Oleh Dr. Anisa Dwi Utami (Staf Pengajar Departemen Agribisnis FEM IPB)

Pangan sebagai suatu komoditas strategis seringkali diasumsikan sebagai produk yang bersifat homogen dengan karakteristik tertentu. Namun seiring dengan perubahan kondisi sosial ekonomi masyarakat saat ini telah berkembang berbagai macam jenis produk pangan berikut olahannya. Produsen pangan olahan telah mengembangkan berbagai macam produk baru dengan variasi rasa, bahan, maupun kemasan yang menarik konsumen. Diversifikasi ini meliputi makanan ringan, minuman sehat, makanan instan, camilan sehat, makanan fungsional, dan juga produk organik. Dari sisi gaya hidup, semakin banyak konsumen yang sadar akan pentingnya kesehatan dan nutrisi. Oleh karena itu, terjadi peningkatan permintaan akan makanan olahan yang mengandung bahan-bahan fungsional, seperti superfood, probiotik, prebiotik, dan makanan rendah gula, garam, dan lemak. Selain itu, produk minuman inovatif, termasuk minuman fungsional, minuman berenergi, air mineral dalam kemasan praktis, minuman susu, serta minuman non-alkohol dengan berbagai rasa dan manfaat kesehatan, juga semakin banyak diminati. Produsen makanan olahan juga terus mengembangkan berbagai modifikasi baru untuk mengolah makanan tradisional Indonesia, seperti rendang, sambal, keripik, dan lainnya. Para produsen makanan juga memadukan teknologi modern dengan resep tradisional untuk menciptakan produk dengan daya saing tinggi.

Dalam upaya mencapai ketahanan pangan nasional, pemerintah menetapkan stabilisasi harga sebagai acuan berbagai macam program maupun kebijakan. Secara langsung upaya tersebut diimplementasikan melalui kebijakan harga pada komoditas-komoditas pangan strategis. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 125 tahun 2022, terdapat tujuh komoditas pangan strategis yang meliputi beras, jagung, kedelai, bawang, cabai, daging unggas, telur unggas, daging ruminansia, gula konsumsi, minyak goreng dan ikan. Menurut PP tersebut, pemerintah menetapkan cadangan pangan pemerintah terhadap ketujuh jenis pangan tersebut yang dilakukan secara bertahap yang dikoordinasikan melalui Badan Pangan Nasional. Sejalan dengan penetapan cadangan pangan pemerintah, dalam upaya stabilisasi harga pangan pemerintah juga menetapkan berbagai kebijakan harga pangan melalui penetapan harga eceran tertinggi pada komoditas pangan strategis. Misalnya, terakhir pemerintah melalui Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 7 tahun 2023 menetapkan harga eceran tertinggi (HET) untuk beras, Peraturan Kementerian Perdagangan nomor 6 tahun 2022 tentang HET untuk minyak goreng sawit, dan Nomor 11 tahun 2022 untuk minyak goreng curah. 

Dalam konteks kebijakan produk-produk pangan nasional, dimana intervensi pemerintah masih begitu mendominasi maka pemahaman mengenai dinamika pasar produk-produk pangan tersebut perlu terus dipertajam terutama oleh pengambil kebijakan. Meskipun secara umum, kebijakan stabilisasi harga pangan cenderung bersifat pragmatis (jangka pendek) terutama dalam rangka merespon gejolak pasar yang terjadi. Intervensi harga yang dilakukan oleh pemerintah seringkali diperdebatkan akan menyebabkan distorsi pasar meskipun di satu sisi berupaya untuk mengatasi instabilitas harga. Sehingga alih-alih dapat menurunkan lonjakan harga yang terjadi, intervensi harga yang dilakukan oleh pemerintah justru akan membuat distorsi harga semakin besar dan dapat memicu aksi penimbunan atau sebaliknya. 

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa dari sisi demand, masyarakat atau konsumen pangan pelan tapi pasti menunjukkan perubahan perilaku tidak hanya berkaitan dengan aspek kuantitas produk-produk pangan semata, tetapi juga pada jenis dan kualitas produk pangan yang diminta. Oleh karena itu, maka perlu juga diperhatikan bagaimana keterkaitan antara harga produk-produk pangan tidak hanya antar komoditas tetapi juga antar kualitas produk. Beberapa studi empiris menunjukkan perbedaan perilaku diantara harga pangan dengan kualitas yang berbeda. Studi yang dilakukan oleh Krisnamurthi dkk (2022) yang dipublikasikan pada Jurnal Agraris volume 8 nomor 1 tahun 2022, terhadap harga beras dengan 12 jenis kualitas beras di Pasar Induk Cipinang, menunjukkan respon harga yang berbeda terhadap kebijakan harga beras yang ditetapkan pada tahun 2016 dan tahun 2017 antara harga beras kualitas medium, premium dan rendah. Selanjutnya studi oleh Utami dkk (2023) yang dipublikasikan pada Jurnal Cogent Economics and Finance volume 11 tahun 2023, juga menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan (price interdependence) di antara harga-harga beras dengan kualitas yang berbeda. Dari sisi teori, hubungan antara harga-harga ini dapat diinterpretasikan bagaimana hubungan fungsional antar produk pangan tersebut, semisal bersifat subtitusi atau komplementer. Hubungan ini juga tidak hanya dilihat dari aspek demand, tetapi juga perilaku produsen pangan atau pedagang di pasar. Asumsi sebagai price taker dalam competitive market bisa jadi berubah dengan melihat bagaimana elastisitas antar harga tersebut. Hubungan subtitusi diantara kualitas produk pangan misalnya mengindikasikan bahwa pedagang di pasar akan melakukan penyesuaian terhadap gejolak harga yang terjadi dengan mengkombinasikan jenis produk pangan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar karena adanya perbedaan harga. 

Maka, implikasinya adalah jika pemerintah menetapkan satu kebijakan harga pangan untuk produk kualitas tertentu akan juga berdampak pada harga pangan produk pangan kualitas yang lain. Dalam konteks kebijakan stabilisasi harga pangan, lebih lanjut perlu juga dianalisis efek spillover volatilitas diantara produk-produk pangan antar kualitas tersebut. Dalam kasus beras misalnya, meskipun sampai dengan saat ini beras masih merupakan makanan pokok utama sebagian besar masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan, tetapi masyarakat juga mulai memerhatikan aspek kualitas. Hal ini ditunjukkan dengan berkembangnya merk-merk beras dengan kualitas tertentu di pasaran yang menyasar kalangan masyarakat ekonomi menengah ke atas. Kembali kepada teori ekonomi, bahwa harga seyogyanya merupakan indikator bagaimana pasar bekerja baik itu dari sisi supply maupun demand. Dalam jangka panjang, harga akan mengisyaratkan bagaimana alokasi sumber daya ekonomi sekaligus ketersediaan atau keberlanjutan sumber daya-sumber daya yang ada. Secara sederhana, harga pangan yang terus meningkat menjadi sinyal bahwa sumber daya untuk mendukung kegiatan produksi semakin terbatas untuk mampu mencukupi kebutuhan atau permintaan masyarakat. 

Dalam konteks pencapaian ketahanan pangan nasional yang berkelanjutan, apapun paket kebijakannya baik itu dalam pengelolaan cadangan pangan maupun stabilisasi harga, hendaknya mampu mengakomodir seluruh kepentingan stakeholder dalam sistem agribisnis pangan. Intervensi yang dilakukan oleh pemerintah seharusnya tidak hanya berorientasi pada kepentingan konsumen saja tetapi juga perlu melihat bagaimana dampak terhadap produsen dan pedagang di pasar, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka panjang, intervensi harga pangan yang berubah-ubah dapat menjadi faktor ketidakpastian pasar sehingga bisa menjadi disinsentif bagi pelaku pasar. Wallahua’alam.

Related Posts