OLEH Kastana Sapanli (Dosen Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan IPB University), Muhammad Rizki Abdurrahman (Mahasiswa Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan IPB University)
Limbah makanan merupakan masalah lingkungan yang belum ditangani secara memadai di negara ini. Menurut artikel berjudul “Fixing Food”: Towards the More Sustainable Food System” yang diterbitkan the Economist, Indonesia merupakan penghasil sampah makanan terbesar kedua setelah Arab Saudi.
Jika kita menghitung jumlah total makanan di seluruh penduduk, terdapat 300 kilogram sampah makanan dibuang per orang setiap tahunnya. Dewilda et al (2019) mengatakan bahwa peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan timbulan sampah, dampak dari pertumbuhan pangan, industri, dan pendapatan per kapita dapat meningkatkan sampah di Indonesia.
Sektor rumah tangga merupakan penyumbang utama sampah makanan di banyak negara, termasuk Indonesia. Limbah makanan (food waste) yang dibuang setelah dikonsumsi merupakan ujung dari rantai makanan.
Banyak sekali faktor penyebab terjadinya food waste, salah satunya adalah perilaku manusia dalam membuang makanan (food waste behavior). Pola makan masyarakat saat ini membeli makanan dalam jumlah banyak karena kemudahan pembelian melalui online. Van der Werf dkk (2019) menyatakan bahwa kurangnya pengetahuan tentang perencanaan pangan, keterampilan, dan praktik dapat meningkatkan timbulan sampah makanan.
Upaya pengelolaan sampah makanan didasarkan pada penerapan prinsip ekonomi sirkular. Dengan menerapkan ekonomi sirkular, kita dapat meningkatkan kelestarian lingkungan, kesejahteraan sosial, mengurangi kerusakan lingkungan, meningkatkan produksi produk-produk baru yang bernilai, dan meningkatkan kegiatan ekonomi hijau sesuai dengan tujuan pembangunan yang berkelanjutan pada SDGs.
Salah satu upaya pengolahan limbah rumah tangga adalah dengan menggunakan maggot. Maggot yang dikenal juga dengan larva BSF (black soldier fly) merupakan dapat memakan sampah hingga 55 persen dari berat total sampah yang dihasilkan (Diener 2010).
Belatung BSF dapat memakan berbagai macam makanan, antara lain, sisa dapur, buah-buahan, sayuran, dan sisa bahan organik lainnya (Yuwono dan Mentari 2018). Ketika maggot sampai kepada tahap dewasa mampu mengurai sampah lebih cepat, menghambat pertumbuhan bakteri dan mengurangi bau sampah dengan lebih baik (Diener 2010).
Ulat ini dilengkapi kemampuan menguraikan sampah lebih banyak dibandingkan serangga lainnya (Kim et al. dan Hirsan 2021). Maggot bermanfaat sebagai pengganti tepung ikan yang dibutuhkan pada pembuatan pakan ternak (Fauzi dan Eka 2015). Pada analisis kimia yang dilakukan (Yuwono dan Mentari 2018), kandungan protein lalat BSF berkisar antara 29,9 hingga 36,4 persen.
Sehingga dapat dikatakan bahwa selain dapat mengatasi permasalahan sampah, cacing juga dapat bermanfaat secara ekonomi sebagai pakan ternak. Selain tinggi protein, proses budi daya maggot tidaklah sulit.
Dengan teknologi sederhana, pengembangbiakan maggot dapat dilakukan di tingkat rumah, komunitas, dan profesional. Mengelola sampah di rumah dapat memberikan manfaat ekonomi.
Analisis finansial yang telah dilakukan menunjukkan bahwa bisnis peternakan maggot cukup menggiurkan. Pendapatan dari usaha lalat BSF berasal diperoleh dari penjualan larva BSF dan sisa keuntungan di akhir umur usaha. Laju produksinya 5 kilogram per panen setiap 18 hari.
Laju produksi ini diprediksi dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hakim dkk 2017 mengenai kajian feeding rate dan proses biokonversi limbah ikan tuna dengan menggunakan larva Hermetia illukens yang merupakan nama latin dari BSF. Jumlah sampah yang dapat diolah dengan pemberian pakan ke maggot sebanyak 100 mg per ekor per hari sehingga bobot maggot yang dihasilkan pada saat panen adalah 95 mg per ekor.
Jika diasumsikan jumlah sampah yang dihasilkan rumah tangga sekitar lima kilogram per hari, pendapatan pada tahun pertama sebesar Rp 732 ribu dan pada tahun kedua hingga kelima sebesar Rp 720 ribu sehingga total pendapatan dalam lima tahun adalah sebesar Rp 3.612.000.
Nilai sisanya diperoleh dari barang-barang investasi, seperti kasa terbang, dudukan logam, timbangan, sekop, dan pelat. Total keuntungan yang tersisa pada akhir proyek pengolahan limbah skala rumah tangga menggunakan ulat BSF ini adalah Rp 72.500.
Pengeluaran pada usaha pengelolaan sampah dengan menggunakan maggot BSF dapat dilihat dari biaya modal dan biaya operasional. Biaya modal/investasi adalah semua biaya yang dikeluarkan selama tahun pertama untuk membiayai peralatan dan fasilitas yang diperlukan untuk melaksanakan usaha.
Biaya investasi yang dibutuhkan untuk skala kecil pada satu rumah tangga dari kendang jaring lalat, ember plastik, wadah plastik seperti baskom, sekop dan timbangan. Nilai investasi yang perlu disiapkan adalah sebesar Rp 1.230.000.
Biaya operasional merupakan biaya yang dikeluarkan untuk aktivitas pemeliharaan maggot mulai dari larva, telur hingga lalat. Jika diasumsikan biaya operasional pada tahun awal sebesar Rp 187.000, untuk pembelian bibit maggot, tahun selanjutnya tidak perlu lagi membeli telur maggot karena sudah bisa memproduksinya sendiri sehingga biayanya turun menjadi Rp 67.000 per tahun. Oleh karena itu, total biaya operasional selama lima tahun hanya sebesar Rp 455.000.
Untuk mengetahui tingkat kelayakan usaha berdasarkan aspek finansial, dapat dilakukan dengan analisis kriteria kelayakan investasi. Pada penelitian ini, kriteria kelayakan yang digunakan adalah net present value (NPV), benefit cost ratio (BCR), dan payback period (PP). Tingkat suku bunga yang digunakan adalah 3.5 persen.
Untuk menentukan kelayakan bisnis berdasarkan aspek finansial, kita dapat melihat dari beberapa kriteria investasi. Dalam penelitian ini kriteria kelayakan yang digunakan adalah adalah net present value (NPV), rasio biaya-manfaat (BCR) dan periode pengembalian investasi (PP). Suku bunga yang digunakan adalah 3,5 persen.
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh hasil nilai NPV yang layak diusahakan karena lebih besar dari nol yaitu Rp 1.884.040. Kriteria investasi lainnya berdasarkan nilai rasio profitabilitas (BCR) juga diperoleh mempunyai nilai lebih besar dari satu yaitu 8,8 sehingga usaha ini pantas dilaksanakan. Dan terakhir berdasarkan payback period (PP) yang diperoleh dari analisa ini adalah 1 tahun 7 bulan.
Ini membuktikan bahwa usaha ini layak dijalankan karena kurang dari umur proyek, yaitu 5 tahun. Dari hasil analisis tersebut dapat kita simpulkan bahwa kegiatan pengolahan sampah domestik dengan menggunakan maggot BSF dapat mencapai seluruh kriteria kelayakan finansial, yaitu NPV>0, BCR>1 dan waktu pengembalian investasi yang layak. Ini menjadi alasan bahwa sampah makanan sisa yang selama ini menjadi masalah berpotensi menjadi tambahan pendapatan di rumah tangga.