OLEH Dr. Widyastutik (Dosen Departemen Ilmu Ekonomi FEM dan LRI Pembangunan Sosial, Ekonomi dan Kawasan, IPB University), Hotsawadi (Dosen Program Studi Ekonomi Pembangunan Universitas Mulawarman), Syarifah Amaliah (Dosen Departemen Ilmu Ekonomi dan ITAPS FEM IPB University)


Saat ini, Amerika sedang membuktikan dirinya sebagai negara adikuasa melalui kekuatannya memengaruhi harga. Sebagai negara besar, kekuatan finansial menjadi kunci soft power Paman Sam. PDB nya yang menduduki posisi No 1 dunia, mata uang dollar yang mendominasi keuangan global, dimana hampir 60 persen cadangan devisa bank sentral dunia disimpan dalam bentuk aset yang berdenominasi dolar AS, memiliki bursa saham terbesar di dunia menjadikan AS menduduki singgasana tertinggi.

Siapa yang dapat menggoyang singgasana tersebut? Apakah dominasi AS mulai surut dengan melancarkan Perang Dagang Jilid 2 dimana hampir seluruh negara dikenakan tarif resiprokal Trump?

Ketika sengketa Perang Dagang (PD) I antara US dan China sedang berlangsung, negara berkembang seperti halnya Indonesia masih mengharapkan adanya benefit berupa potensi relokasi perdagangan maupun investasi dari AS dan China. Rapid assessment Cali (2018) menunjukkan  adanya  potensi relokasi investasi dimana beberapa negara yang diindentifikasi memperoleh benefit adalah Taiwan, Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Filipina.

Dari sudut pandang political economy, Lu (2020) juga menemukan adanya potensi spillover effect dari perang dagang terhadap aliran FDI di dunia. Lebih menarik lagi, negara-negara berkembang melakukan berbagai upaya substansial untuk menangkap peluang dari perang dagang. Indonesia, misalnya, pada saat itu telah mengadakan pembicaraan dengan AS untuk mengamankan perjanjian dagang bilateral.

Indonesia juga telah menurunkan tarif pajak perusahaan dalam upaya menarik spillover investasi akibat perang dagang. Upaya-upaya untuk memaksimalkan keuntungan dari perang dagang oleh negara berkembang seperti ini tertangkap ketika PD jilid I berlangsung. Upaya ini relevan mengingat  kontribusi kedua ekonomi besar tersebut mencapai 40 persen dari PDB global dan 25 persen dari perdagangan global pada tahun 2019. 

Perang dagang yang merefleksikan proses retaliasi tarif dari level yang sangat rinci pada level tariff line, maka dapat diekspektasi bahwa guncangan ini berpotensi memengaruhi kinerja perekonomian dunia. Trump memandang tarifnya yang agresif sebagai alat ampuh untuk menghidupkan kembali manufaktur dalam negeri dan menumbuhkan ekonomi AS dimana Trump menjanjikan pabrik dan lapangan kerja baru di AS.

Trump lupa lesson learned PD I, dimana pengenaan tarif pada China relatif tidak efektif menekan defisitnya. Studi penulis pada tahun 2021 dengan model recursive dynamic GTAP (Global Trade Analysis Project) dengan judul “Does the US-China trade war increase poverty in a developing country? A dynamic General Equilibrium Analysis for Indonesia” yang dimuat pada jurnal Economic Analysis and Policy menunjukkan bahwa dampak dari perang dagang terhadap kinerja perekonomian AS dan China dari sisi GDP turun sebesar 0,23 persen di tahun 2025 dan menjadi lebih tinggi penurunannya, yaitu 0,29 persen pada tahun 2030.

Sementara China mengalami penurunan lebih besar yaitu 0,55 persen pada tahun 2025 dan 0,71 persen pada tahun 2030. Kinerja ekspor maupun impor kedua negara juga diprediksi mengalami penurunan. Di sisi lain, sebagaimana diprediksi oleh Cali (2018) dan Lu (2020) Indonesia, Vietnam dan Thailand diprediksi memperoleh benefit berupa relokasi perdagangan dan investasi dari AS dan China. Dibandingkan dengan Indonesia dan Thailand, Vietnam memperoleh benefit yang lebih tinggi.

photo

Hal ini memvalidasi temuan pada kondisi saat ini bahwa di antara negara ASEAN lainnya, Vietnam memiliki surplus neraca perdagangan terbesar terhadap AS yakni mencapai 129,4 miliar dolar AS, dan hanya Singapura yang mengalami defisit neraca perdagangan terhadap AS. Secara keseluruhan, ASEAN mengalami surplus neraca perdagangan dengan AS terbesar kedua setelah China yakni mencapai 239,9 miliar dolar AS.

Negara-negara ASEAN adalah negara-negara yang dikenakan tarif paling besar oleh AS, dimana ini menjadi indikasi kuatnya hubungan ekonomi dengan China dan besarnya defisit AS dari ASEAN menjadi alasan utama pengenaan tarif resiprokal yang tinggi pada negara-negara ASEAN(Hartarto 2025). Laporan USTR menyebutkan bahwa Indonesia dikenakan sanksi perdagangan oleh AS bukan hanya karena tarif impor produk dari AS, tetapi juga atas berbagai kebijakan non-tarif Indonesia. Merujuk LPEM FEB UI (2025), Pemerintah Indonesia dapat mengevaluasi kebijakan hambatan perdagangannya untuk memoderasi persepsi AS terhadap Indonesia .

Negara Mana yang Dikenakan Tarif Tertinggi?
Berbeda dengan perang dagang jilid I, PD II saat ini AS mengenakan tarif tidak hanya pada China namun pada lebih dari 180 negara dan teritori. Dari sisi penerapan tarif reciprokal yang ditetapkan oleh AS, dapat diidentifikasi bahwa China dikenakan tarif cukup tinggi melalui skema Kebijakan U.S.A Discounted Reciprocal Tariffs sebesar 34 persen. Sementara Uni Eropa dan Kanada dikenakan tarif lebih rendah, yaitu masing-masing 20 persen dan 25 persen. Sementara itu, negara yang dikenakan tarif paling tinggi memperoleh pengenaan tarif US adalah Kamboja (49 persen), disusul oleh Vietnam (46 persen), Sri Lanka (44 persen), Bangladesh (37 persen) dan Thailand (36 persen). 

Per tanggal 10 April 2025, Trump mengumumkan akan menaikkan tarif atas barang-barang dari China menjadi 125 persen, sebagai respons atas tindakan balasan Beijing terhadap kebijakan tarif sebelumnya. Angka 125 persen tersebut merupakan tambahan dari 20 persen tarif awal yang telah diberlakukan sebelumnya sebagai hukuman terhadap peran China dalam menyuplai fentanil ke Amerika Serikat (cnbcindonesia).

Saat ini China adalah negara asal impor terbesar kedua bagi AS dan memegang peran dominan sebagai produsen global untuk berbagai barang konsumsi, diantaranya produk mainan, komputer, dan berbagai produk rumah tangga lainnya. Dengan pengumuman Trump terbaru mengenai tarif setinggi ini, biaya impor produk-produk tersebut akan melonjak drastis sehingga berdampak besar bagi distributor, pengecer, dan konsumen di AS.

Kebijakan U.S.A Discounted Reciprocal Tariffs berpotensi membawa dampak yang cukup signifikan terhadap kinerja ekspor masing-masing negara ke Amerika Serikat, terutama bagi negara-negara yang dikenakan tarif tinggi mengingat masing-masing negara tersebut juga sebagai eksportir terbesar ke wilayah tersebut. 

Berdasarkan WITS, China, European Union, Kanada dan Meksiko merupakan eksportir terbesar di Amerika Serikat dengan masing-masing rata-rata pangsa pasar impor AS dari negara tersebut secara berturut-turut sebesar 20,3 persen, 19,4 persen, 13,98 persen, dan 10,55 persen dari tahun 2019 hingga 2023.

Untuk kawasan Asia Tenggara, Vietnam berada di posisi ke-7 sebagai eksportir terbesar dengan rata-rata pangsa pasar sebesar 2,8 persen. Disusul oleh Singapura, Thailand dan Malaysia di peringkat ke-11, 12 dan 15 dengan rerata pangsa pasar masing-masing secara berturut-turut sebesar 1,6 persen dan 1,3 persen selama periode tahun 2019 hingga 2023. Indonesia berada di peringkat ke-16 dengan rerata pangsa pasar sebesar 0,9 persen.  

photo

Hal ini mengindikasikan tarif resiprokal yang dikenakan AS ke Indonesia relatif lebih rendah dibandingkan peer countries ASEAN Vietnam dan Thailand namun lebih tinggi dibandingkan Malaysia, Philipina dan Singapura. Malaysia dan Singapura terkena tarif yang lebih rendah dan memiliki market share impor AS, relatif lebih tinggi. Thailand memiliki market share impor AS sama dengan Singapura, namun menerima tarif resiprokal lebih tinggi.

Sejalan dengan tujuan pengenaan tarif, Trump mengharapkan daya saing industri AS akan relatif meningkat dibandingkan mitra dagangnya. Lagi-lagi Trump lupa bahwa kebijakan tarif hanya akan menyebabkan apresiasi kurs dollar sehingga alih-alih bukan daya saing produk industry AS yang membaik namun makin menjadi relative mahal karena apresiasi sehingga neraca perdagangan tidak berubah.

Menteri Perdagangan Amerika mengeklaim bahwa banyak negara yang mengambil tindakan untuk negosiasi dengan Amerika, namun ada indikasi bahwa kebijakan perdagangan bilateral antar AS dengan mitra dagangnya bukan perjanjian perdagangan yang komprehensif dimana hanya menguntungkan eksportir yang terbatas sehingga tidak akan berdampak efektif membantu mengurangi defisit neraca perdagangan AS.

Bagaimana Daya Saing Produk Ekspor Indonesia?
Apabila dibedah bagaimana komposisi destinasi pasar ekspor Indonesia, Amerika Serikat menjadi salah satu pangsa pasar ekspor tertinggi Indonesia dengan dengan rerata market share ekspor sebesar 10,23 persen dari tahun 2019 hingga 2023. Studi yang dilakukan oleh Hotsawadi dan Widyastutik (2020) terkait diversifikasi ekspor Indonesia ke Negara Non Tradisional juga menyatakan bahwa AS termasuk ke dalam klasifikasi pasar tradisional bagi Indonesia dimana negara tersebut konsisten menjadi 15 besar target pasar dalam kurun waktu 30 hingga 40 secara berturut-turut. Situasi ini mengindikasikan bahwa begitu pentingnya Amerika Serikat bagi struktur perdagangan Indonesia. 

Apabila dikaji lebih mendalam produk Indonesia yang memiliki pangsa pasar tertinggi di Amerika Serikat adalah tekstil meliputi (HS 61) Apparel and clothing accessories (10,47 persen); (HS 62) Apparel and clothing accessories (9,47 persen); (HS 64) alas kaki atau footwear (8,31 persen). Kemudian produk Electrical machinery and equipment sebesar 10,19 persen; Karet atau Rubber and articles thereof sebesar 7,80 persen dan CPO atau Animal or vegetable fats and oils sebesar 7,38 persen.

Secara total, 10 produk dengan pangsa pasar ekspor terntingg Indonesia ke AS memiliki rerata ekspor 72,79 persen. Kebijakan Discounted Reciprocal Tariffs yang dikenakan oleh AS terhadap Indonesia akan menurunkan daya saing produk-produk tersebut.  Tapi pertanyaanya apakah produk-produk unggulan ekspor Indonesia ke AS tersebut memang menjadi kehilangan daya saing karena tarif AS?

Fakta menarik menunjukkan bahwa walaupun daya saing yang ditunjukkan oleh indeks RCA beberapa komoditas tersebut masih tinggi namun performa dinamis produk yang ditunjukkan oleh Export Product Dynamics (EPD) berdasarkan data WITS (2025), terlihat bahwa posisi pasar produk ekspor utama Indonesia ke Amerika Serikat mengalami pergeseran yang signifikan dalam kurun waktu 2020 hingga 2023.

Kategori “Rising Star” yang menunjukkan produk dengan pangsa pasar dan pertumbuhan ekspor yang meningkat secara bertahap menurun untuk sebagian besar produk. Misalnya, produk “Apparel and clothing accessories” (HS 61) yang pada 2020 berada pada posisi Rising Star telah menurun menjadi Falling Star sejak 2022 dan bertahan di posisi itu hingga 2023.

Kondisi serupa juga terjadi pada produk elektronik (HS 85) serta produk perikanan dan olahan laut (HS 3 dan HS 16) yang semula Rising Star pada 2020, namun berturut-turut mengalami penurunan posisi menjadi Retreat atau bahkan Falling Star dalam tiga tahun berikutnya. Lebih lanjut, beberapa produk yang sebelumnya tidak memiliki posisi kuat seperti pakaian (HS 62) dan karet (HS 40) sempat berada di posisi Lost Opportunity atau Retreat, dan kemudian secara konsisten berada di posisi Falling Star pada tahun-tahun berikutnya. Hal ini mengindikasikan bahwa pangsa pasar Indonesia di AS untuk sebagian besar produk unggulannya tidak hanya stagnan, tetapi juga menurun dari segi daya saing dan performa ekspor.

Perubahan posisi pasar ini mencerminkan bahwa daya saing produk Indonesia di pasar Amerika Serikat telah melemah bahkan sebelum diberlakukannya PD II melalui tarif reciprocal oleh Pemerintah AS pada awal April 2025, yang berpotensi memperketat akses pasar bagi produk dari negara berkembang.

Meskipun Indonesia optimis karena tarif AS untuk produk Indonesia seperti Produk Apparels and Footwear (HS: 61, 62, 64), lebih rendah dibandingkan RRT, Bangladesh, Vietnam dan Kamboja namun daya saing dinamis komoditas yang memiliki HS Code 61 tersebut berada pada posisi falling star. Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia menghadapi tantangan terkait dengan melemahnya posisi pasar karena berbagai faktor, seperti kurangnya inovasi produk, ketergantungan pada bahan mentah, rendahnya investasi teknologi dalam proses produksi, upah yang relative tidak kompetitif hingga pergeseran preferensi konsumen di AS.

Oleh karena itu, tantangan yang dihadapi Indonesia ke depan adalah merumuskan strategi tidak hanya jangka pendek (menyikapi kebijakan proteksionisme Amerika) tetapi juga kebijakan jangka panjang untuk peningkatan daya saing. 

Bagaimana Sebaiknya Indonesia Bersikap?
Tarif resiprokal yang diberlakukan oleh Amerika Serikat juga dapat memicu balasan dari negara mitra yang dapat mengakibatkan terjadinya perang dagang. Situasi ini tidak hanya mempengaruhi eksportir dan importir, tetapi juga dapat menyebabkan ketidakpastian ekonomi yang lebih luas, mempengaruhi investasi dan pertumbuhan ekonomi. Variabel makro lainnya yang paling krusial terpengaruh adalah lapangan kerja.

Salah satu negara yang merespons tindakan AS adalah Eropa. Komisi Eropa mengajukan tarif balasan sebesar 25 persen terhadap berbagai produk asal AS. Langkah ini merupakan respons langsung atas kebijakan tarif Trump terhadap baja dan aluminium dari Eropa, yang dinilai oleh Uni Eropa sebagai tindakan proteksionis sepihak yang merugikan hubungan dagang jangka panjang.

Singapura juga akan membentuk gugus tugas nasional untuk mendukung bisnis dan pekerja yang merupakan tanggapan atas tarif baru AS yang memengaruhi perlambatan pertumbuhan ekonomi dan memengaruhi lapangan kerja dan upah (CNBC Indonesia)

Gugus tugas ini diharapkan akan membantu bisnis dan pekerja dalam mengatasi ketidakpastian mengingat tarif Trump diprediksi akan berdampak pada permintaan sektor-sektor yang bergantung pada ekspor Singapura seperti manufaktur dan perdagangan grosir.

Kebijakan perdagangan yang proteksionis sering kali menyebabkan peningkatan biaya barang dan jasa yang berpotensi mengurangi daya beli konsumen dan menurunkan permintaan agregat. Selain itu, ketidakpastian yang ditimbulkan oleh perubahan kebijakan perdagangan dapat menghambat keputusan investasi, mengingat pelaku pasar cenderung menghindari risiko dalam situasi yang tidak menentu.

Retaliasi dari negara-negara yang terkena dampak juga dapat memperburuk hubungan dagang, memperlebar dampak negatif ke sektor-sektor lain seperti industri dan lapangan kerja. Akibatnya, ketidakstabilan ekonomi ini berpotensi menghasilkan fluktuasi nilai tukar mata uang, inflasi yang meningkat, dan dalam skenario ekstrem, resesi yang dapat memperpanjang periode pemulihan ekonomi. Dengan demikian, dinamika perang dagang menunjukkan bahwa strategi perdagangan yang tidak kooperatif dapat memiliki konsekuensi yang lebih luas dan berjangka panjang bagi kestabilan ekonomi global. 

Dari perspektif kebijakan fiskal dan moneter, peningkatan bea masuk dapat menyebabkan lonjakan biaya impor, yang pada gilirannya meningkatkan harga barang di pasar domestik. Kenaikan harga ini dapat memicu inflasi, yang memaksa bank sentral untuk menyesuaikan kebijakan moneter, seperti menaikkan suku bunga untuk mengendalikan inflasi, sehingga mempengaruhi biaya pinjaman dan investasi.

Selain itu, pemerintah mungkin merespons dengan kebijakan fiskal ekspansif, seperti peningkatan belanja publik, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang tertekan akibat perang dagang. Namun, kebijakan ini juga dapat meningkatkan defisit anggaran, yang berpotensi menambah tekanan pada nilai tukar mata uang.

Dengan demikian, interaksi antara kebijakan peningkatan bea masuk dan respons fiskal serta moneter menciptakan siklus umpan balik yang dapat memperburuk ketidakstabilan ekonomi, memperumit pengelolaan ekonomi makro, dan mengubah dinamika perdagangan global. 

Untuk itu, opsi diplomasi bilateral lebih feasible untuk dilakukan sebagai respons dari reciprocal tariff. Perlu dicermati secara detail setiap pos tarif yang dapat Indonesia offer kepada Amerika Serikat, tentu saja dengan tetap memperhatikan konsistensi positioning komitmen antar fora terutama untuk produk yang termasuk dalam “sensitive list”.

Sementara itu, Perang Dagang jilid II ini juga dapat dijadikan momentum mengoptimalkan kembali strategi diversifikasi pasar ekspor yang selama ini telah dilakukan oleh Indonesia untuk meminimalkan ketergantungan terhadap negara tradisional seperti AS. Pemanfaatan/utilisasi berbagai fora kerjasama perdagangan yang diikuti Indonesia juga menjadi langkah strategis mengurangi guncangan akibat pengenaan tarif Trump.

Related Posts