim, (5) lingkungan, (6) landscape, (7) regenerasi petani, (8) wilayah perdesaan, (9) pangan dan Kesehatan, dan (10) pengetahuan dan inovasi.

Gambar 1. Tujuan The Common Agricultural Policy (CAP) 2023-2027

Sumber : https://agriculture.ec.europa.eu/common-agricultural-policy/cap-overview/cap-2023-27/key-policy-objectives-cap-2023-27_en

Dukungan pendapatan bagi petani menjadi pilar utama sejak diberlakukannya kebijakan ini. Bantuan domestik dan direct payment menjadi instrumen yang dapat mempertahankan pendapatan petani dari perubahan pasar dan juga budidaya. Dari sepuluh tujuan CAP tidak tertulis secara eksplisit peningkatan produksi. Hal ini berbeda dengan kebijakan pertanian di Indonesia yang tidak ada kebijakan tertulis meningkatkan pendapatan petani. Dengan struktur insentif yang memadai, petani dapat tetap mempertahankan budidaya pertanian/peternakan yang secara tidak langsung dapat menekan proses migrasi atau pindah ke sumber pendapatan lainnya, menekan potensi peningkatan kemiskinan, dan penting dicatat adalah mempertahankan ekologi dan landscape perdesaaan.

 Pertanyaannya mengapa EU mempertahankan kebijakan dukungan pendapatan petani ? Kebijakan proteksi yang sangat kuat terhadap petani refleksi dari kebijakan umum yang bersifat welfare state. Negara berkewajiban meningkatkan kesejahteraan semua warga walaupun memiliki dampak trade off. Tidak semua akan mendapatkan manfaat positif yang linear atau asimetris. Kebijakan proteksi perdagangan sesungguhnya dari kacamata neo klasik hanya akan mengalokasikan sumberdaya yang tidak efisien. Cenderung berpihak kepada petani/peternak. Pembayar pajak (tax payers) berkorban atas kebijakan ini. Pilihan ini harus diambil untuk mengurangi kesenjangan pendapatan antara petani/peternak dengan sektor modern lainnya misal industri dan jasa.

Pendapatan petani di Uni Eropa di bawah pendapatan rata-rata secara keseluruhan. Adanya kesenjangan ini sebagai contoh di tahun 2017 rata-rata pendapatan petani kurang dari 50% diibandingkan pendapatan sektor lainnya (Mondelaers. et. al., 2018). Dengan 10 tujuan kebijakan pertanian di Uni Eropa, maka sangat wajar petani/peternak mendapatkan perlindungan dari ketidakstabilan harga. Ketidakadaan struktur insentif baik berupa proteksi perdagangan internasional dan bantuan baik berupa subsidi dan direct payment akan menghambat tercapainya tujuan-tujuan lainnya. Dapat dipahami bahwa pertanian memiliki fungsi yang luas dan beragam (multifunctionality).  Pertanian tidak hanya sebatas pemasok kebutuhan utama atau primer masyarakat. Pertanian dapat menjaga keseimbangan sosial dan alam yang memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi (jasa lingkungan). 

Lessons learned

Pertanian tidak hanya sebatas hubungan struktural antara petani sebagai manajer usahatani, dan input pertaniannya lainnya dengan produksi pertanian dalam arti luas. Pertanian memiliki dimensi sosial interaksi antara petani dengan petani atau masyarakat di sekitarnya, petani dengan kelembagaan terkait dan juga interaksi dengan alam lingkungan. Tidak ada atau tidak cukupnya struktur insentif yang diterima petani, dapat diramalkan akan terjadi perubahan struktur sosial dan peran pertanian sebagai penyedia jasa lingkungan akan berkurang atau punah dengan sendirinya. 

Perlu ada kemauan politik untuk menetapkan standar hidup layak seorang petani baik dari segi luas pengusahaan/jumlah ternak dan pendapatannya. Indeks nilai tukar pertanian tidak dapat dijadikan tolok ukur kesejahteraan petani. Nilai tukar hanya menggambarkan rasio harga yang diterima dan harga barang yang dibeli. Padahal dalam sistem pemasaran pertanian, struktur pasarnya cenderung oligopsony di mana petani terbatas dalam mendapatkan harga terbaik dan bahkan sangat rentan atas gejolak di pasar.

Penulis pernah menyampaikan dalam forum resmi seharusnya ada keberanian politik menetapkan standar pendapatan petani yang layak. Kebijakan ini analog dengan kebijakan upah minimun.

artikel ini dimuat pada https://www.republika.id/posts/47355/kebijakan-pertanian-uni-eropa-dan-catatan-bagi-indonesia

Related Posts