OLEH Budi Purwanto (Dosen Manajemen dan Kepala Kantor Manajemen Risiko IPB University)
Redenominasi bukan semata penghapusan tiga nol pada rupiah, melainkan ujian moral dan tata kelola ekonomi. Ia membawa potensi reformasi sistem keuangan sekaligus risiko baru bagi korupsi dan manipulasi kebijakan. Di satu sisi, redenominasi dapat menjadi momentum memperkuat integritas fiskal dan menertibkan uang haram yang beredar di luar sistem. Di sisi lain, tanpa kejujuran dan pengawasan, kebijakan ini bisa menjadi kosmetik politik yang justru memperlebar celah rente.
Redenominasi juga bukan sekadar soal angka. Ia adalah cermin dari kredibilitas negara terhadap mata uangnya sendiri. Menghapus nol memang tampak sederhana, tetapi maknanya jauh lebih dalam—tentang disiplin fiskal, kepercayaan publik, dan integritas penyelenggara ekonomi. Selama bertahun-tahun, wacana redenominasi rupiah muncul dan menghilang. Namun, pertanyaan mendasarnya tetap sama: apakah sistem kita sudah cukup bersih untuk memulai babak baru keuangan nasional?
Sisi Atas: Citra, Efisiensi, dan Momentum Reformasi
Secara ekonomi, redenominasi memberi kesan stabilitas dan efisiensi. Ia menyederhanakan transaksi, menurunkan biaya administrasi, dan menyesuaikan citra rupiah dengan kekuatan makro yang sebenarnya. Lebih dari itu, redenominasi berpotensi menjadi momentum integritas fiskal: memperbarui sistem akuntansi negara, menertibkan laporan keuangan, dan memperkuat transparansi antar lembaga—dari Bank Indonesia hingga pemerintah daerah. Dalam prinsip maqashid syariah, kebijakan ini mendukung hifz al-mal—menjaga harta publik dari pemborosan dan ketidakjujuran.
Sisi Bawah: Manipulasi dan Risiko Politik
Namun, setiap peluang membawa sisi gelap. Pada masa transisi, ketidaktahuan publik membuka ruang manipulasi harga, kesalahan pencatatan, hingga korupsi dalam pengadaan sistem baru. Lebih jauh, redenominasi bisa dijadikan politik pencitraan: mengganti rupa uang tanpa menyentuh akar masalah ekonomi. Jika dijalankan tanpa transparansi, ia menjadi topeng reformasi, bukan reformasi sejati.
Redenominasi sebagai Senjata Antikorupsi
Satu peluang besar yang jarang disorot teori ekonomi adalah potensi redenominasi sebagai senjata untuk memutus uang hasil korupsi yang disimpan tunai di luar sistem perbankan. Ketika uang lama harus dikonversi dalam jangka waktu terbatas dan dengan verifikasi identitas, para pemilik dana haram dihadapkan pada pilihan sulit: menukar dan terekspos, atau menyembunyikan dan kehilangan nilai.
Kebijakan ini, bila dirancang dengan digital-first dan pengawasan ketat, dapat mendorong uang gelap kembali ke sistem legal, di mana jejaknya bisa dilacak oleh otoritas pajak, keuangan, dan antikorupsi.
Namun, langkah seperti ini tentu akan menghadapi perlawanan keras dari kelompok yang diuntungkan oleh sistem lama—para pemilik uang tunai besar, elite rente, dan jaringan ekonomi gelap yang selama ini nyaman beroperasi tanpa jejak digital. Mereka akan menentang dengan narasi melindungi usaha kecil, menghindari kepanikan pasar, atau belum waktunya reformasi moneter. Padahal sesungguhnya, yang mereka lawan bukan redenominasi angka, tetapi redenominasi moral.
Amanah dan Kejujuran: Nilai yang tak Bisa Dihapus
Dalam Islam, nilai uang tidak diukur dari banyaknya angka, tetapi dari amanah dan keadilan dalam penggunaannya. Redenominasi tanpa amanah hanya mengganti kulit, bukan isi. Rasulullah SAW bersabda, “Apabila amanah disia-siakan, tunggulah kehancuran.” (HR Bukhari). Amanah dalam konteks ekonomi berarti memastikan uang publik bersih, sistem keuangan adil, dan kebijakan tidak menjadi alat oligarki.
Jika dijalankan dengan jujur, redenominasi akan menjadi momentum untuk menata bukan hanya nilai rupiah, tapi nilai moral bangsa. Ia bisa menjadi tonggak baru bagi ekonomi yang efisien, bersih, dan bermartabat. Namun, bila dijalankan tanpa pengawasan, redenominasi hanyalah kosmetik ekonomi—indah di permukaan, busuk di dalam.
Maka, sebelum menghapus nol dari rupiah, yang lebih penting adalah menghapus nol dari nurani—nol kejujuran, nol tanggung jawab, dan nol keberanian melawan korupsi.