OLEH M Syaefudin Andrianto (Dosen Departemen Manajemen FEM IPB)
Memiliki hewan kesayangan (pet) bagi sebagian orang seperti menambah anggota keluarga, sehingga pengeluarannya seperti membesarkan anak. Pengeluaran terbesar memelihara pet adalah untuk makanan, sekitar 60-65 persen pengeluaran pemeliharaan karena kebutuhan makan adalah kebutuhan harian.
Berdasarkan data ITC, nilai pasar global pakan anjing dan kucing pada tahun 2022 mencapai 22 miliar dolar AS. Indonesia mengimpor pet food senilai 182 juta dolar AS dan mengekspor pet food sejumlah 4 juta dolar AS, sehingga masih terjadi defisit sebesar 178 juta dolar AS. Impor terbesar dari Thailand, Cina, Prancis, dan Australia. Sedangkan ekspor dilakukan ke India, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
Di ASEAN, Indonesia adalah importir pet food terbesar setelah Malaysia dan Filipina, sedangkan Thailand dan Vietnam neraca perdagangannya positif (surplus). Menurut Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian RI (11/11/2021), pada tahun 2021 pemenuhan kebutuhan pakan sebesar 60 persen adalah impor.
Terlihat kesenjangan yang cukup lebar antara produksi dan kebutuhan pasar pakan hewan. Hal ini juga ditambah dengan kebutuhan pakan yang semakin meningkat seiring bertambah populasi kucing dan anjing. Berdasarkan data Euromonitor 2022, jumlah kucing di Indonesia diperkiran mencapai 4,8 juta ekor dan anjing mencapai 737 ribu ekor.
Dari kondisi neraca perdagangan eksisting yang defisit dan kebutuhan pakan hewan yang bertambah tiap tahun, menunjukan peluang untuk memperkuat agroindustri pet food nasional, baik dengan mendorong penggunaan produk lokal yang ada atau membuat produk baru.
Pengembangan produk pet food lokal menghadapi tantangan dari sisi konsumen, sisi produsen dan kompetisi pasar. Dari sisi konsumen, pengembangan produk baru untuk segmen tertentu menghadapi sejumlah risiko, yaitu risiko fungsional, risiko physical , risiko sensory, dan risiko sosial. Risiko fungsional terkait dengan fungsi kandungan gizi misalkan apakah produk berdampak pada kesehatan, kelincahan dan beberapa produk ditujukan untuk peningkatan kecerdasan hewan.
Risiko physical terkait dengan dampak fisik dari makanan misalkan apakah produk baru dapat menyebabkan bulu rontok, obesitas dan malas bergerak. Risiko sensory bisa saja terkait dengan menyebakan tidak mau makan, menimbulkan tubuh atau kotoran hewan lebih berbau. Risiko sosial terkait dengan risiko pemilik atau pemelihara dalam suatu komunitas, misalkan produk lokal akan dibandingkan dengan produk yang lain dan dianggap berdampak sosial dalam pergaulan di komunitas.
Dari sisi produsen tidak hanya pada aspek produksi dimana harus lebih efisien dengan mempertimbangkan skala produksi (economic of scale) tetapi juga mempertimbangkan aspek pemasaran. Aspek pasar bisa berupa edukasi produk baru, branding, pemilihan saluran distribusi/ mitra, promosi dan meyakinkan konsumen untuk memilih produk baru tersebut.
Tantangan berikutnya adalah kompetisi pasar. Kompetisi pet food, khususnya kucing dan anjing sudah pada kondisi pasar mature. Persaingan untuk segmen menengah ke atas sangat ketat dan didominasi oleh perusahaan global. Berdasarkan data dari Euromonitor (2022), tiga pemain teratas di sektor makanan kucing di Indonesia adalah Mars Inc, Colgate-Palmolive Co, dan Nestlé SA, mewakili 75,5 persen pangsa pasar pada tahun 2021.
Namun, Colgate-Palmolive Co memiliki CAGR (Compounded Annual Growth Rate) negatif sebesar −2,8% dari tahun 2017 hingga 2021. CAGR adalah tingkat pertumbuhan per tahun selama periode tertentu dalam hal ini adalah pertumbuhan penjualan perusahaan tertentu.
Di antara 10 pemain teratas, Charoen Pokphand Group memperoleh CAGR tertinggi sebesar 33,7% selama tahun 2017-2021. Merek pakan dengan pangsa yang besar antara lain adalah Royal Canin, Whiskas, Hills Sciences Diet, Pro Plan, Bolt, Friskies, Sheba, Me-O, Vita kraft dan Kitchen Flavor.
Peluang dan tren pasar
Permintaan, pertumbuhan, dan tantangan pasar perlu dianalisis lebih lanjut dengan peluang segmen pasar yang potensial dibidik. Kesadaran pemilik atau pemelihara hewan kesayangan semakin lama semakin tinggi sehingga segmen pasar yang peduli terhadap kesejahteraan hewan (animal welfare) semakin besar.
Beberapa tren pengembangan produk pet food, antara lain, Insect Based Pet Food, pakan hewan tanpa biji (grain-free pet food), pakan berbasis tumbuhan (plant-based), organic pet food dan halal pet food. Future Market Insight memperkirakan nilai pasar pakan berbasis serangga pada tahun 2023 mencapai 1,3 miliar dolar AS. Pasar ini tumbuh dari 2018 ke 2023 sebesar 6,9 persen CAGR. Bahkan diprediksi tumbuh dari 2023 ke 2033 sebesar 10 persen CAGR.
Hal tersebut didorong oleh kebutuhan pakan yang mengandung protein yang cukup dan Penerimaan konsumen akan pakan berbasis serangga yang semakin luas.
Perusahaan Nestle sudah mengembangkan pakan berbasis serangga sebagai pakan alternatif dengan merek Beyond Nature’s Protein di Swiss tahun 2020 dan perusahaan Mars meluncurkan merek Lovebug di Inggris pada tahun 2021.
Penerimaan pakan berbasis serangga diperkuat oleh Association of American Feed Control Officials (AAFCO) pada bulan Januari 2021 dengan memberikan otorisasi penggunaan black soldier fly larvae (BSFL) untuk pakan anjing.
Pakan hewan tanpa biji (grain-free pet food) digunakan untuk alasan kesehatan hewan. Sedangkan plant based dan organic food for pet muncul untuk segmen pemilik hewan vegetarian dan peduli terhadap isu lingkungan. Halal pet food muncul untuk memenuhi kebutuhan pakan peliharaan muslim dalam hal ini kucing.
Perusahaan halal pet food ini, antara lain, adalah Alif pet food yang berdiri tahun 2021 di Inggris dan PowerCat dari Malaysia. PowerCat sudah menerima sertifikat halal dari MUI pada tahun 2019. Di Indonesia sendiri sudah ada 14 merek makanan kucing halal bebas babi (Republika, 25/1/2022).
Pengembangan agroindustri tidak bisa dibiarkan begitu saja, tetapi memerlukan dukungan dari pemerintah, konsumen, asosiasi dan kelompok riset pengembangan pakan hewan. Pemerintah bisa mendorong kebijakan hilirisasi melalui penguatan ekosistem yang diperlukan untuk perusahaan startup.
Kemudian, konsumen didorong untuk mau mencoba produk dalam negeri yang memang telah teruji. Asosiasi memfasilitasi edukasi produk baru atau produk lokal dan kelompok peneliti menguji produk-produk baru berdasarkan potensi sumber bahan baku lokal dan penerimaan pada pet untuk mengurangi berbagai risiko pakan yang telah disebutkan di awal.
Perusahaan asing yang saat ini mendominasi pasar diharapkan dapat mengembangkan produk baru berbasis bahan baku lokal dan mendirikan industrinya di Indonesia sehingga nilai tambah seperti FDI (foreign direct investment), penyerapan tenaga kerja lokal dapat dimaksimalkan. Penulis berharap dengan mendorong kondusivitas ekosistem pet food berbasis bahan lokal, mengefisienkan rantai pasokan dan pada saatnya dapat mengurangi impor, menghemat devisa serta memperkuat agroindustri pet food lokal.