OLEH Dr. Adi Hadianto, Ketua Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB University
Program reforma agraria (land reform) diIndonesia yang pelaksanaannya sudah berjalan lebih dari 60 tahun sejak Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No.5 Tahun 1960 diberlakukan belum menampakan hasil yang diharapkan bahkan setelah pergantian beberapa rezim pemerintahan. Inti dari reforma agraria itu sendiri sesuai dengan Pasal 2 TAP MPR RI Nomor IX/MPR/2001 adalah bagaimana asset reform dapat memberikan kesempatan kerja, meningkatkan produktivitas pertanian dan pendapatan masyarakat.
Di masa pemerintahan Orde Baru, program reforma agrariaini terpinggirkan posisinya dalam kebijakan pembangunan nasional. Selanjutnya pergantian rezim dari Orde Baru ke reformasi ternyata tidak mengubah wajah dari pelaksanaan program reforma agraria walaupun pemerintah baru di era reformasi mulai berupaya menggiatkan kembali program reforma agraria ini seperti dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) No. 48 Tahun 1999 tentang Tim Pengkajian Kebijaksanaan dan Peraturan Perundang-undangan Dalam Rangka pelaksanaan reforma agraria.
Hal ini menunjukkan kekurang seriusan pemerintah untuk melaksanakan program reforma agraria, padahal program reforma agrariaberhasil tidaknya dilaksanakan sangat tergantung pada kemauan politik pemerintah. Kebijakan pembangunan yang beriorientasi memacu pertumbuhan ekonomi dalam negeri dengan mengundang investor untuk menanamkan modalnya merupakan salah satu penyebab terhambatnya program reforma agraria sebab telah menempatkan tanah sebagai asset yang bernilai ekonomi sangat tinggi, akibat yang dapat dilihat di masyarakat tani tak bertanah semakin termarginalkan, jumlah tani penggarap semakin banyak, bahkan pengambil alihan tanah rakyat dengan alasan untuk pembangunan tidak disertai dangan pembagian ganti kerugian yang layak.
Selanjutnya di era pemerintahan SBY, program reforma agraria yang dilaksanakan melalui program redistribusi lahan belum mencapai target yang ditetapkan dan esensi dari pelaksanaan redistribusi lahan belum mampu meningkatkan kesempatan kerja, meningkatkan produktvitas pertanian dan pendapatan masyarakat sasaran, terlebih perombakan struktur kepemilikan yang masih timpang, terutama dalam hal kepemilikan dan penguasaan sumber daya lahan.
Kini di era pemerintahan Jokowi, dimana program reforma agraria tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria yang diimplementasikan melalui program penerbitan sertifikat (tanah) 5 juta hektar untuk rakyat, yang dikatakan sebagai bagian dari redistribusi tanah. Upaya mengatasi ketimpangan kepemilikan lahan tidak cukup hanya dengan pembagian secara simbolis sertifikat tanah. Persoalannya adalah penyertifikatan tanah secara administrasi hanyalah penguatan status hukum atas pemilikan atas tanah. Artinya, program sertifikat sedikit sekali yang menyentuh soal pengembalian penguasaan atau kepemilikan tanah oleh rakyat yang dapat memberikan kesempatan kerja, meningkatkan produktivitas pertanian dan pendapatan masyarakat. Namun setidaknya upaya tersebut merupakan langkah awal yang baik untuk memecahkan persoalan tersebut.
Banyak aspek yang harus disiapkan secara matang dan terencana agar reforma agraria sebagaimana tersirat dalam UUPA 1960 mampu memberikan dampak besar untuk kesejahteraan rakyat. Untuk mencapai tujuan tersebut bukanlah semudah membalikan tangan, dibutuhkan keseriusan pemerintah dan partisipasi masyarakat luas. Bercermin dari pelaksanaan reforma agraria selama ini, maka tulisan ini mencoba mengulas secara singkat pelaksanaan reforma agraria di negara-negara lain yang dianggap berhasil dalam sejarah pelaksanaan reforma agraria seperti Korea Selatan, apa saja keberhasilannya dan apa lesson learned bagi Indonesia.
Sebelum reforma agraria diterapkan 1950 di Korea Selatan, ketimpangan kepemilikan lahan sangat tinggi antara tuan tanah (landlord) dengan petani pemilik lahan. Tuan tanah terdiri dari tuan tanah yang bermukim di lokasi pertanian dan berperan sebagai petani (farmers-landlord) dan tuan tanah bukan penduduk tempatan (absentee-landlord). Absentee-landlord inilah yang melakukan praktek merugikan dengan memungut sewa lahan yang tinggi kepada petani penyewa dan petani berlahan sempit, akibatnya pendapatan petani menjadi rendah. Sistem tenurial lahan seperti ini menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan sosial di Korea Selatan. Produksi dan produktivitas pertanian terhambat. Besarnya sewa lahan, menyebabkan bagi hasil produksi yang lebih besar untuk absentee-landlord. Hal ini menjadi dis-insentif bagi petani penyewa lahan dan atau petani penggarap berlahan sempit untuk berinvestasi dalam input produksi. Akibatnya petani penyewa dan berlahan sempit tetap berada dalam kemiskinan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Shin (1973), banyak petani berlahan sempit akhirnya menjual lahannya kepada tuan tanah dan beralih menjadi petani penyewa lahan.
Pelaksanaan reforma agraria sendiri di Korea Selatan dimulai pada tahun 1950 setelah merdeka dengan menjalankan apa yang disebut Land Reform Act of Korea (LRA) untuk mengatasi persoalan sistem tenurial yang menjadi sumber ketimpangan pendapatan di masyarakat. Secara umum kebijakan LRA dilakukan melalui empat program besar, yaitu pertama pembelian lahan, dimana pemerintah membeli lahan dan mendistribusikan kembali kepada petani. Lahan yang didistribusikan terdiri dari lahan pemerintah hasil pembelian dan lahan milik pemerintah sendiri; kedua memberikan kompensasi kepada tuan tanah dimana pemerintah membeli lahan tuan tanah dan petani lahan luas dengan pembayaran nilai lahan atau disebut “Chika Cungkwon” yaitu kompensasi sejumlah hasil produksi seperti beras, gandum, dan sebagainya. Contohnya ketika tuan tanah ingin meminjam uang di lembaga keuangan, maka pemerintah memberikan jaminan obligasi dengan suku bunga rendah, atau ketika tuan tanah ingin membeli fasilitas pemerintah atau property pemerintah memberikan jaminan preferensi. The LRA sebenarnya mendorong tuan tanah menjadi entrepreneur dan pemilik modal industri. Selanjutnya ketiga yaitu distribusi lahan yaitu pemerintah melakukan distribusi lahan hanya kepada petani lahan sempit di berbagai lokasi; dan keempat melakukan konservasi lahan yang didistribusikan untuk mempertahankan kesuburan lahan pertanian.
Pelaksanaan LRA di Korea Selatan bukan tanpa hambatan, misalnya masih adanya masalah penetapan sewa lahan yang dianggap petani penyewa lahan masih dirasa cukup tinggi, dan LRA sendiri tidak mampu secara cepat meningkatkan produktivitas pertanian meskipun pemerintah telah memberikan insentif bagi petani. Meski demikian secara perlahan pelaksanaan reforma agraria telah berhasil menghapuskan sistem tenurial lahan lama dari praktek tuan tanah yang merugikan, menjadikan tuan tanah sebagai pemilik modal industri, melakukan transformasi dari petani penyewa menjadi petani pemilik lahan, dan berhasil mencapai pemerataan dan keadilan sosial.
Pepatah mengatakan bahwa pengalaman adalah guru terbaik, maka tidaklah berlebihan apabila kita dapat memetik pelajaran berharga dari pelaksanaan reforma agraria di tempat lain seperti di Korea Selatan mengenai banyak hal yang dapat diterapkan dalam pelaksanaan reforma agraria di Indonesia ke depan. Sedikitnya ada tujuh hal yang dapat ditarik sebagai pelajaran dari pelaksanaan reforma agraria di Korea Selatan yaitu terkait sasaran lahan yang didistribusikan, sasaran penerima redistribusi lahan, konsistensi dukungan politik, pemberian program insentif, solusi program, ketersediaan industrialisasi dalam pelaksanaan program, dan target petani sasaran dalam pelaksanaan program.
Lesson Learned dari Pelaksanaan Reforma Agraria di Korea Selatan
No | Variabel | Korea (Selatan) | Indonesia |
1 | Sasaran lahan yang didistribusikan | lahan tuan tanah | lahan negara |
2 | Sasaran penerima redistribusi lahan | petani sebagai pekerjaan utama | tidak selalu petani |
3 | Dukungan politik | konsisten | tidak konsisten/berbeda setiap rezim |
4 | Program pendukung sebagai insentif | land-value bill untuk tuan tanah | tidak ada |
5 | Solusi program reforma agraria | win-win solution | worse off, terjadi konflik |
6 | Tersedianya industrialisasi dalam pelaksanaan reforma agraria | tersedia | tidak tersedia |
7 | Target petani sasaran | mendidik entrepreneur | petani pekerja |
Evaluasi terhadap pelaksanaan reforma agraria menjadi sangat penting untuk mnecapai tujuan sebenarnya dari program tersebut yaitu kesejahteraan dan mengurangi kesenjangan melalui asset reform khususnya bagi para petani berlahan sempit. Catatan penting yang perlu menjadi perhatian para pengambil kebijakan adalah:
- Reforma agraria tidak sekedar redistribusi lahan, tetapi juga memberikan akses kepada petani penerima program seperti akses petani kepada permodalan, akses petani kepada teknologi dan sumberdaya alam, pemberdayaan petani.
- Obyek lahan yang menjadi target redistribusi aset tidak hanya lahan negara. Dalam konteks Indonesia, meskipun status lahan milik negara (perkebunan/kehutanan) yang menjadi target, perlu dipertimbangkan pembatasan (moratorium) pemberian ijin ulang/ijin baru HGU kepada perusahaan agar petani kecil dapat mengakses. Jika tidak dilakukan, mengatasi kesenjangan sangat sulit diwujudkan.
- Untuk menjamin asset reform dapat memberikan kesempatan kerja, meningkatkan produktivitas pertanian dan pendapatan masyarakat, maka sasaran penerima redistribusi lahan harus petani berlahan sempit, tidak bisa dialihfungsikan menjadi lahan non pertanian atau bahkan tidak boleh diperjualbelikan sampai batas waktu tertentu.
- Agar dapat berkesinambungan, kebijakan asset reform dan acces reform tersebut terintegrasi dan konsisten dalam implementasi.
- Perlu program pendukung dalam pelaksanaan reforma agrarian sebagai insentif