OLEH Riham Auliatunnisa (Alumnus Departemen Ilmu Ekonomi Syariah FEM IPB), Ranti Wiliasih (Dosen Departemen Ilmu Ekonomi Syariah FEM IPB)
Kemajuan teknologi tidak hanya berdampak besar pada kemudahan berkomunikasi, tapi juga aktivitas lain, seperti transaksi keuangan maupun transaksi jual beli. Aktivitas jual beli semakin marak dengan berkembangnya sejumlah platform berbasis digital dan juga marketplace serta smartphone sebagai media untuk mengaksesnya.
Hasil survei yang dilakukan Inmobi dan Glance kepada 500 responden menyebutkan bahwa sebanyak 60 persen lebih tertarik belanja secara daring. Google juga mencatat 7 dari 10 pembelanja Indonesia menggunakan media digital untuk mempelajari produk yang ingin dibeli.
Meskipun aktivitas belanja yang meningkat ini berdampak terhadap pertumbuhan konsumsi agregat yang pada akhirnya meningkatkan GDP dan pertumbuhan ekonomi, tapi salah satu dampak negatif dari kemudahan belanja saat ini telah mendorong perilaku belanja secara impulsif (Darmawan dan Putra, 2022).
Pembelian impulsif (impulse buying) merupakan perilaku konsumen tanpa adanya perencanaan dalam membeli suatu produk. Keinginan untuk membeli tanpa adanya perencanaan dapat diartikan sebagai pembelian secara tiba-tiba, tanpa pertimbangan saat pengambilan keputusan (Kazempour dan Lotfizadeh, 2017). Pembelian impulsif ini dapat terjadi ketika konsumen merasakan adanya dorongan yang kuat untuk segera membeli sesuatu. Dorongan yang dirasakan oleh konsumen berkaitan dengan motivasi untuk membeli barang secara hedonic yang menyebabkan munculnya konflik emosional (Yahmini, 2019).
Pembelian impulsif secara spesifik mengacu pada kebiasaan pengguna dalam melakukan transaksi secara kinetik, cepat, dan spontan bahkan pembeli yang impulsif cenderung mengalami rangsangan pembelian spontan atau tidak terduga yang didorong oleh ketertarikan emosional dan rasa ingin segera mendapatkan kepuasan (Hoch dan Loewenstein, 1991). Pembelian impulsif juga tindakan pembelian untuk melakukan transaksi yang diinginkan namun tidak dibutuhkan, seperti produk kosmetik, fashion, parfum, dan lain sebagainya yang terjadi secara spontan (Chasanah, 2021).
Selain kemudahan, faktor lain yang menjadi pemicu meningkatnya belanja impulsif adalah faktor iklan, promosi, dan diskon. Bahkan, berdasarkan data Google, momen Ramadhan dan Puasa beberapa waktu yang lalu meningkatkan pembelanjaan lebih tinggi dibandingkan promosi yang dilakukan oleh platform belanja online di tanggal-tanggal cantik.
Peningkatan aktivitas belanja ini meskipun berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, tapi memiliki efek negatif seperti meningkatnya utang. Hal ini dilihat dari rasio utang rumah tangga terhadap PDB yang terus meningkat.
Artikel pada Tirto.id menyebutkan bahwa meningkatnya jumlah uang beredar selama Ramadhan dan Lebaran salah satunya disebabkan pinjaman produktif dan konsumtif. Selain berdampak terhadap peningkatan utang, perilaku belanja impulsif juga memicu budaya hedonisme yang melahirkan sikap tidak bijak dalam penggunaan sumberdaya.
Bahkan dari sisi religius, perilaku belanja impulsif ini cenderung mengakibatkan masyarakat menjadi boros dan berlebihan, perilaku yang dilarang dalam ajaran Islam, agama terbesar di Indonesia sebagaimana pada QS al-Isra’ ayat 26-27 yang artinya, “Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan, dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.”
Dengan mengacu kepada sejumlah penelitian yang telah dilakukan oleh Putra (2022) Subagyo dan Dwiridotjahjono (2021), Putri dan Sudaryanto (2022), Sari et al. (2021) dan Barakat (2019) serta Teori perilaku konsumen Kotler, penelitian ini melakukan identifikasi terhadap determinan dari perilaku belanja impulsif. Faktor yang diduga memengaruhi perilaku belanja impulsif dalam penelitian ini adalah religiusitas, diskon, iklan, dan kemudahan belanja, usia, pendapatan, jenis pekerjaan, pendidikan, dan status pernikahan. Model ini dianalisis dengan menggunakan analisis regresi berganda.
Data penelitian adalah data primer yang dikumpulkan melalui survei di sejumlah wilayah besar di Jabodetabek, yaitu DKI Jakarta, Kota/Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kota/Kabupaten Tangerang, dan Kota/Kabupaten Bekasi kepada pengguna platform marketplace (Tokopedia, Shopee, dan Lazada).
Dari total 200 responden diketahui bahwa 63 persen berjenis kelamin perempuan, mayoritas usia 18-25 tahun yang mencapai 84 persen, sisanya berada pada rentang usia 26-45 tahun, dengan tingkat mayoritas responden belum menikah dan memiliki tanggungan dengan tingkat pendidikan didominasi oleh lulusan sarjana dan disusul SMA. Mayoritas responden adalah pelajar/mahasiswa, disusul oleh pegawai swasta, ibu rumah tangga, ASN/BUMN, dan sisanya pekerja mandiri dengan tingkat pendapatan bervariasi dari mulai kurang dari 1 juta sampai dengan di atas 7 juta.
Beberapa temuan dari penelitian ini, antara lain, mayoritas responden menjadikan Shopee sebagai platform marketplace yang paling sering dikunjungi dibandingkan Tokopedia dan yang lainnya. Hal ini karena menurut responden marketplace tersebut, lebih cepat dan praktis (31 persen).
Temuan ini hampir sama dengan hasil temuan YouGov bahwa marketplace ini lebih banyak dipilih oleh masyarakat Indonesia. Transfer bank atau virtual account menjadi metode pembayaran yang paling sering digunakan oleh mayoritas responden yaitu sebanyak 41 persen. Metode pembayaran tersebut menyediakan banyak kemudahan dan kenyamanan.
Konsumen tidak perlu mendatangi bank atau mesin ATM untuk dapat melakukan pembayaran. Proses transaksi tersebut dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja melalui aplikasi transfer online. Fashion dan aksesorisnya merupakan produk yang paling sering dibeli oleh mayoritas responden dalam belanja melalui marketplace, yaitu sebanyak 47 persen responden.
Hasil ini menunjukkan bahwa mayoritas responden cenderung membeli produk bukan termasuk kebutuhan utama yang harus dipenuhi. Hasil ini sedikit berbeda dengan hasil temuan YouGov yang menemukan bahwa selama Ramadhan, barang yang paling banyak dibeli setelah donasi (57 persen) adalah food and drinks.
Hasil lain dari penelitian dengan menggunakan metode regresi linier berganda ini adalah bahwa terdapat pengaruh hubungan yang positif dan signifikan antara iklan terhadap belanja impulsif. Selain itu, dari aspek demografi pendapatan juga memengaruhi perilaku belanja impulsif dan ini juga positif dan signifikan.
Temuan ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Cho dan E (2015) yang menyebutkan bahwa iklan menjadi penarik orang untuk belanja impulsif dan pendapatan menjadi faktor pendukung untuk melakukan tersebut. Dari aspek demografi ditemukan bahwa pendidikan dan religiositas berpengaruh negatif.
Meskipun tidak signifikan, namun temuan ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Didem et al. (2018). Hasil penelitian ini secara umum juga sejalan dengan riset yang dilakukan oleh Populix yang menunjukkan bahwa kategori usia 18 sampai 25 tahun merupakan kalangan yang paling sering melakukan pembelian online, yakni sebesar 35 persen dari 6.285 partisipan dan Santrok (2019) yang menyebutkan bahwa remaja akhir adalah usia yang paling banyak yang menghabiskan uangnya untuk berbelanja baik secara daring maupun luring.
Hal ini juga sejalan dengan hasil dari riset Tirto.id yang menyebutkan bahwa belanja daring didominasi oleh gen Z, disusul gen milenial dan gen X.
Namun, simpulan dari penelitian ini adalah bahwa iklan dan pendapatan menjadi faktor yang memengaruhi belanja impulsif. Berdasarkan hasil ini diperlukan penanaman nilai-nilai agama sekaligus penerapannya serta edukasi tentang pengelolaan keuangan kepada remaja akhir, terutama gen Z, supaya lebih bijak dalam pengelolaan keuangan.