OLEH Davin H.E. Setiamarga (Tenured Associate Professor of Molecular Biology di School for Advance Studies of Ecosystem Engineering, National Institute of Technology (KOSEN), Wakayama College, Jepang); Lukytawati Anggraeni (Dosen Departemen Ilmu Ekonomi, dan Wakil Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB University)
Dalam beberapa dekade terakhir, dunia menghadapi Triple Planetary Crisis (Tiga Krisis di Tingkat Planet), yaitu krisis perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, serta meningkatnya pencemaran lingkungan. Ketiga krisis ini tidak hanya terbatas pada diskusi global atau konferensi iklim internasional, namun terus berkembang menjadi semakin kompleks dan memburuk, sehingga menimbulkan dampak serius terhadap berbagai aspek, termasuk ekonomi, sosial, dan kesehatan masyarakat, baik dalam jangka pendek maupun panjang.
Ketiga krisis tersebut juga semakin dirasakan di Indonesia. Perubahan iklim telah menyebabkan peningkatan suhu rata-rata tahunan dan memperparah kejadian cuaca ekstrem. Misalnya, dalam dua dekade terakhir, perubahan iklim telah menyebabkan naiknya suhu rata-rata tahunan, memperpanjang musim kemarau, dan meningkatkan frekuensi banjir bandang di wilayah padat penduduk seperti Jabodetabek dan Semarang, sedangkan kekeringan berkepanjangan mengganggu produktivitas pertanian di Nusa Tenggara Timur dan Jawa Tengah. Di sisi lain, kerusakan keanekaragaman hayati terjadi dengan laju yang mengkhawatirkan.
Laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 80 persen ekosistem pesisir dalam kondisi terdegradasi. Indonesia juga kehilangan sekitar 1,1 juta hektare tutupan hutan per tahun selama dekade terakhir, dan lebih dari 30 persen spesies endemik di Indonesia kini masuk dalam kategori terancam punah menurut IUCN.
Sementara itu, pencemaran air dan udara terus meningkat. Sungai-sungai besar seperti Brantas dan Musi mengalami beban limbah domestik dan industri yang melebihi ambang batas baku mutu air, menimbulkan risiko besar terhadap kesehatan masyarakat dan ekonomi lokal. Sungai Citarum, yang mengalir di wilayah industri dan permukiman padat, telah dinobatkan sebagai salah satu sungai paling tercemar di dunia, membahayakan kesehatan 27 juta orang yang bergantung padanya.
Kebakaran hutan dan lahan yang terus terjadi di Kalimantan dan Sumatra tidak hanya melepaskan emisi gas rumah kaca dalam jumlah besar, tetapi juga menyebabkan kerugian ekonomi miliaran rupiah serta gangguan kesehatan yang meluas.
Pencemaran laut dan pesisir oleh limbah plastik dan logam berat telah menurunkan hasil tangkapan nelayan dan mengancam ketahanan pangan. Sementara itu, penyusutan populasi spesies kunci seperti penyu, dugong, dan ikan karang mengganggu keseimbangan ekosistem laut yang menjadi sumber penghidupan jutaan masyarakat pesisir.
Ketiga krisis ini juga memiliki keterkaitan sistemik yang memperkuat satu sama lain. Perubahan iklim mempercepat degradasi ekosistem, yang pada gilirannya memperlemah kemampuan alam dalam menyerap karbon dan menyaring polusi.
Dalam konteks ini, hilangnya keanekaragaman hayati dan pencemaran bukan sekadar konsekuensi dari aktivitas ekonomi, tetapi juga faktor yang memperparah ketidakstabilan iklim. Tantangan global ini membutuhkan perhatian dan aksi kolektif dari seluruh lapisan masyarakat. Strategi mitigasi yang hanya berfokus pada emisi tanpa mempertimbangkan aspek konservasi dan pemulihan ekosistem akan bersifat parsial dan kurang efektif.
Sayangnya, pendekatan kebijakan nasional dan pelaksanaan program masih sering mengelola ketiga krisis ini secara terpisah sektoral dan terfragmentasi. Upaya mitigasi perubahan iklim cenderung difokuskan pada sektor energi dan industri, sedangkan konservasi keanekaragaman hayati serta pengendalian pencemaran tidak mendapatkan porsi yang sebanding dalam penganggaran dan perencanaan. Misalnya, program penanaman pohon untuk offset karbon sering dilakukan tanpa memperhatikan kesesuaian spesies dan karakteristik ekosistem setempat, sehingga justru mengancam keanekaragaman hayati lokal.
Proyek energi terbarukan yang berlokasi di wilayah sensitif ekologis juga menimbulkan tekanan baru terhadap habitat penting. Padahal, degradasi lingkungan yang tidak tertangani secara menyeluruh akan mengurangi efektivitas program pengurangan emisi itu sendiri. Kebijakan sektoral semacam ini juga menyebabkan tumpang tindih kewenangan antar lembaga pemerintah, lemahnya koordinasi, dan alokasi anggaran yang tidak efisien. Situasi ini membuat upaya penanggulangan triple planetary crisismenjadi tidak efektif secara kebijakan maupun anggaran.
Untuk itu, diperlukan pendekatan kebijakan yang bersifat lintas sektor dan berbasis integrasi ekosistem. Perencanaan pembangunan nasional perlu menggabungkan kebijakan mitigasi perubahan iklim, konservasi biodiversitas, dan pengendalian pencemaran dalam dokumen strategis seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK), dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).
Kerangka global dan praktik korporasi di Indonesia
Isu lingkungan dan keanekaragaman hayati kini menjadi bagian dari arus utama kebijakan global. Hal tersebut tertuang dalam tujuan bersama Sustainable Development Goals (SDGs) yang perlu dicapai untuk melindungi alam, lingkungan, dan kesejahteraan global. Melalui forum COP, negara-negara menyepakati komitmen internasional untuk menangani isu iklim, lingkungan, dan biodiversitas secara holistik dan terintegrasi.
Untuk menindaklanjuti komitmen tersebut, dunia usaha global telah mulai mengadopsi kerangka kerja baru yang mengintegrasikan keberlanjutan ke dalam inti strategi bisnis dan investasi. Science-Based Targets (SBT) digunakan secara luas untuk menetapkan target emisi berbasis sains yang konsisten dengan skenario batas 1,5°C.
Sementara itu, Task Force on Climate-related Financial Disclosures (TCFD) mendorong perusahaan melaporkan risiko dan peluang iklim secara struktural dalam laporan keuangan. Lebih baru lagi, Task Force on Nature-related Financial Disclosures(TNFD) memperluas kerangka ini dengan memasukkan risiko alam dan keanekaragaman hayati dalam konteks keuangan, sebagai faktor material dalam penilaian kinerja perusahaan. Semua perangkat ini bertujuan agar isu lingkungan dan biodiversitas masuk ke dalam inti dari sistem pengambilan keputusan bisnis.
Secara global praktik keberlanjutan telah menjadi bagian integral dari strategi bisnis yang berorientasi jangka panjang, namun pemahaman dan penerapannya masih terbatas di Indonesia. Menurut laporan Carbon Disclosure Project (CDP) tahun 2023, dari sekitar 18,700 perusahaan yang melaporkan melalui CDP secara global, hanya 22 perusahaan berasal dari Indonesia.
Sebagian besar perusahaan domestik belum memiliki sistem internal untuk menilai eksposur terhadap risiko lingkungan secara kuantitatif. Artinya perusahaan-perusahaan multinasional atau yang terhubung dengan rantai pasok global mulai mengadopsi standar ini, namun mayoritas pelaku usaha nasional belum terdorong karena tidak adanya kewajiban hukum dan masih rendahnya tekanan pasar.
Walaupun kewajiban laporan keberlanjutan (sustainability report) oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui POJK No. 51/POJK.03/2017 telah ditetapkan sebagai langkah penting untuk mendorong praktik keuangan berkelanjutan di Indonesia, dalam pelaksanaannya masih terdapat kelemahan baik dari sisi isi (compliance-oriented), implementasi dan pengawasan.
Peraturan tersebut memang mewajibkan lembaga jasa keuangan, emiten, dan perusahaan publik untuk melaporkan kinerja sosial dan lingkungan setiap tahun. Akan tetapi, tidak ada ketentuan spesifik mengenai indikator wajib, metode pengukuran, atau standar audit. Akibatnya, banyak perusahaan menyusun laporan secara naratif dan deskriptif, tanpa menyertakan indikator berbasis data atau hasil yang terverifikasi secara independen.
Berdasarkan studi Sustainalytics dan Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD), lebih dari 70 persen sustainability report di Indonesia tidak menyebutkan indikator biodiversitas atau tidak memiliki target kuantitatif keberlanjutan.
Kurangnya konsistensi dan kedalaman dalam pelaporan isu Enviromental, Social and Governance (ESG) ditunjukkan dari belum terintegrasinya biodiversitas dan konservasi lingkungan dalam mitigasirisiko, strategi investasi, atau rencana bisnis jangka panjang. Tanpa instrumen yang mendorong keterukuran dan akuntabilitas, komitmen terhadap keberlanjutan akan terus berputar di ranah deklaratif dan aspiratif dan belum sepenuhnya menjadi landasan operasional bisnis.
Praktik pelaporan yang hanya bersifat kosmetik membuka ruang lebar bagi terjadinya greenwashing. Perusahaan dapat mengklaim diri sebagai “ramah lingkungan” tanpa disertai data dampak atau proses verifikasi pihak ketiga. Hal ini tidak hanya menyesatkan investor dan konsumen, tetapi juga memperlemah upaya kolektif menuju transisi ekonomi rendah karbon yang inklusif. Minimnya standar nasional yang terikat secara hukum untuk pelaporan ESG membuat ruang ini sulit dikontrol.
Tantangan institusional dan fragmentasi kebijakan
Upaya mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan dan peduli terhadap keanekaragaman hayati menjadi isu yang sering muncul dalam wacana publik di Indonesia. Namun, integrasi pendekatan berbasis ilmu dasar untuk konservasi lingkungan dengankegiatan dan strategi bisnis masih perlu diperkenalkan.
Di tengah maraknya wacana keberlanjutan, keanekaragaman hayati masih belum menjadi landasan dalam pengambilan keputusan, baik di sektor bisnis, maupun di sektor yang mengklaim dirinya ramah lingkungan. Misalnya, banyak proyek konservasi dan restorasi dijalankan tanpa dukungan data biodiversitas dan ekologi yang memadai.
Sebagai contoh, kasus keberhasilan rehabilitasi hutan mangrove (yaitu 85 persen tingkat kelangsungan hidup) hanya dicapai pada skala lanskap kecil (10–400 ha) (Sasmito et.al, 2023). Kegagalan semacam ini bukan sekadar persoalan teknis, tetapi mencerminkan lemahnya koordinasi antara sains, kebijakan, dan bisnis.
Proyek-proyek restorasi atau pembangunan infrastruktur seringkali tidak mengacu pada peta sebaran keanekaragaman hayati, data daya dukung lingkungan, kearifan lokal, atau prediksi dampak perubahan iklim lokal.
Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah kesinergisan antara berbagai institusi, lembaga dan mandatnya. Di Indonesia, pengelolaan keanekaragaman hayati melibatkan berbagai kementerian dan lembaga, seperti KLHK, KKP, Kementerian Pertanian, dan pemerintah daerah.Koordinasi antar lembaga tersebut perlu diperkuat, untuk lebih meningkatkan sinkronisasi.
Ke depannya, misalnya, peluang untuk kemajuan tercermin pada upaya menyempurnakan sinkronisasi rencana tata ruang dengan kawasan konservasi, memperkuat sistem pengawasan pemanfaatan sumber daya alam, serta meningkatkan konsistensi dalam pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). KLHSharus menjadi alat utama integrasi keberlanjutan dalam kebijakan dan rencana pembangunan, yang harus dijalankan secara data-driven, termasuk data biologis dan ekologis yang mutakhir, dan tidak hanya secara administratif.
Tiga Langkah Strategis
Tantangan yang telah diuraikan bukanlah sekadar masalah teknis yang bisa diselesaikan dengan program-program terpisah. Kita telah sampai pada titik di mana mengelola krisis iklim, alam, dan polusi secara terpisah bukan lagi sebuah kesalahan strategi, melainkan sebuah kegagalan sistemik yang memakan biaya riil.
Setiap hektare hutan yang hilang, setiap sungai yang tercemar, dan setiap cuaca ekstrem yang terjadi adalah beban langsung bagi APBN, kerugian bagi dunia usaha, dan ancaman bagi hajat hidup jutaan rakyat Indonesia. Maka, jalan ke depan menuntut sebuah realisme baru yang didasarkan pada aksi kolektif.
Untuk itu, diperlukan tiga langkah terobosan yang konkret:
Pertama, pemerintah perlu segera memperbaiki pendekatan sektoral dengan menciptakan mekanisme koordinasi lintas lembaga yang memiliki wewenang eksekusi, bukan hanya koordinasi. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebaiknya menjadikan integrasi tiga krisis ini sebagai pilar utamanya, dengan target dan indikator kinerja yang jelas untuk setiap kementerian terkait.
Kedua, sudah saatnya dunia usaha dan lembaga keuangan bergerak secara aktif dalam mengimplementasikan pembuatan laporan dan pelaksanaan kegiatan bisnis dan ekonomi yang ramah-lingkungan dan melaporkannya secara konkret, berbasis data ilmiah dasar yang benar.
OJK perlu segera mempertegas POJK 51/2017 dengan mewajibkan pengungkapan risiko iklim dan alam yang terukur dan terverifikasi, sejalan dengan standar global. Para pemimpin bisnis dan BUMN harus melihat adopsi kerangka kerja global seperti TNFD (Task Force on Nature-related Financial Disclosures) bukan sebagai beban, tetapi sebagai syarat mutlak untuk daya saing dan manajemen risiko di abad ke-21.
Bagi perusahaan, ini harus dijadikan komponen yang mempengaruhi kelangsungan bisnis. Investor, baik domestik maupun global, akan meninggalkan perusahaan yang gagal mengelola risiko lingkungan secara serius.
Ketiga, semua ini harus berlandaskan pada sains yang kuat. Kebijakan dan aksi korporasi harus didasarkan pada ilmu pengetahuan, bukan asumsi. Tanpa data riset dasar mengenai keanekaragaman hayati dan ekosistemyang solid, proyek restorasi akan sia-sia, dan klaim “hijau” hanya akan menjadi kosmetik mahal.
Investasi pada lembaga riset dan pemanfaatan data mereka adalah prasyarat untuk memastikan setiap tindakan yang diambil benar-benar efektif.
Pada akhirnya, menghadapi Tiga Krisis di Tingkat Planet ini secara terpadu dan holistik bukanlah sebuah pilihan ideologis, melainkan sebuah keharusan. Cara kita menjawab tantangan ini membutuhkan pemanfaatan data dan teknologi tepat-guna, untuk menghubungkan keanekaragaman hayati dengan kebijakan iklim, perencanaan ekonomi, serta akuntabilitas lembaga. Dengan demikian isu pembangunan keberlanjutan tidak menjadisekedar retorika dan formalitas, namun menjadi kerangka kerja yang kokoh mendukung ketahanan dan keamanan yang berkesinambungan.