OLEH Siti Riska Ulfah Hidayanti (Peneliti International Trade Analysis and Policy Studies FEM-IPB)


Hilirisasi menjadi kata yang akhir-akhir sering didengar dan dibaca. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hilirisasi adalah proses pengolahan bahan baku menjadi barang siap pakai. 

Dengan kata lain, hilirisasi menunjukkan adanya aktivitas peningkatan nilai tambah pada suatu barang atau komoditas yang diolah. Berbagai macam produk atau komoditas saat ini diarahkan menuju proses hilirisasi. Tak terkecuali produk perikanan yang beragam jenisnya. 

Produk perikanan memiliki kontribusi yang cukup tinggi terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia di antara produk pertanian, kehutanan, dan perikanan (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2022). Secara total, produk pertanian, kehutanan, dan perikanan memiliki kontribusi sebesar 13,28 persen pada tahun 2021.

Jika dilihat masing-masing, produk pertanian memang masih memiliki kontribusi terrtinggi yaitu sebesar 9,85 persen. Lalu selanjutnya perikanan dengan dengan kontribusi sebesar 2,77 persen terhadap total PDB Indonesia pada tahun 2021. Sedangkan jika dilihat dari besarannya, nilai PDB sektor perikanan Indonesia pada tahun 2021 mencapai Rp 267.967 miliar. Nilai tersebut menunjukkan peningkatan jika dibandingkan dengan nilai PDB perikanan pada tahun 2016 yaitu sebesar Rp 214.597 miliar. 

Produksi perikanan Indonesia pada tahun 2020 secara total adalah sebesar 21 juta ton dengan kontribusi tertinggi dari perinkanan budidaya sebesar 14 juta ton dan perikanan tangkap sebesar 7 juta ton. Berdasarkan data tersebut dapat terlihat bahwa perikanan budidaya memiliki peranan penting untuk sektor perikanan secara keseluruhan.

Jika dirinci setiap komoditas berdasarkan total produksi perikanan budi daya, komoditas yang memiliki nilai produksi tertinggi adalah rumput laut dengan kontribusi sebesar 65 persen atau setara dengan produksi sebesar 9,3 juta ton pada tahun 2022.

Provinsi-provinsi di Indonesia yang memiliki jumlah produksi rumput laut terbesar, antara lain, adalah Sulawesi Selatan (3,7 juta ton), Nusa Tenggara Timur (1,4 juta ton), Kalimantan Utara (788 ribu ton), Nusa Tenggara Barat (744 ribu ton), dan Jawa Timur (666 juta ton). Berdasarkan produksi di tingkat global, produksi rumput laut Indonesia memiliki kontribusi yang cukup signifikan untuk beberapa jenis rumput laut. Pertama yaitu jenis Kappaphycus alvarezii yang memiliki kontribusi sebesar 82,7 persen atau setara dengan 7 juta ton terhadap total produksi dunia jenis rumput laut Kappaphycus alvarezii.

Kedua adalah jenis rumput laut Glacillaria dengan kontribusi sebesar 32 persen atau setara dengan 57 ribu ton terhadap total produksi dunia jenis rumput laut Glacillaria. 

Melihat berbagai keunggulan rumput laut berdasarkan angka statistik yang telah dijabarkan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa rumput laut memiliki potensi untuk dilakukan pengembangan lebih jauh lagi. Dalam hal mendukung kegiatan hilirisasi, rumput laut dapat diolah menjadi berbagai macam intermediate product dan end product sehingga dapat meningkatkan nilai tambah dan nilai jual dari olahan rumput laut tersebut.

Intermediate product yang berbahan baku rumput laut dapat digunakan untuk kebutuhan pada berbagai macam industri, baik industri pangan maupun indsurti non pangan. Peruntukkannya pada industri pangan contohnya adalah produksi agar-agar yang dapat diolah menjadi beberapa macam produk olahan pangan rumput laut lainnya. Sedangkan peruntukkannya pada industri non pangan, biasanya digunakan sebagai input untuk produksi pada industri kosmetik, farmasi, pupuk, pakan ternak, dan konstruksi.

Potensi hilirisasi rumput laut, selain didukung dengan kegunaannya untuk berbagai industri pangan dan non pangan adalah perubahan gaya hidup masyarakat saat ini yang kian bergeser ke gaya hidup yang lebih sehat. Hal tersebut terjadi terutama setelah adanya pandemi Covid-19 yang semakin berdampak pada pemilihan gaya hidup sehat dengan mengkonsumsi produk yang lebih mengandung bahan alami.

Penggunaan rumput laut dapat menggantikan penggunaan bahan sintetis pada berbagai produk yang digunakan dan dikonsumsi. Sehingga hal tersebut juga bisa mendukung berlangsungnya substitusi impor bahan sintetis dengan bahan alami lokal yang bersumber dari rumput laut. 

Potensi lainnya adalah terkait dengan masih tersedianya lahan budi daya yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya rumput laut yaitu potensi budi daya laut dan budi daya air payau. Luas lahan budi daya laut yang telah dimanfaatkan untuk budi daya perikanan hanya sebesar 0,84 persen atau baru dimanfaatkan sebesar 102 ribu ha dari 12,1 juta hektare lahan yang berpotensi.

Lahan budi daya di laut ini dapat dimanfaatkan untuk budidaya rumput laut Euchemma Cottonii yang menggunakan media rakit apung. Sedangkan luas lahan budi daya air payau sudah dimanfaatkan sebesar 22,92 persen atau sekitar 679 ribu ha yang baru dimanfaatkan dari 2,9 juta ha luas lahan budidaya air payau yang berpotensi. Lahan budidaya air payau bisa dimanfaatkan untuk budidaya rumput laut Gracilaria.

Meilirik begitu terbukanya peluang dan potensi pada komoditas rumput laut maka diperlukan penunjang dari berbagai pihak untuk mendukung keberhasilan pengembangan hilirisasi rumput laut di Indonesia. Dalam hal ini, pemerintah terutama Kementerian Kelautan dan Perikanan perlu melakukan intervensi lebih pada komoditas rumput laut ini. 

Related Posts