OLEH Dr Asep Nurhalim (Dosen Ilmu Ekonomi Syariah FEM IPB), Mirza Ari Mustofa (Mahasiswa Ilmu Ekonomi Syariah FEM IPB)
Peringatan hari kelahiran Rasulullah SAW yang kemudian dikenal dengan istilah Maulid Nabi merupakan sebuah fenomena yang umum dilakukan oleh umat muslim di nusantara sebagai wujud penghormatan dan kecintaan terhadap pribadi agung yang membawa petunjuk dan cahaya bagi seluruh umat manusia. Maulid Nabi kemudian dianggap sebagai maslahah mursalah karena mengandung dampak positif apabila diisi dengan kegiatan yang bermanfaat dan karena cinta kepada Nabi merupakan bagian integral dari iman seorang Muslim.
Kelahiran Rasulullah SAW sebagai nabi dan rasul penutup menjadikannya sebagai sosok teladan utama bagi setiap insan manusia hingga akhir zaman. Rasulullah SAW tidak hanya mengajarkan tentang prinsip akidah dan ibadah, namun juga memberikan teladan dalam berbagai kegiatan muamalah atau ekonomi yang bersifat universal. Beliau mengajarkan prinsip-prinsip ekonomi universal yang kemudian dibangun menjadi tiga prinsip derivatif yaitu multiple ownership, freedom to act, dan social justice yang menjadi pedoman bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan perekonomian.
Dalam mempelajari perjalanan ekonomi Rasulullah SAW yang menginspirasi, makna pokok terletak pada pemahaman akan social and humanitarian values yang menjadi dasar kuat dalam Islam. Prinsip-prinsip ini tercermin dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang menekankan pentingnya peduli terhadap mereka yang berada dalam posisi lemah dalam masyarakat. Hal tersebut dapat ditemukan dalam Q.S Al-Fajr ayat 17-18:
كَلَّا ۖ بَلْ لَا تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ ﴿ ١٧﴾ وَلَا تَحَاضُّونَ عَلَىٰ طَعَامِ الْمِسْكِينِ ﴿ ١٨﴾
“ (17) Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, (18) dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin” (Q.S. al-Fajr [89] : 17-18).
Pesan ini mendorong kita untuk merenungkan perjalanan ekonomi Nabi yang dimulai dari masa kecil sebagai anak yatim, serta bagaimana beliau membentuk prinsip-prinsip ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan untuk seluruh umat manusia.
Perjalanan Ekonomi Rasulullah SAW dari Kelahiran hingga Kenabian
Muhammad bin Abdullah lahir sebagai seorang yatim karena ayahnya meninggal sebelum kelahirannya, ibunya juga meninggal ketika beliau masih berusia enam tahun, beliau dirawat oleh kakeknya Abdul Muthalib kemudian pamannya yaitu Abu Thalib. Mayoritas masyarakat suku Quraisy yang pada masa itu berprofesi sebagai pedagang memengaruhi kehidupan Muhammad bin Abdullah yang juga turut menjadi pelaku ekonomi sejak usia dini. Bahkan Muhammad bin Abdullah sudah terlibat dalam kegiatan perdagangan internasional ketika berusia belasan tahun, ketika itu beliau ikut berdagang bersama pamannya ke Syam (sekarang dikenal sebagai Yordania, Palestina, dan Suriah). Muhammad bin Abdullah yang sudah bekerja dan berdagang sejak usia muda menekankan pentingnya kemandirian ekonomi di mana beliau tidak hanya bergantung pada orang lain, meskipun beliau menjadi yatim piatu.
Muhammad SAW menunjukkan kecerdasan dalam memanfaatkan kesempatan yang tersedia. Ketika melakukan perjalanan bisnis bersama pamannya, beliau secara proaktif melihat peluang untuk memahami dan mempelajari masyarakat di daerah yang dikunjunginya. Selain itu, sebagai seorang pedagang, Muhammad SAW secara rutin mengunjungi pusat-pusat bisnis dengan tujuan memahami supply and demand suatu produk serta membangun hubungan bisnis dengan pedagang lain. Selama kunjungannya, Muhammad SAW juga dengan cermat mempelajari budaya masyarakat setempat. Pengamatan dan pemahaman mendalam tentang perilaku dan kebutuhan masyarakat adalah kunci untuk kesuksesan dalam bisnis. Muhammad SAW melibatkan dirinya secara aktif dalam memahami pasar dan konsumen.
Memasuki usia 25 tahun yang mana merupakan periode puncak keberhasilan ekonomi Nabi Muhammad SAW sebagai seorang pedagang dan pebisnis. Keberhasilan ekonomi dan bisnis beliau senantiasa diiringi dengan empat sifat utama yang menjadi ciri-ciri kepribadian beliau, yaitu sidiq, amanah, fatonah, dan tabligh. Pada usia 25 tahun, Nabi Muhammad SAW adalah seorang pedagang yang terkenal di Mekah. Ini merupakan salah satu periode kunci dalam kehidupan beliau yang menandai kesuksesan ekonominya. Nabi Muhammad dikenal dengan sebutan “Al-Amin” (orang yang terpercaya) dan “As-Sidiq” (orang yang jujur), sifat-sifat yang sangat penting dalam dunia bisnis dan perdagangan. Sidiq merujuk pada kejujuran dan ketulusan dalam bertransaksi, yang membantu membangun kepercayaan di antara para pedagang dan klien. Amanah, yang juga merupakan salah satu sifat beliau, mengacu pada integritas dan keandalan dalam memenuhi komitmen bisnis. Nabi Muhammad SAW selalu mematuhi kesepakatan, bahkan dalam situasi yang sulit. Ini membuatnya menjadi mitra yang sangat dihormati dalam perdagangan. Fatonah, yang berarti kebijaksanaan atau kepintaran dalam berbisnis. Nabi Muhammad SAW adalah seorang pedagang yang cerdik dan mampu melihat peluang dan mengambil keputusan yang bijaksana dalam mengelola usahanya. Keberhasilan beliau dalam perdagangan juga mencerminkan bakat alami dalam berbisnis. Selain itu, Tabligh adalah sifat yang menunjukkan kemampuan untuk menyampaikan pesan dengan baik, kemampuan ini juga memainkan peran penting dalam dunia bisnis. Nabi Muhammad SAW mampu meyakinkan dan mempengaruhi orang untuk terlibat dalam perdagangan dengannya.
Pada usia ini, Nabi Muhammad SAW menikahi Khadijah, mereka membentuk sebuah keluarga yang penuh harmoni dan berperan sebagai “miniature of a country” yang mencerminkan prinsip-prinsip ekonomi Islam. Dalam ikatan pernikahan mereka, terjalin kerja sama yang kuat antara suami dan istri dalam mengelola bisnis keluarga, yang mendorong kesuksesan ekonomi bersama. Mereka memberikan teladan konkret tentang pentingnya kejujuran, integritas, kecerdasan dalam berbisnis, dan sikap dermawan kepada yang membutuhkan sebagai dasar dalam praktek ekonomi.
Sebagai sosok yang dianggap sebagai figur teladan, Rasulullah SAW memiliki potensi luar biasa. Hal ini terbukti dengan penempatannya sebagai tokoh paling berpengaruh di dunia oleh seorang penulis Barat, Michael Hart, dalam bukunya The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History. Sebuah realitas yang patut diperhatikan adalah bahwa perubahan yang sangat masif di wilayah Arab pada abad ke-7 diprakarsai oleh seseorang yang mulanya berprofesi sebagai pengusaha dan pedagang. Dengan kata lain, terjadi pergeseran yang signifikan yang merambah ke berbagai aspek kehidupan, termasuk perubahan dalam hukum, tatanan sosial, ekonomi, politik, budaya, dan agama yang ternyata diprakarsai oleh seseorang yang pada awalnya berkecimpung sebagai pelaku ekonomi pasar.
Perjalanan Ekonomi Rasulullah SAW Pada Masa Kenabian
Perjalanan ekonomi Rasulullah SAW pada periode kenabian memberikan arahan yang berharga bagi pelaku ekonomi. Beliau mendorong penerapan konsep keadilan dalam transaksi bisnis. Prinsip kepatuhan terhadap hukum dan kontrak mendapat penegasan kuat, memastikan operasional bisnis yang transparan dan bertanggung jawab. Melalui penerapan prinsip-prinsip ini, para pelaku ekonomi dapat menciptakan masyarakat yang lebih adil, memperkuat ikatan sosial, dan mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan sejalan dengan prinsip-prinsip etika ekonomi Islam. Fakta ini ditunjukkan oleh sejumlah besar ayat dalam al-Quran yang menguraikan tentang aspek-aspek ekonomi. Hal tersebut dapat ditemukan dalam (Q.S Al-Baqarah [2] : 275):
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ ﴿ ٢٧٥﴾
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 275).
Ayat tersebut menjelaskan perintah untuk menjauhi riba terutama bagi pelaku ekonomi. Riba dapat menciptakan ketidakadilan dan ketidakstabilan ekonomi dalam masyarakat. Sehingga para pelaku ekonomi harus memahami dampak negatif dari riba dan berkomitmen untuk menghindarinya.
Sebagai pelaku ekonomi harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang prinsip-prinsip penguasaan pasar. Penguasaan pasar ini melibatkan pengetahuan tentang harga, persaingan, serta prinsip-prinsip etika dan integritas dalam berbisnis. seperti dalam suatu hadist:
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ أَمِنَ الْحَلَالِ أَمْ مِنْ الْحَرَامِ
“Akan datang suatu zaman pada manusia yang ketika itu seseorang tidak peduli lagi tentang apa yang didapatnya apakah dari barang halal ataukah haram.” (HR. Bukhari).
Setelah merenungkan hadis mengenai ketidakpedulian manusia terhadap sumber kekayaan yang halal atau haram, perlu dicatat bahwa ekonomi yang sehat seharusnya berfungsi sebagai motor penggerak yang menjadikan orang kaya sebagai pionir pembaru dalam masyarakat serta memberdayakan individu-individu yang berprinsip dan soleh. Hal ini menandakan bahwa tujuan utama dalam ranah ekonomi adalah mencapai distribusi kekayaan yang merata dan adil, yang memungkinkan orang kaya untuk berperan aktif dalam berbagai inisiatif sosial, filantropi, dan pemberdayaan masyarakat yang lebih luas. Selain itu, upaya untuk menghadirkan pemimpin yang bermoral, terutama yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan etika, harus menjadi prioritas dalam dinamika ekonomi. Dengan begitu, terwujud sinergi yang harmonis antara kepemimpinan yang berkualitas dan sistem ekonomi yang berorientasi pada kesejahteraan dan keadilan sosial, yang pada gilirannya akan mengakhiri era ketidakpedulian manusia terhadap sumber kekayaan yang mereka peroleh. Sementara ayat ayat Al-Quran seperti QS Al-Muthofifin ayat 1 : “”Sungguh neraka wail/kecelakaan itu bagi mereka orang orang yang curang” juga hadist Rasulullah SAW seperti HR Ibnu Hibban : “ seburuk buruk tempat adalah pasar “ mengingatkan bahwa orang orang mukmin yang shalih itu harus terlibat dalam kegiatan kegiatan pasar dan perjuangan penguasaan pengelolaannya.