OLEH Dr. Tony Irawan (Peneliti ITAPS FEM IPB, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB) dan Syarifah Amaliah (Peneliti ITAPS FEM IPB, Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB)
Free trade agreement (FTA) yang sebelumnya banyak berfokus kepada peningkatan akses pasar untuk barang saat ini sudah banyak bertransformasi dengan memasukkan chapter-chapter tambahan baru. Transformasi ini menyebabkan ruang lingkup negosiasi perdagangan internasional menjadi semakin luas.
Transformasi ke arah deep trade agreement (DTA) ini divalidasi dengan rekapitulasi data yang diungkapkan Mattoo, Rocha, dan Ruta (2020) yang mana cakupan kerja sama dalam kerja sama perdagangan regional secara rata-rata berjumlah delapan substansi kebijakan pada periode 1950-an. Cakupan kerja sama kemudian meningkat secara signifikan menjadi 17 bidang substansi dalam satu dekade terakhir.
Di sisi lain, jumlah komitmen dalam kerja sama perdagangan juga turut menunjukkan tren peningkatan seiring dengan semakin banyaknya ketentuan yang mensyaratkan transparansi dan mekanisme regulatory reform domestik yang lebih kuat.
Salah satu faktor yang menyebabkan transformasi FTA menuju DTA adalah kondisi eksisting ruang penurunan tarif yang makin terbatas. Pada kasus Indonesia, secara rata-rata Indonesia telah berkomitmen untuk meliberalisasi 84 persen pos tarif berdasarkan perjanjian yang telah diimplementasikan.
Dalam fora ASEAN+1, komitmen Indonesia pada ASEAN China FTA (ACFTA) mencapai 94 persen, ASEAN India FTA (AIFTA) sebesar 80 persen, ASEAN Japan Comprehensive Economic Partnership (AJCEP) mencapai 93 persen, ASEAN Korea FTA (AKFTA) sebesar 93 persen, dan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) sebesar 90 persen.
Partisipasi Indonesia pada Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) dikonsiderasikan sebagai bentuk DTA karena kerja sama ekonomi tersebut mempunyai karakteristik modern dan high standard. Pembentukan RCEP tidak hanya bertujuan untuk membangun sentralitas ASEAN, tetapi juga mencoba untuk menyelesaikan efek “noodle bowl” dari FTA yang telah diimplementasikan.
RCEP mencakup 20 chapters termasuk initial provision and general definition, trade in goods, rules of origin, customs procedure and trade facilitation, sanitary and phytosanitary measures, standards, technical regulations and conformity assessment procedures, trade remedies, trade in services, temporary movement of natural persons, investment, business environment, intellectual property, electronic commerce, competition, small and medium enterprises, economic and technical cooperation, government procurement, general provisions & dispute settlement.
Asesmen ex ante RCEP sebagai DTA diprediksi akan memberikan manfaat bagi perekonomian Indonesia dengan estimasi dampak yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan FTA lainnya karena oleh kedalaman komitmen substansi perjanjian yang diimplementasikan. Di samping itu, ukuran ekonomi 15 negara anggota RCEP menyumbang 30 persen produk domestik bruto (PDB) global dan 28 persen perdagangan global.
Potensi manfaat bergabungnya Indonesia dalam RCEP dalam kerja sama perdagangan barang diprediksi membuat pertumbuhan GDP riil Indonesia sebesar Rp 13,21 triliun pada 2030 dan Rp 38,33 triliun pada 2040.
Ekstensifikasi dampak skema kerja sama RCEP di sektor jasa diprediksi juga akan meningkatkan output ketika diskenariokan adanya liberalisasi pada sektor jasa sebagai konsekuensi Indonesia RCEP. Dampak liberalisasi di sektor jasa, meningkatkan GDP riil Indonesia sebesar 0,003 persen (BPHN 2022). Manfaat ini juga berpotensi meningkat dengan signifikan akibat optimalisasi regional value chains di kawasan RCEP.
Pemetaan outstanding issues dalam DTA
Ke depan, terdapat potensi penambahan provision yang dapat saja berhubungan langsung dan tidak langsung dengan perdagangan internasional yang menjadi inti dari DTA. Hal tersebut selanjutnya disebut dengan isu outstanding.
Terdapat banyak sekali variasi dari isu outstanding yang saat ini telah ada dalam beberapa DTA di dunia. Kesepakatan terkait isu outstanding tersebut ada yang sudah sampai kepada tahapan binding dengan konsekuensi adanya pinalti jika tidak dijalankan dan terdapat juga kesepakatan yang baru mencapai tahapan membangun awareness dari pihak yang terlibat dalam DTA tersebut.
Salah satu kerja sama perdagangan yang memiliki isu baru adalah ASEAN–Canada Free Trade Agreement (ACAFTA) sebagai bagian dari ASEAN Canada Strategic Partnership. Perjanjian perdagangan ini diluncurkan pada the 10th ASEAN Economic Ministers’ Meeting (AEM)-Canada Consultation tahun 2021.
Kerja sama ini bertujuan untuk meningkatkan akses sektor swasta serta mendorong koneksi ASEAN dan Kanada dalam rantai nilai global. Dalam rilis Objectives for Negotiations for a Canada-ASEAN Free Trade Agreement pada 2021, Kanada menyertakan beberapa aspek yang diklasifikasikan sebagai kemungkinan outstanding issues dalam ACAFTA, yakni terkait dengan labour, environment, culture, dan inclusiveness.
ITAPS dan Kemendag (2021) melakukan studi kasus mengenai pemetaan positioning Indonesia terhadap kemungkinan adanya labour provision dalam DTA yang melibatkan Kanada sebagai mitra kerja sama. Jika mempertimbangkan hubungan antara isu outstanding dengan perdagangan internasional, skema kerja sama dikelompokkan menjadi 2 (dua), yakni isu outstanding yang menjadi chapter khusus dalam FTA, dan kesepakatan terkait isu outstanding yang memiliki dampak terhadap perdagangan internasional.
Terkait dengan isu labour provision, jenis kerja sama yang dimiliki Kanada bahkan dapat dikelompokkan menjadi Labour Chapters of Free Trade Agreements (LCFTAs) dan Trade-related Labour Cooperation Agreements (LCAs). Per 2022, Kanada terlibat dalam kerja sama binding dengan labour provision, yakni tujuh LCFTA dan tujuh LCA yang berada dalam tahap implementasi.
Pada isu outstanding terkait dengan labor provision, Kanada telah menerapkan high standards FTA atau kesepakatan terkait standar ketenagakerjaan yang melebihi batasan standar pada kesepakatan internasional (sebagaimana yang tercakup pada aturan ILO). Salah satunya terlihat pada agreement yang mencakup pencegahan dan kompensasi untuk cedera dan penyakit akibat kerja serta implementasi prinsip non-diskriminasi pada kondisi kerja pekerja migran.
Beberapa aspek kunci terkait dengan labour provision dalam FTA yang diimplementasikan oleh Kanada mencakup hak tenaga kerja, penyelesaian sengketa, dan partisipasi publik. Terkait dengan hak tenaga kerja, Kanada telah menerapkan standar yang mirip dengan Amerika Serikat.
Secara umum, aspek yang tercakup sangat luas dan terfokus kepada perlindungan tenaga kerja. Terkait dengan penyelesaian sengketa, Kanada memiliki mekanisme implementasi yang ketat. Setelah melalui proses konsultasi dan tahapan-tahapan dalam penyelesaian sengketa, pengenaan pinalti menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindarkan.
Partisipasi publik juga selalu menjadi concern dari Kanada, di mana partisipasi dari masyarakat sipil, termasuk didalamnya serikat pekerja, menjadi suatu keharusan dalam setiap proses pembuatan kebijakan.
Untuk setiap isu outstanding yang memiliki kesepakatan internasional, standar minimum yang digunakan Kanada dalam FTA eksisting merujuk kepada standar pada kesepakatan internasional.
Pada isu outstanding terkait dengan labour provision, Kanada telah memiliki standar yang sangat tinggi sebagaimana yang terlihat pada poin-poin kesepakatan Kanada pada 7 (tujuh) FTA yang memiliki chapter khusus terkait dengan ketenagakerjaan. Poin-poin kesepakatan yang dimaksud telah melampaui standar internasional yang disepakati pada forum ILO.
Dengan demikian, kemungkinan possible offer Kanada dari isu outstanding terkait dengan labor provision. Kemungkinan possible offer dari Kanada yang pertama adalah Kanada akan mengajukan standar internasional terkait dengan ketenagakerjaan, yakni International Labour Organization (ILO) Declaration on Fundamental Principles and Rights at Work of 1998, ILO Declaration on Social Justice for a Fair Globalization of 2008, ECOSOC 2006.
Kemungkinan possible offer dari Kanada kedua adalah Kanada akan mengajukan konsep International Agreement Plus, di mana lebih luas dari opsi pertama, salah satunya dengan penambahan elemen pencegahan dan kompensasi untuk cedera dan penyakit akibat kerja serta implementasi prinsip non-diskriminasi pada kondisi kerja pekerja migran.
Oleh karena itu, possible landing zone yang feasible untuk isu outstanding terkait dengan labour provision bagi Indonesia adalah dengan komitmen atas instrumen standar yang ada pada kesepakatan international di luar aspek yang belum dapat dipenuhi Indonesia.
Strategi peningkatan kesiapan Indonesia menghadapi Deep Trade Agreement (DTA) dan oustanding dapat diawali dengan melakukan benchmarking dan pemetaan mengenai alignment ketentuan spesifik regulasi yang diimplementasikan domestik dengan internasional dan negara mitra. Pemetaaan gap regulasi menjadi mutlak untuk dilakukan.
Selanjutnya dukungan teknis berupa analisis dan studi diperlukan untuk mengestimasi dampak implementasi DTA Indonesia terhadap kinerja perdagangan maupun kondisi perekonomian secara umum yang dapat dilakukan dengan menggunakan menggunakan di level agregat dan granular di level perusahaan.
Mattoo et al (2022) berpendapat bahwa DTA dapat memiliki potensi dampak yang heterogen terhadap suatu negara karena adanya dampak asimetris dari implementasi regulasi. Meskipun sudah terdapat kemajuan dalam pemodelan ekonomi dan perdagangan, masih terdapat banyak tantangan yang perlu diakomodasi terkait new generation FTA mencakup aspek ketersediaan input data maupun permodelan teknis terkait investasi, persaingan usaha, peraturan ketenagakerjaan, aspek lingkungan, digital dan aspek lainnya.
Fokus analisis untuk menilai dampak aspek substansi perjanjian secara detail menjadi semakin penting untuk memperkuat evidence based policy making sebagai basis positioning perundingan perdagangan internasional Indonesia.