OLEH Uly Anggraeni Putri (Departemen Ilmu Ekonomi Syariah FEM IPB University), Fenty Wurni Asih (Departemen Ilmu Ekonomi Syariah FEM IPB University), Anggi Setya Pratiwi (Departemen Aktuaria FMIPA IPB University), Firman Thaha Yasin (Departemen Teknologi Industri Pertanian FATETA IPB University), Ranti Wiliasih, M.Si (Departemen Ilmu Ekonomi Syariah FEM IPB University)
Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional menyebutkan kontribusi energi baru-terbarukan (EBT) dalam bauran energi primer nasional pada tahun 2025 adalah sebesar 17 persen dengan komposisi bahan bakar nabati sebesar 5 persen. Salah satu bentuk implementasi dari perpres tersebut adalah program Desa Mandiri Energi (DME) yang dicanangkan oleh presiden pada tahun 2007.
Program DME merupakan kegiatan pembangunan wilayah/pedesaan melalui pengembangan tanaman penghasil bahan bakar nabati yang bertujuan agar desa dapat menciptakan lapangan kerja, memenuhi kebutuhan energinya sendiri, dan mengurangi kemiskinan di desa. Bahan bakar nabati atau biofuel dapat dijadikan alternatif untuk mengatasi krisis energi di masa depan (Budianto et al., 2021).
Kementerian Kehutanan menyebutkan bahwa tanaman nyamplung cocok dijadikan biofuel karena mempunyai rendemen minyak mencapai 65,8 persen lebih tinggi dibandingkan kelapa sawit dan jarak pagar (Muderawan dan Daiwataningsih, 2016).
Bahan bakar nabati atau biofuel dapat dijadikan alternatif untuk mengatasi krisis energi
Program DME nyamplung pernah dilaksanakan pada 2009 di Desa Buluagung Kecamatan Siliragung Kabupaten Banyuwangi, Desa Ambal Kecamatan Ambal Kabupaten Kebumen, dan Desa Patutrejo Kecamatan Grabag Kabupaten Purworejo dengan sumber pembiayaan dari dana stimulus fiskal Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) pada Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM). Pelaksanaan DME nyamplung di ketiga desa tersebut hanya berjalan selama kurang lebih tiga bulan karena beberapa kendala di antaranya produksi yang sering berhenti (Uripno et al., 2014).
Bahkan, sebagian besar lahan nyamplung milik masyarakat sudah diganti dengan jenis lain karena ketidakjelasan pemanfaatannya (Sanudin, 2020). Di sisi lain, gerakan Green Waqf yang berdiri tahun 2021 adalah gerakan nirlaba yang mengumpulkan dana wakaf dan menyalurkannya dalam bentuk pemanfaatan lahan kritis untuk ditanami nyamplung dan diolah sebagai kosmetik, obat, dan energi alternatif.
Hal ini menunjukkan bahwa Green Waqf memiliki perhatian yang tinggi pada tanaman nyamplung dalam mendukung pencapaian SDGs, khususnya target 7.2, yaitu meningkatkan secara substansial pangsa energi terbarukan dalam bauran energi global pada tahun 2030. Aktivitas Green Waqf yang saat ini berkaitan dengan nyamplung, memungkinkan komunitas ini memiliki ketertarikan untuk mengelola nyamplung menjadi energi terbarukan (Beik et al, 2022).
Hasil studi yang dilakukan oleh tim PKM-RSH IPB University dalam riset yang berjudul “Intensi Gerakan Green Waqf dalam Melanjutkan Estafet Program Desa Mandiri Energi Basis Nyamplung” mengidentifikasi penyebab kegagalan program DME nyamplung, dan menganalisis intensi gerakan Green Waqf untuk melanjutkan program Desa Mandiri Energi berbasis tanaman nyamplung.
Penyebab kegagalan DME nyamplung
Hasil yang ditemukan setelah melakukan sejumlah wawancara mendalam kepada pihak-pihak yang pernah terlibat dalam program DME nyamplung di Desa Patutrejo, Purworejo Jawa Tengah, ditemukan beberapa penyebab kegagalan program DME nyamplung. Beberapa penyebab itu, antara lain, pelaksanaan program yang kurang terencana dengan baik.
Kemudian, hasil tender yang menghasilkan mesin yang tidak sesuai dengan kualifikasi, sehingga tidak dapat menghasilkan biofuel secara optimal. Sebab, mesin yang disediakan lebih untuk pengolahan minyak jarak dan pada akhirnya lama kelamaan menjadi rusak karena tidak dimanfaatkan, Fatimah dan Aurora (2016).
Masyarakat tidak tahu ke mana memasarkan biofuel nyamplung yang telah dihasilkan
Hal lainnya adalah ketidakjelasan tujuan penggunaan biofuel nyamplung yang dihasilkan. Secara konsep, pemerintah berharap biofuel yang dihasilkan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat menjadi energi alternatif sementara dari sisi masyarakat ini menjadi hal yang tidak ekonomis karena mereka lebih tertarik untuk menjual minyak nyamplung yang dihasilkan dibandingkan menggunakannya sendiri.
Namun begitu, mereka tidak tahu kemana memasarkan biofuel nyamplung yang dihasilkan karena ketersediaan bahan bakar lain juga mudah untuk diakses. Perbedaan kepentingan ini kemudian mengakibatkan DME tidak berjalan
Hasil wawancara mendalam dengan mantan kepala bidang manajemen DME dari KLHK, didapatkan sejumlah informasi bahwa pelaksanaan DME nyamplung mengalami berbagai kendala. Namun, yang menjadi inti penyebab kegagalan pelaksanaan adalah biaya pengolahan yang tinggi walaupun hal ini tidak sejalan dengan analisis kelayakan secara keuangan yang menyebutkan bahwa pengolahan nyamplung menjadi biofuel layak untuk dikembangkan berdasarkan nilai IRR, NPV dan pay back period (Kementerian Kehutanan, 2008).
Disebutkan bahwa pemerintah perlu memberikan subsidi kepada masyarakat untuk pengolahan biofuel, penyederhanaan proses pengolahan biji nyamplung menjadi biofuel, dan diterapkan di daerah pedalaman, seperti Maluku Utara dan Nusa Tenggara, yang akses terhadap bahan bakar lebih sulit.
Green Waqf belum fokus pada kegiatan pengolahan biofuel nyamplung karena keterbatasan dana
Berdasarkan hasil focus group discussion dengan koordinator dan pengurus Green Waqf, didapatkan hasil analisis bahwa Green Waqf belum memiliki intensi untuk melanjutkan program DME nyamplung yang pernah ada, yaitu pengolahan nyamplung menjadi biofuel.
Green Waqf belum fokus pada kegiatan pengolahan biofuel nyamplung karena keterbatasan dana dan juga pengetahuan dalam mengolah nyamplung menjadi biofuel. Fokus Green Waqf saat ini bersama beberapa rekanan yaitu penyediaan bibit nyamplung dan perluasan area tanam nyamplung, pengolahan minyak mentah biji nyamplung yang kemudian diolah menjadi produk komersial, seperti kosmetik (krim anti-aging), sabun, parfum, dan farmasi, serta mengajukan anggaran dana kegiatan kepada sejumlah lembaga salah satunya UNDP.