OLEH Dr Sahara (Direktur International Trade Analysis and Policy Studies-ITAPS dan Dosen Departemen Ilmu Ekonomi FEM-IPB), Eliza Mardian (Peneliti Center of Reform on Economics Indonesia)
Ketersediaan pangan dan harga pangan yang terjangkau oleh semua kalangan masyarakat menjadi isu prioritas bagi ketiga pasangan calon presiden dan wakil presiden 2024. Sebagaimana tertuang dalam dokumen visi misi masing-masing, ketiga calon presiden dan wakil presiden 2024 memiliki perhatian yang sama terkait isu pangan ini.
Namun demikian, di dalam dokumen tersebut belum ditemukan kata kunci penataan atau perbaikan data pertanian yang valid dan real time. Untuk perbaikan data lain semisal kemiskinan dan data kependudukan secara eksplisit disebutkan. Sementara perbaikan data pertanian tidak disebutkan.
Sebagaimana yang kita ketahui, data pangan yang valid dan real time mutlak dibutuhkan untuk perencanaan, monitoring dan evaluasi apakah stok pangan di dalam negeri mencukupi atau tidak. Secara sederhana stok pangan di dalam negeri dihitung dari produksi pangan di dalam negeri ditambah impor dikurangi ekspor dan dikurangi penggunaan pangan untuk kegiatan lain (misal untuk pakan).
Untuk memperoleh perhitungan stok pangan tepat, tentu saja data terkait produksi, ekspor, impor dan penggunaan pangan untuk kegiatan lain harus tersedia. Tantangan utama adalah terkait dengan data produksi pangan. Sebagai lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah terkait data di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) terus memperbaiki data produksi pertanian melalui metode KSA (Kerangka Sampel Area). Hingga saat ini, BPS telah merilis data KSA untuk komoditas padi dan jagung.
Pada komoditas pangan, basis data yang diperlukan tidak hanya di tingkat produksi/petani, tetapi juga disepanjang rantai pasok komoditas pangan. Seperti yang kita ketahui untuk memindahkan komoditas pertanian dari wilayah produsen ke wilayah konsumen diperlukan peran middle man (perantara). Struktur pasar komoditas pertanian yang cenderung oligopsoni di tingkat petani dan oligopoli di tahapan selanjutnya berpotensi menyebabkan asimetris informasi yang dapat merugikan konsumen dan petani sebagai produsen.
Ketiadaan data di tingkat produksi dan di sepanjang rantai nilai pada komoditas pertanian berpotensi mengundang para rent seeker untuk mengambil keuntungan, memicu upaya spekulasi sehingga harga naik secara artifisial dan mengerek inflasi. Misalnya saja data beras, data produksi gabah ditingkat petani dengan KSA mungkin sudah tersedia dan dapat ditelusuri. Namun data beras di tingkat penggilingan dan gudang itu belum sepenuhnya dapat ditelusuri. Hal serupa juga terjadi di komoditas pangan lainnya.
Basis data menjadi kunci
Dalam mengendalikan inflasi terutama inflasi pangan (volatile food), pemerintah telah mengupayakan beberapa hal seperti kerja sama antar pemerintah daerah membeli komoditas pangan, pembuatan website panel harga komoditas, pembentukan tim pengendalian inflasi terpadu dan lainnya. Selain itu, pemerintah pun gencar membangun infrastruktur pendukung untuk mengembangkan sistem logistik nasional salah satunya yakni tol laut.
Keberadaan tol laut diharapkan dapat meningkatkan kelancaran arus barang di seluruh wilayah Indonesia sehingga dapat mengurangi disparitas harga antar wilayah. Sayangnya hingga saat ini tol laut dihadapkan dengan beragam persoalan seperti muatan balik dari timur ke barat yang masih minim. Padahal hasil pertanian, perkebunan atau perikanan di Kawasan Timur Indonesia sangat berlimpah.
Minimnya muatan balik ini dapat disebabkan karena ketersediaan barang belum terjamin. Kurangnya perencanaan dalam memproduksi jenis barang, berapa jumlah yang di produksi dan kemana akan dipasarkan dapat menjadi salah satu penyebab ketersediaan tidak kontinyu. Ketiadaan data tersebut menyebabkan pengambil kebijakan tidak dapat optimal dalam mengarahkan masyarakatnya untuk memproduksi jenis pangan tepat waktu, tepat jumlah dan memasarkan produknya.
Untuk dapat mewujudkan ketersediaan pangan maka beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pengambil kebijakan untuk menyempurnakan konsep dan mengoptimalkan infrastruktur yang sudah terbangun.
Pertama, membangun pemetaan data supply dan demand. Hal ini dapat memudahkan identifikasi mana daerah surplus dan mana daerah yang kekurangan. Data dari sisi supply dapat dilakukan dengan membangun basis data di kabupaten. Data KSA yang dipublikasikan oleh BPS sangat bermanfaat dalam menyediakan data terkait produksi pertanian. Namun demikian, untuk menyediakan data produksi komoditas pertanian yang real time perlu dilengkapi dengan dashboard yang menyediakan informasi terkait wilayah-wilayah mana saja yang sedang panen komoditas pangan (padi, jagung, kedelai, cabai, bawang dan lain-lain) secata harian.
Keberadaan dashboard tersebut akan sangat membantu lancarnya perdagangan antar wilayah (interregional trade). Dalam konteks ini, wilayah-wilayah yang defisit dapat mengimpor dari wilayah-wilayah yang sedang panen sehingga defisit pangan di masing-masing wilayah (kabupaten misalnya) dapat teratasi. Untuk memindahkan barang dari wilayah yang surplus ke wilayah yang defisit diperlukan sistem logistik pangan nasional yang andal.
Keberadaan sistem logistik pangan dapat mendukung upaya stabilitas harga pangan, mengendalikan inflasi (pangan bergejolak) dan menjaga daya beli masyarakat. Inflasi pangan perlu dijaga mengingat makanan dan minuman memberikan andil terhadap inflasi kurang lebih sebesar 20 persen. Terlebih lagi 73 persen dari total pengeluaran penduduk miskin digunakan untuk membeli makanan.
Selain itu, data pendukung seperti ketersediaan tenaga kerja (talent pool) dan ketersediaan lahan (land bank) sangat bermanfaat dalam perencanaan produksi. Sulitnya mencari tenaga kerja dan persaingan dalam mendapatkan lahan sewa membuat petani harus mengeluarkan biaya lebih tinggi untuk bisa mendapatkannya.
Adapun data dari sisi demand dapat ditempuh dengan pemetaan kebutuhan jenis komoditas dan jumlah di masing-masing wilayah. Data ini digunakan untuk memasarkan hasil produksi pangan dari sentra produksi agar di distribusikan secara efektif dan efisien. Akan ada kepastian dari sisi harga bagi petani karena pemasarannya sudah terarah dan jelas.
Disamping kedua data tersebut, juga dibutuhkan data inventory untuk menunjang sistem pergudangan. Dengan adanya data-data itu akan memudahkan pengambil kebijakan untuk mengatur distribusi dalam negeri, ekspor dan impor bilamana diperlukan.
Kedua, perlunya sinergi dan koordinasi antar pemangku kepentingan. Pemerintah pusat, pemerintah daerah dan tokoh Masyarakat duduk bersama berdiskusi dalam membuat program yang saling melengkapi dan sesuai urgensi. Keberadaan Tim Pengandali Inflasi Pusat dan Daerah masih sangat diperlukan dalam mendukung perdagangan antar wilayah yang berbasis data tersebut.
Sebagai penutup, upaya untuk menyediakan pangan dengan jumlah yang cukup dan harga yang terjangkau memang tidaklah mudah. Namun, terlepas siapapun presiden yang terpilih, isu pangan tetap menjadi isu yang sangat vital. Oleh sebab itu diperlukan komitmen yang kuat bagi capres dan cawapres dalam membenahi sistem pangan di Indonesia. Data menjadi kunci utama dari pembenahan tersebut.