OLEH Eisha Maghfiruha Rachbini (Dosen Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB), Deniey Adi Purwanto (Dosen Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB)
Apa itu Artifisial Inteligence (AI)?
Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan diartikan sebagai kemampuan perangkat atau computer dalam mengolah data, berpikir dan belajar dengan sangat cepat. Di era saat ini dimana perkembangan digitalisasi yang sangat cepat penggunaan kecerdasan buatan dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari dan menjadi bagian aktivitas ekonomi masyarakat modern. Misalnya saja penggunaan Google Assistant, mobil pintar, rekognisi wajah pada perangkat telpon genggam pintar dan perangkat lainnya, telah lazim digunakan.
Pemanfaatan AI dalam kegiatan produksi, seperti pada sektor pertanian AI diterapkan pada smart farming, yaitu irigasi, peternakan dan penggunaan robot. Selain itu, teknologi AI juga menjadi bagian dari revolusi industri 4.0 yang menekankan pada konektivitas, manusia dan pemanfaatan big data. Dalam penerapan revolusi industri 4.0, terdapat 5 lima teknologi inti yang diterapkan yaitu wearable, advanced robotics, 3D printing, internet of things, dan AI (Making Indonesia 4.0, 2018). Lebih lanjut, teknologi AI terus berkembang dalam bentuk cognitive computing (CC), computer vision (CC), machine learning (ML), neural networks (NN), deep learning (DL), natural language processing (NLP).
Penerapan AI pada sektor industri manufaktur sangat lazim dijumpai di negara-negara maju. Berdasarkan data OECD (2017), jumlah paten AI terbesar di dunia dikuasai oleh negara maju seperti Jepang (27%), Korea Selatan (17,5%), Amerika Serikat (17,2%), Uni Eropa (11,9%) dan China (10,2%). Adapun secara sectoral, secara rata-rata di berbagai negara, penggunaan AI dan robot lebih banyak digunakan pada industri automotif, industri elektronik, dan industri metal (International Federation and Robotics, 2017). Penggunaan AI dan robot di Indonesia lebih banyak ditemukan pada industri automotif (60%), industri kimia (30%) dan industri lainnya (10%). Sejalan dengan hal ini, transformasi ekonomi Indonesia melalui revolusi industri 4.0 yang fokus pada penerapan AI dan robot dalam peningkatan produktivitas di 5 sektor industri prioritas, yaitu industri makan & minum; tekstil & produk tekstil; farmasi, alat kesehatan, & kosmetik; transportasi; dan alat listrik, elektronik & ICT.
Dampak AI terhadap Perekonomian
Dengan kepintaran kecerdasan buatan, aplikasi AI pada proses produksi dapat meningkatkan efisiensi produksi, melalui efisiensi tenaga kerja, dan menurukan biaya produksi yang muncul dari biaya transaksi dan biaya transportasi, sehingga menciptakan produktivitas pada perekonomian. Dengan perkembangan digitalisasi, konektivitas dan interaksi melalui perangkat ICT, penggunaan big data, menjadikan konektivitas yang tidak terbatas. Penggunaan AI dan robot dapat memudahkan proses kerja dan produksi, seperti aplikasi AI pada rekognisi foto, rekognisi tulisan tangan dan translasi bahasa (Baldwin, 2020).
Secara makroekonomi, penerapan AI pada sektor industri dapat mendorong pertumbuhan sektor manufaktur, meningkatkan volume dan nilai ekspor, akan berdampak positif pada investasi, serta mempengaruhi struktur pada pasar tenaga kerja, dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. BRIN (2020) menjelaskan bahwa penerapan AI yang didukung dengan ekosistem serta invoasi digital Indonesia diproyeksikan dapat meningkatkan PDB nasional sebesar 10.5% pada tahun 2030, serta 22,5% pada tahun 2045. Sementara itu, Kearney (2023) juga telah memperkirakan dampak dari pemanfaatan AI dapat berkontribusi pada pendapatan nasional, yaitu mencapai Rp.5.8 trilyun di tahun 2030.
Dinamika AI dalam Pasar Tenaga Kerja
Dengan semakin luasnya penerapan AI dalam perekonomian, baik, tidak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut akan berdampak pada dinamika pasar tenaga kerja. Berdasarkan survey yang dilakukan WEF (2020), diperkirakan pada tahun 2025 setidaknya terdapat sekitar 80% perusahaan di dunia yang akan mengadopsi teknologi dengan menerapkan AI, termasuk machine learning dan natural language processing. Perusahaan menggunakan AI pada berbagai aktivitasnya terutama untuk aktivitas usaha, seperti bidang teknologi informasi, pemasaran, keuangan dan akuntansi, serta pelayanan pelanggan.
Menurut PwC (2018), penerapan AI dapat merubah struktur pasar tenaga kerja, dimana sektor kesehatan, sektor teknologi dan ilmu pengetahuan, komunikasi, hospitality, dan pendidikan merupakan sektor yang diprediksi akan berkembang seiring dengan penerapan AI. Sementara itu, kesempatan kerja baru pada sektor jasa administrasi, sektor perdagangan dan retail, sektor konstruksi, sektor jasa keuangan dan asutansi, sektor manufaktur, dan sektor transportasi diperkirakan akan berdampak secara signifikan menurun dengan penerapan AI yang meningkat.
Terdapat dua pandangan yang menjelaskan mengenai dampak penerapan AI dalam pasar tenaga kerja. Pertama, penerapan AI akan berdampak secara mendalam terhadap lapangan kerja yang ada di pasar tenaga kerja atau disebut dengan jobs destruction. Kedua, penerapan AI diperkirakan akan menyebabkan disrupsi dalam pasar tenaga kerja atau disebut sebagai jobs disruption. Namun, secara umum kedua pandangan tersebut menjelaskan bahwa penerapan AI dapan mendorong terciptanya lapangan tenaga kerja baru atau disebut juga jobs creation.
Sementara itu, terdapat pula beberapa perubahan pada pasar tenaga kerja akibat penerapan AI, di antaranya adalah pengurangan jam kerja, penurunan pendapatan, dan PHK, mobilitas tenaga kerja pada sektor tertentu baik secara horizontal maupun vertikal, perubahan tugas dan pekerjaan terutama pada jenis pekerjaan berkaitan dengan penerapan AI, perubahan tugas, pekerjaan, dan penyesuaian keterampilan tenaga kerja, alokasi investasi, serta kurikulum pendidikan vokasi, seiring dengan pengembangan dan adopsi AI.
Menurut data WEF (2020), penerapan AI diperkirakan akan menggantikan sekitar 85 juta pekerjaan secara global hingga 2025, namun juga akan menciptakan sekitar 97 juta pekerjaan baru pada periode yang sama. Sementara di Indonesia, penerapan AI dan otomasi diperkirakan akan berdampak negatif pada sekitar 50%-60% pekerjaan (ILO, 2016; UN/DESA, 2017). Proyeksi ini masih lebih moderat dibandingkan dengan dampaknya di negara ASEAN lain seperti Thailand (70%), Vietnam (68%), dan Malaysia (67%). Lebih lanjut, studi ILO (2016) menyebutkan bahwa untuk kasus Indonesia pekerja pada sektor pendidikan memiliki resiko yang rendah terdampak ketika AI dan otomasi diterapkan, sebaliknya pekerja karyawan administrasi memiliki resiko yang tinggi terdampak kehilangan pekerjaan akibat adopsi AI dan otomasi.
Dukungan Kebijakan Menjaga Kesimbangan Pasar Tenaga KerjaPerkembangan teknologi yang cepat serta adopsi AI memberikan dampak terhadap tenaga kerja. Perubahan struktur tenaga kerja terdampak akibat adopsi AI, yaitu resiko kehilangan lapangan kerja pada sektor tertentu dan penciptaan lapangan kerja pada sektor lainnya. Oleh karena itu, diperlukan dukungan kebijakan yang tepat agar memastikan keseimbangan yang positif di pasar tenaga kerja, yaitu dengan upaya-upaya seperti melakukan reformulasi payung hukum ketenagakerjaan terutama yang terkait dengan adopsi AI dalam lingkungan kerja. Kedua, diperlukan penguatan sistem jaminan pengangguran dan jaminan sosial, sehingga tenaga kerja pada sektor terdampak negatif akibat penerapan AI mendapatkan jaminan kesejahteraan ketika dalam masa peralihan mencari pekerjaan baru. Ketiga, diperlukan penguatan transparansi dan keadilan terhadap pekerja dalam transisi adopsi AI. Keempat, pemerintah perlu melakukan identifikasi lapangan kerja baru dan keahlian yang dibutuhkan seiring dengan perubahan struktur pasar tenaga kerja. Kelima, dari sisi perusahaan, perlu adanya dukungan pada masa transisi adopsi AI, seperti melakukan upaya reskilling dan upskilling tenaga kerja yang ada. Keenam, penguatan kolaborasi antara pemerintah, sistem pendidikan, dan pelaku usaha dalam menyiapkan angkatan kerja yang siap dan cakap dalam adopsi AI.