OLEH Manuntun Parulian Hutagaol (Guru Besar Departemen Ilmu Ekonomi FEM dan Peneliti Pusat Studi CARE IPB University)


Sering dipersoalkan apakah swasembada, ketahanan pangan atau kedaulatan pangan yang dibutuhkan Indonesia. Pangan yang dimaksud masih sama dengan apa yang dulu ketika pemerintah Orde Baru pada tahun 1969 meluncurkan program swasembada beras.

Sejak awal, pemerintahan Orde Baru telah menempatkan swasembada beras menjadi salah satu fokus perjuangannya. Begitu pentingnya pencapaian swasembada beras pemerintah terpaksa melibatkan lembaga internasional  seperti Bank Dunia dan FAO (Food and Agricultural Organization) dalam upaya Indonesia mengejar swasembada beras.

Sejarah membuktikan, dengan kerja keras selama 15 tahun, akhirnya pada tahun 1984 Indonesia meraih cita-citanya menjadi negara yang mampu memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya dari produksi beras sendiri.  Namun, sayangnya, capaian yang sangat “menghebohkan” bangsa Indonesia ini tidak bertahan lama. Soalnya kurang dari 10 tahun kemudian, Indonesia kembali harus impor beras. Pada saat itu pemerintah Orde Baru memperkenalkan terminologi “swasembada on trend” untuk mengakomodasi fakta produksi beras yang kadang  swasembada, kadang defisit sehingga harus impor.  

Selanjutnya, memang, impor dan tidak impor beras silih berganti dan telah menjadi suatu fenomena yang tidak berkesudahan di Indonesia. Hal ini membuka mata bangsa Indonesia bahwa sesungguhnya tidak cukup hanya mencapai swasembada beras pada suatu periode waktu. Lebih penting lagi, swasembada tersebut harus berkelanjutan. Substansi dari pandangan ini, kemudian dirumuskan dalam konsep ketahanan pangan berkelanjutan.

Perubahan konsep ternyata tidak membuat Indonesia bisa lepas secara permanen dari impor beras. Beras impor masih terus “momok” bagi bangsa Indonesia.  Muncul pemikiran bahwa ketahanan pangan nasional bukanlah konsep yang tepat bagi Indonesia selama pihak asing ikut campur tangan dalam kegiatan produksi beras nasional, misalnya penyediaan bibit padi dan obat-obatan. Soalnya dalam pikiran banyak pemerhati dan berbagai birokrat pangan, pihak asing tidak akan rela membiarkan bangsa Indonesia berdaulat pangan.

Bahkan dalam berbagai kesempatan seorang pemerhati pangan yang membina penangkar-penangkar benih padi skala kecil selalu mengingatkan akan bahaya keterlibatan pihak asing dalam produksi pangan nasional. Dalam kaitan ini, beliau selalu mengutip suatu pendapat yang katanya merupakan pemikiran dari seorang mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat yang mengatakan, “kalau mau kuasai suatu negara kuasailah benih pangannya”. 

Kelihatannya, peringatan ini cukup efektif mempengaruhi kebijakan pemerintah Indonesia yang sampai akhir-akhir ini kurang mendukung penanaman benih bioteknologi pangan yang dianggap produksi asing. Meskipun benih hasil rekayasa teknologi  ini telah terbukti keunggulannya dari benih konvensional pemrintah masih belum rela memfasilitasi penanamannya oleh petani-petani nasional. Sampai sekarang para petani masih sangat sulit mengakses benih unggul ini. 

Telah bertahun-tahun Indonesia mengejar kedaulatan pangan. Ternyata fenomena impor-tidak-impor beras masih terus berkelanjutan. Bahkan, akhir-akhir ini, setelah masa pandemi Covid-19 berlalu, terkesan fenomena tersebut telah membuat pemerintah agak bingung. Tidak paham bagaimana meresponsnya. Awalnya pemerintah berpikir masalah ini akan dapat diatasi dengan menerapkan Food Estate, tapi kemudian muncul ide meminta bantuan RRC membangun sejuta hektar sawah baru di Kalimantan. 

Belum jelas bagaimana keberlanjutan uluran tangan RRC, pemerintah sudah punya ide baru lagi mengakusisi perusahaan produsen beras di Kamboja. Artinya, Indonesia akan produksi beras di Kamboja. Katanya, hal ini tidak sama dengan impor beras. Lagi-lagi belum terwujud, pemerintah sudah memunculkan ide baru lagi. Indonesia akan membangun sejuta hektar lahan pertanian padi di Merauke, Papua. Lalu muncul pertanyaan apa tidak lebih murah dan lebih mudah impor beras dari negara tetangga, Thailand atau Vietnam? 

Pada hakekatnya ada dua jenis campur tangan pemerintah dalam produksi dan distribusi beras nasional yang sampai hari ini diperlakukan pemerintah sebagai pangan pokok bagi hampir semua penduduk Indonesia. Pertama, mengendalikan produksi beras pada level produksi baik secara langsung maupun tidak langsung. Kedua, mengendalikan masuknya beras impor.

Campur tangan jenis pertama diwujudkan melalui kebijakan subsidi harga pupuk dan kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) serta kebijakan pembangunan jaringan irigasi dan jadwal pembagian air irigasi. Campur tangan jenis kedua adalah kebijakan pembatasan /larangan impor beras.

Campur tangan yang seperti ini sangat tidak berkenan bagi Adam Smith (bapak Teori Ekonomi Modern). Menurutnya, masyarakat (sebagai individu-individu pelaku di pasar) lebih tahu apa yang terbaik bagi mereka. Mereka bertukar informasi melalui “invisible hands” untuk mengarahkan pasar agar menghasilkan yang terbaik bagi mereka. 

Pendapat Adam Smith ini sudah terbukti kebenarannya dengan hancurnya sistem perekonomian sosialis-komunis di berbagai negara komunis. Di negara-negara ini, pemerintah mengendalikan sendiri segala aktivitas ekonomi.  RRC sendiri, kemudian, membuktikan bahwa perekonomian pasar merupakan jalan terbaik untuk memakmurkan masyarakat.

Selain masalah campur tangan yang berlebihan tersebut di atas, masalah lainnya adalah adanya anggapan yang keliru seolah-olah bagi Indonesia produksi pangan hanya untuk dimakan sendiri oleh masyarakat. Ini jelas suatu pandangan yang naif.

Kemampuan produksi beras dan pangan karbohirat lainnya Indonesia sangat besar. Negara ini mampu memproduksinya tidak hanya untuk dimakan rakyat, tetapi juga untuk diekspor ke pasar dunia.  Produksinya juga dapat dijadikan sumber devisa dan sumber pendapatan bagi petani dan kaum pekerja nasional. Mari kita jadikan produksi dan ekspor pangan karbohidrat untuk kemakmuran bangsa Indonesia.  

Related Posts