OLEH Nindyantoro (Dosen Ilmu Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor)


Pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 bahwa organisasi kemasyarakatan keagamaan dapat melakukan kegiatan usaha pertambangan. Syaratnya, ormas keagamaan itu harus mempunyai organ yang menjalankan kegiatan ekonomi yang bertujuan pemberdayaan ekonomi untuk kesejahteraan umat. Alasan pemberian konsesi itu untuk memberikan kesempatan yang sama dan berkeadilan dalam pengelolaan kekayaan alam, dan guna pemberdayaan badan usaha ormas keagamaan.

Sebelumnya, dalam PP 96/ 2021 penawaran secara prioritas tersebut hanya diberikan kepada BUMN dan BUMD. Pada PP 25/2024 itu penawaran wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) secara prioritas tersebut ditambah untuk ormas keagamaan. Area WIUPK yang diberikan itu merupakan wilayah eks perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) atau yaitu perjanjian antara pemerintah dengan perusahaan berbadan hukum Indonesia.

Selain itu, terdapat kriteria bahwa kepemilikan saham ormas keagamaan dalam badan usaha tidak bisa dipindah tangankan tanpa persetujuan menteri, kepemilikan saham ormas keagamaan dalam badan usaha harus mayoritas (pengendali), dan dilarang bekerja sama dengan pemegang PKP2B sebelumnya. 

Pemberian konsesi pada ormas keagamaan itu menyulut sejumlah kritik. Kebijakan itu dianggap bertentangan dengan UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Pada undang-undang itu dinyatakan prioritas pemberian IUPK diberikan kepada Badan Usaha Milik Nasional (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Selain itu, UU Minerba juga menyebutkan bahwa pemberian IUPK harus memperhatikan kepentingan daerah dan  tidak ada mandat kepada pemerintah untuk memberikan prioritas pemberian IUPK kepada ormas.

Pada umumnya kritik itu juga menghendaki agar daerah diberikan kewenangan pengambilan keputusan sesuai undang-undang itu.  Ada pula kritik yang bersifat meragukan kebijakan tersebut dapat merubah ketimpangan dalam proporsi konsesi yang sekarang dikuasai oleh sedikit saja perusahaan besar. Karena meskipun terdapat lebih dari 2000 IUP pertambangan yang dicabut, luasan konsesi yang dibagikan itu merupakan penciutan wilayah operasi yang dinamakan wilayah IUP khusus.

Ada pula yang mengaitkan pemberian konsesi itu dengan politik balas budi, terkait dengan janji presiden pada muktamar sebuah ormas keagamaan tahun 2021.  Pemberian izin pada badan yang tidak punya kapasitas dalam mengelola pertambangan akan merusak tata kelola pertambangan dan lingkungan hidup.  Dari segi pemberi izin, bukanlah yang terkait pertanahan atau pertambangan, atau Pemda, melainkan Satuan Tugas Penggunaan Ruang dan Penataan Investasi

Tinjauan agraria

Indonesia memiliki potensi kepemilikan umum yang luas seperti hutan tropis, keaneka-ragaman hayati, garis pantai yang panjang, dan perairan laut yang luas. Demikian pula dengan kekayaan minyak dan gas bumi serta sumber daya mineral tambang yang terkandung di dalam perut bumi seperti emas, tembaga, batu bara, perak, nikel. Sampai saat ini apa yang berada di bawah dan di atas tanah termasuk di angkasa dicita-citakan diatur oleh Undang-undang pokok agraria (UUPA). UUPA digagas sebagai undang-undang payung sebagai makna dari kata “pokok”.

Namun, Undang-Undang Dasar Tahun 1945, tidak mengenal adanya undang-undang pokok, dalam arti undang-undang yang merupakan payung dari undang-undang yang lain, karena semua undang-undang mempunyai hirarki yang setara dan semua dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Hal ini juga didukung kenyataan bahwa setelah UU No.41/1999 tentang kehutanan dan UU No.11/1967 tentang pertambangan  hadir, mendorong semakin banyak peraturan yang tingkatannya di bawah undang-undang yang makin bertolak belakang dengan UUPA. UUPA tidak lagi menjadi payung hukum, seperti pendapat dari Advokasi Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA). KPA menemukan beberapa peraturan yang bertentangan dengan UUPA. Contohnya banyak izin pengelolaan hutan dan lahan yang pada prinsipnya bertentangan dengan UUPA yang mewakili kepentingan pemodal besar.

Dalam kajian agraria, distribusi konsesi sumber daya alam dikenal dengan istilah land reform. Konsep ini menjadi phobi ilmuwan barat karena dianggap kekiri-kirian dan membuka peluang rent seeker. Berdasarkan dominan peranan pemerintah ada dikotomi istilah market led land reform dan government led land reform.

Menurut definisi konvensional, land reform redistributif adalah kebijakan publik yang mengalihkan hak kepemilikan atas kepemilikan tanah pribadi yang eksesif kepada petani kecil dan pekerja pertanian tanpa tanah (Griffin, 2002). Oleh karena itu reformasi tanah dapat dianggap sebagai perubahan pengelolaan atas sumber daya alam, biasanya melibatkan perubahan dari perusahaan yang berskala besar menjadi petani atau rakyat skala kecil.  Pendekatan landreform yang dipimpin negara, biasanya dengan cara negara mengambil kembali tanah obyek land reform untuk didistribusikan. Pendekatan ini disebut juga reformasi pertanahan dari atas atau secara top-down melalui modalitas birokrasi (Tarisayi 2013).

Reformasi agraria berbasis pasar dikenal di seluruh dunia sejak awal 1990-an sebagai alternatif dari pendekatan yang dipimpin negara. Kerangka kebijakan neoliberal ini menganjurkan transaksi sukarela antara pembeli dan penjual dan penghapusan berbagai distorsi pasar tanah. Kebijakan terkait bertujuan untuk memformalkan hak milik pribadi.

Bukti dari kasus negara berkembang menunjukkan bahwa kebijakan itu gagal mengubah ketimpangan kepemilikan tanah dan terpenuhinya lahan bagi orang miskin dan tidak memiliki tanah (Lahiff 2007).

Sementara itu, redistribusi lahan bagi petani pada skala yang kecil telah dilakukan pemerintah sejak orde baru berupa pembagian lahan dari kelebihan luas maksimum, HGU yang telah meliwati masa konsesi, maupun tanah negara.

Pada sektor kehutanan, kebijakan populis juga pernah dilakukan pada akhir masa orde baru yaitu konsesi hutan kemasyarakatan.  Namun secara kuantitas program tersebut belum menjadi leverage atau tuas untuk mencapai penguasaan sumber daya alam yang merata dan adil.

Tinjauan syariah

Islam menempatkan negara sebagai penanggung jawab terpenuhinya kesejahteraan untuk rakyat. Islam juga membolehkan negara mengemban kepemilikan khusus terhadap kekayaan tersebut.  Namun Islam juga menjamin kemaslahatan individu, kesejahteraan masyarakat serta tanggung jawab terhadap perekonomian negara.

Apabila pada suatu masyarakat ada kesenjangan seperti yang terjadi pada di dunia Islam saat ini, maka harus diwujudkan keseimbangan dalam bentuk tindakan kebijakan distribusi. Islam telah mewajibkan sirkulasi kekayaan merata di antara semua anggota masyarakat, serta mencegah terjadinya beredarnya kekayaan tersebut pada segelintir orang. Allah SWT berfirman, “Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu..” (Q.S. Al Hasyr: 7).

Negara harus mengatasi kesenjangan tersebut, dengan membantu kelompok masyarakat yang tidak sanggup memenuhi kebutuhannya, dengan pemberian harta dari baitul mal.  Baitul mal memperoleh harta dari ghanimah,serta hak milik umum. Sebab, ketika Nabi SAW melihat ada kesenjangan dalam pemilikan harta antara kaum Muhajirin dengan Anshar, maka beliau mengkhsusukan harta fai’ yang dirampas dari Bani Nadhir untuk kaum Muhajirin, agar terjadi keseimbangan ekonomi.

Diriwayatkan ketika Nabi SAW telah menaklukkan Bani Nadhir dengan cara damai, dan orang-orang Yahudi diusir dari daerah tersebut, maka kaum muslimin bertanya kepada Nabi SAW, apakah harta tersebut akan dibagi untuk mereka? Turunlah ayat: “Dan apa saja harta rampasan (fai’) yang diberikan oleh Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak menganugerahkan ….” (Q.S. Al Hasyr: 6) Maka, Allah secara khusus menjadikan harta Bani Nadhir tersebut untuk Nabi SAW, dimana beliau bisa mendistribuikan harta tersebut. Lalu harta tersebut dibagikan oleh Nabi di antara orang-orang Muhajirindengan maksud agar terjadi keseimbangan, sebagaimanafirman Allah: “Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu..” (Q.S. Al Hasyr: 7)

Distribusi dalam sistem Islam juga tercermin pada aturan barang temuan hasil penggalian. Jika barang itu menjadi kebutuhan masyarakat, maka harta galian tersebut tergolong hak milik umum. Apabila harta yang tersimpan di dalam tanah tersebut asalnya karena tindakan seseorang, serta jumlahnya terbatas, tidak sampai mencapai jumlah kebutuhkan masyarakat, maka harta tersebut termasuk rikaz, yang boleh dikelola individu.  

Dalil khusus bagi pengelolaan tambang yang terbatas seperti pemberian konsesi pada kasus Bilal bin Haris dalam riwayat Abu Daud.

Dalil kepemilikan umum sumber daya tak terbatas berasal dari hadits pemberian tambang garam oleh Nabi saw pada Abyadh bin Hambal karena menghidupkan tanah mati, namun menariknya kembali setelah mengetahui bahwa tambang tersebut laksana air mengalir tak pernah habis.

Apabila barang tersebut asli berasal dari dalam tanah, bukan karena tindakan manusia serta dibutuhkan masyarakat, maka sumber daya alam tersebut menjadi hak milik umum, dan menjadi sumber pemasukan negara.Menurut An-Nabhani (1990), negara mempunyai sumber-sumber pemasukan yang ditetapkan oleh syariat melalui Baitul Mal yaitu, segala milik umum hasil tambang, minyak, gas, listrik, hasil hutan.

Pemasukan hasil sumber daya alam ini dapat digunakan untuk eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam, pembangunan infrastruktur, penyediaan perlengkapan, dan segala hal yang berhubungan dengan kegiatan pengelolaan sumberdaya alam.

Kebijakan distribusi pengelolaan sumber daya alam oleh pemerintah dibutuhkan tetapi harus mampu mencapai leverage perubahan ketimpangan dalam masyarakat. Perubahan tidak terjadi jika kebijakan hanya bersifat kosmetik mengejar aspek politis jangka pendek semata.  

Distribusi itu harus disertai aspek kemampuan yang melibatkan uji kelayakan ekonomi selain aspek keberpihakan, serta menghindari perburuan rente (yang merupakan kritik utama terhadap government led land reform). Dalam syatriat Islam pengelolaan sektor pertambangan karena sifatnya yang berlimpah dan merupakan kebutuhan masyarakat, menjadi kewajiban negara mengelolanya, meskipun dengan cara ijaroh (manajemen kontrak oleh ahlinya). Jika aturan syariah Islam diterapkan untuk konsesi sumber daya alam, maka keadilan dalam akses pengelolaan sumber daya alam akan tercapai, melalui distribusi hak yang signifikan.

Related Posts