OLEH Prof Dr Amzul Rifin, SP, MA (Peneliti International Trade Analysis and Policy Studies dan Dosen Departemen Agribisnis FEM IPB University)
OLEH Prof Dr Amzul Rifin, SP, MA (Peneliti International Trade Analysis and Policy Studies dan Dosen Departemen Agribisnis FEM IPB University)
Parlemen Eropa mengesahkan Regulation 2023/115 pada 29 Juni 2023 mengenai European Union Regulation on Deforestation-Free Products (EUDR). Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi deforestasi dengan menetapkan target bagi komoditas berisiko tinggi yang terdiri atas tujuh komoditas ekspor ke negara Uni Eropa.
Tujuh komoditas itu adalah minyak sawit, kayu, karet, kakao, kopi, kedelai dan ternak. Kebijakan tersebut mensyaratkan, antara lain, hanya komoditas yang teruji ditanam/dikembangkan di lahan bebas deforestasi per tanggal 31 Desember 2020 yang dapat masuk pasar Uni Eropa. Kedua, pengetatan aturan uji tuntas (due diligence) bagi operator dan trader ketujuh komoditas tersebut. Syarat ketiga, penggunaan sistem koleksi koordinat geografis (geolocation) untuk menentukan lahan penanaman/produksi ketujuh komoditas tersebut.
Adapun syarat keempat adalah pemberlakuan sistem benchmarking bagi negara eksportir ketujuh komoditas tersebut sebagai penentu muatan kewajiban uji tuntas (due diligence) operator yang dibagi menjadi tiga kategori risiko, yaitu deforestasi rendah (low risk), standar (standard risk) dan tinggi (high risk).
Kebijakan tersebut banyak diprotes terutama oleh negara-negara pengekspor ketujuh komoditas tersebut, termasuk Indonesia. Kondisi ini dikhawatirkan dapat menurunkan ekspor komoditas ke pasar Uni Eropa. Terlebih lagi apabila dilihat dari kode HS komoditas yang terkena dampak kebijakan tersebut meliputi komoditas hulu hingga hilir.
Sebagai contoh pada komoditas kakao, HS terdampak adalah HS 1801 berupa biji kakao yang merupakan produk hulu untuk bahan baku hingga HS 1806 sebagai produk hilir makanan dengan kandungan cokelat.
Contoh lainnya adalah pada komoditas sawit, yaitu HS 151110 yang merupakan produk hulu berupa crude palm oil (CPO) hingga HS 151190 sebagai produk yang lebih hilir berupa refined palm oil (RPO).
Sebetulnya, kebijakan ini tidak hanya akan merugikan bagi eksportir ketujuh komoditas yang terdampak, tapi juga akan merugikan industri di dalam negeri negara anggota Uni Eropa itu sendiri. Anggota Uni Eropa umumnya mengimpor bahan baku dari negara-negara berkembang, kemudian diolah menjadi produk intermediet atau produk hilir dan kemudian diekspor kembali.
Dengan adanya kebijakan EUDR tersebut, akan ada ancaman penurunan pasokan bahan baku untuk diolah menjadi produk-produk yang lebih hilir mengingat negara-negara berkembang tersebut butuh waktu untuk memenuhi persyaratan EUDR tersebut. Misalnya, negara-negara Uni Eropa mengimpor biji cokelat (HS 1801) seluruhnya dari negara-negara Afrika dan Amerika Latin (termasuk Indonesia) untuk kemudian diolah menjadi produk intermediet, antara lain, cocoa paste (HS 1803), butter (HS 1804 dan cocoa powder) (HS 1805) atau produk yang lebih hilir, yaitu cokelat dalam makanan (HS 1806).
Dengan adanya kebijakan EUDR, maka akan ada gangguan pasokan bahan baku berupa biji cokelat atau kalaupun dapat dipenuhi persyaratan EUDR akan ada tambahan biaya. Peningkatan biaya bahan baku ini akan meningkatkan harga produk intermediet-nya sehingga akan menurunkan daya saing produk-produk tersebut yang pada akhirnya akan merugikan industri dalam negeri Uni Eropa sendiri.
Bagaimana dampaknya bagi Indonesia? Jelas kebijakan ini akan berdampak negatif bagi Indonesia dengan penurunan ekspor ke pasar Uni Eropa. Walaupun bukan sebagai pasar utama, tapi dari ketujuh komoditas lima komoditas merupakan produk ekspor Indonesia ke pasar Uni Eropa.
Lima komoditas tersebut adalah minyak sawit, kakao, karet, kopi, dan kayu. Pada tahun 2022, komoditas ekspor minyak sawit utama Indonesia yaitu refined palm oil (HS 151190) hanya 9 persen yang diekspor ke pasar Uni Eropa.
Komoditas minyak sawit yang memiliki pangsa ekspor terbesar ke Uni Eropa adalah crude palm kernel oil (CPKO) dengan pangsa ekspor sebesar 34 persen pada tahun 2022. Komoditas lain yang cukup besar adalah kopi (HS 0901) yang mencapai pangsa ekspor sebesar 23 persen.
Namun demikian, selain dampak negatif juga terdapat dampak positif dengan adanya kebijakan ini. Kebijakan EUDR ini dapat dijadikan momentum bagi perbaikan sistem produksi ketujuh komoditas di dalam negeri, terutama terkait dengan traceability dalam pembuktian bahwa komoditas tersebut tidak ditanam di lahan yang bebas deforestasi.
Dari sisi perdagangan, kebijakan ini justru dapat berdampak positif apabila Indonesia dapat memenuhi persyaratan kebijakan tersebut, tapi negara lain tidak dapat memenuhi. Pada kondisi tersebut, Indonesia memiliki keunggulan untuk memasuki pasar Uni Eropa.
Kebijakan EUDR ini berdampak negatif bagi Indonesia karena merupakan salah satu hambatan non-tarif (non-tariff barriers), walaupun pasar Uni Eropa bukan merupakan pasar utama Indonesia untuk komoditas tersebut. Indonesia perlu menegosiasikan kebijakan tersebut sehingga dapat meminimalkan dampak negatifnya.
Di satu sisi, kebijakan ini menjadi peluang untuk membenahi sistem produksi komoditas yang terdampak di dalam negeri serta menjadi peluang masuk pasar Uni Eropa apabila Indonesia dapat memenuhi persyaratan kebijakan EUDR.