Oleh Prof Bambang Juanda (Dosen Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB)
Sudah sepekan berlalu tiga pasangan capres-cawapres melakukan kampanye terbuka di berbagai daerah. Dalam bulan November sebelum kampanye, elektabilitas pasangan Prabowo-Gibran masih unggul karena tren yang positif sekitar 40-an persen dibandingkan pasangan Ganjar-Mahfud dan Anies-Muhaimin berdasarkan beberapa hasil lembaga survei yang relatif kredibel menurut penulis.
Hasil dari beberapa lembaga survei tersebut tidak begitu berbeda jauh. Kita dapat menyimpulkan tidak berbeda signifikan (relatif sama) dugaannya, jika masing-masing hasil survei dilengkapi dengan margin error, atau kisaran dugaan dengan tingkat kepercayaan tertentu (misalnya 95 persen) dari masing-masing hasil suveinya saling overlap relatif besar.
Dalam tulisan ini tidak dibahas visi, misi, dan program dari tiga pasangan tersebut karena ini “tidak dilihat” oleh masyarakat dalam memilih. Selain itu, yang membuat dokumen tersebut adalah tim suksesnya dan cukup panjang dibahas di sini serta akan lebih menarik membahas dokumen tersebut jika berdiskusi langsung dengan tiga pasangan calon tersebut. Yang dibahas di sini terkait perilaku masyarakat (community behavior) dalam memilih capres-wacapresnya.
Hasil survei pilihan kepada tiga capres cukup dinamis dan fluktuatif bergantung pada perubahan kepercayaan publik seperti iman seseorang yang kadangkala naik dan kadang kala turun. Ini diakibatkan oleh perubahan strategi masing-masing capres dan pendukungnya, kedekatan dan kepuasan dengan presiden sekarang, serta beberapa kejadian di Indonesia yang menjadi berita utama di media massa.
Berdasarkan hasil terakhir survei Indikator Politik Indonesia, sebelum kampanye, diduga 75,8 persen puas terhadap Presiden Jokowi. Jadi, yang tidak puas sekitar 24,2 persen dan ini kemungkinan besar merupakan captive-nya atau kaveling-nya Anies Baswedan.
Jika kepuasan terhadap Presiden Jokowi naik, elektoral untuk Prabowo-Gibran naik dan untuk Anies-Muhaimin turun. Begitu juga sebaliknya, jika kepuasan terhadap Presiden Jokowi turun, misalnya, karena putusan MK tentang batas usia capres-cawapres, elektoral untuk Prabowo-Gibran turun dan untuk Anies-Muhaimin naik. Sebelum kampanye, elektabilitas Anies-Muhaimin naik sekitar 6 persen menjadi 24,4 persen.
Akan tetapi, dengan ditetapkan tiga pasangan calon pada 13 November 2023 dan kelihatannya hanya 30 persen masyarakat yang peduli berita MK tersebut, elektabilitas Prabowo-Gibran naik lagi.
Sebelum kampanye, elektabilitas Ganjar-Mahfud agak turun sedikit dari September ke November, menjadi sekitar 30 persen. Ini diakibatkan, kemungkinan salah satunya karena strategi Ganjar-Mahfud membuat jarak dengan Jokowi, misalnya, dengan memberikan nilai 5 dari skor maksimal 10 untuk pemerintahan RI sekarang dalam penegakan hukum, HAM, pemberantasan korupsi, dan demokrasi.
Pernyataan ini sama saja mengkritik cawapresnya Mahfud MD sebagai menteri koordinator bidang politik hukum dan keamanan.
Ketika elektabilitas Prabowo-Gibran naik, umumnya mengambil basis pendukung Presiden Jokowi yang sebelumnya mendukung Ganjar-Mahfud. Sementara, elektabilitas Anies-Muhaimin tidak langsung terkait dengan peningkatan elektabilitas Prabowo-Gibran. Karena elektabilitas Ganjar-Mahfud cenderung turun, elektabilitasnya sekarang relatif sama dengan Anies-Muhaimin di kisaran 24 persen.
Meskipun kampanye baru mulai satu pekan, kalau pola kecenderungan ini berlanjut, kemungkinan ini menjadi semacam “peringatan” buat pasangan Ganjar-Mahfud. Sebab, jika misalnya basis pendukung Presiden Jokowi terus melakukan eksodus dari Ganjar ke Prabowo, kemudian suara Ganjar disalip oleh Anies serta seandainya Prabowo gagal membungkus kemenangan dalam satu putaran, yang menemani Prabowo-Gibran pada putaran kedua adalah Anies-Muhaimin.
Akan tetapi, jika Ganjar-Mahfud mampu melakukan “perbaikan strategi” terutama dengan memanfaatkan kampanye dan debat antar tiga paslon, kemungkinan Ganjar-Mahfud masih punya potensi untuk kembali ke jalur yang benar menuju putaran kedua. Misalnya, dengan mengubah narasi yang belakangan ini lebih dekat ke narasi “perubahan” yang selama ini dibangun oleh Anies-Muhaimin.
Itu artinya mereka memperebutkan segmen yang kecil, yaitu 24,2 persen masyarakat yang tidak puas terhadap presiden Jokowi. Segmen yang besar, sebenarnya 75,8 persen yang puas terhadap Presiden Jokowi yang sekarang ini dominan memilih Prabowo-Gibran. Sementara Prabowo sendiri sebenarnya masih bisa mengambil segmen pemilih yang tidak puas terhadap Jokowi, terutama dari loyalis lamanya.
Jadi, sebenarnya elektabilitas Prabowo-Gibran naik ini bukan semata-mata kecanggihan kampanyenya, tapi karena “blunder” yang diciptakan PDIP karena menarik diri dari pemilih yang puas (banyak) ke pemilih yang tidak puas (sedikit) ke Presiden sekarang.
Seandainya Ganjar-Mahfud mau mengubah narasinya menjadi “perubahan”, harus ada penyesuaian, tidak bisa berubah drastis. Hal itu misalnya melakukan kritik kepada kinerja Presiden Jokowi dengan narasi “perbaikan”, bukan narasi yang sudah dibangun dan menjadi kapling Anies-Muhaimin.
Narasi “perbaikan” ini ada dasar ushul fikihnya yang pernah disampaikan Mahfud MD, yaitu mempertahankan legasi Presiden Jokowi yang baik, tetapi juga melakukan koreksi sekaligus perbaikan, yang mungkin sesuatu yang baru, yang tidak atau belum dilakukan oleh Presiden Jokowi.
Selain itu, karena popularitas Ganjar tidak sekuat Prabowo dan Anies, perlu pendekatan politik seperti sering blusukan ke berbagai daerah dengan memberikan bantuan sosial atau sesuatu yang dirasakan langsung dalam dua bulan terakhir, sehingga akan meningkatkan popularitas dan elektabilitasnya. Ini karena ada kecenderungan pemilih di Indonesia adalah mereka yang menentukan pilihan politiknya di tikungan akhir, sesuai keinginan dan kepentingan rakyat.
Dari pengalaman pilpres sebelumnya, dampak debat antar paslon tidak begitu besar, hanya sekitar 5 sampai 10 persen. Itu pun efeknya hanya kepada masyarakat berpendidikan tinggi, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta.
Meski demikian, efek debat ini akan sangat menentukan apakah Ganjar atau Anies yang masuk ke putaran kedua menemani Prabowo. Begitu juga, jika dimanfaatkan Prabowo-Gibran dengan baik, pilpres pada 14 Februari nanti kemungkinan bisa satu putaran.
Sementara dari data perkembangan hasil survei tiga paslon tersebut, kemungkinan yang paling besar atau “pasti” masuk putaran kedua adalah Prabowo-Gibran. Ada dua hal yang belum pasti. Yang pertama adalah apakah Prabowo-Gibran menang dalam satu putaran; dan yang kedua adalah jika dua putaran, siapa yang menemani Prabowo-Gibran, apakah Ganjar atau Anies. Kedua hal ini masih rahasia Tuhan di kitab Lauhil Mahfudz.
Pemilu jurdil
Ada dua pidato atau pernyataan politik Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri yang belakangan ini menjadi perhatian publik. Pertama, masyarakat perlu mengawal demokrasi dengan mewaspadai kecurangan Pemilu. Kedua, menganggap gaya pemerintahan sekarang seperti pemerintahan Orde Baru.
Pendapat terakhir kedua ini cukup kontroversial karena dulu di zaman Orde Baru, jumlah partai hanya tiga yaitu Golkar, PDIP, dan PPP. Selain itu, sejak awal kepemimpinan Presiden Jokowi pada 2014 hingga sekarang, komposisi menteri di kabinet dijabat oleh figur dari berbagai partai politik dan kalangan profesional.
Hal itu tak dapat dijumpai di masa Orde Baru. Perbedaan juga terlihat terkait kebebasan berpendapat, yang bahkan sekarang ini orang bisa secara terbuka “menghina” Presiden Jokowi.
Terlepas dari persoalan politik PDIP, dilihat dari sisi substansi pidato yang pertama, banyak hal yang penting, di antaranya kita sebagai anak bangsa, perlu konsistensi terkait dengan komitmen penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, termasuk juga upaya untuk menghadirkan pemilu yang legitimate dan jurdil yang betul-betul mengedepankan pada imparsialitas aparat.
Substansi lainnya, bahwa pidato Megawati itu semacam deklarasi terbuka perbedaan rute antara Megawati dengan Presiden Jokowi yang sudah punya jalan sendiri terkait dengan pemilu 2024. Kritik terbuka dan sekaligus sindiran kepada pemerintah yang notabene salah satu desainer pemerintahan itu adalah Megawati sendiri.
Pernyataan politik di atas, suka tidak suka, diakui atau tidak diakui, mulai muncul keraguan terutama dari pihak yang bertarung, yang sebelumnya kita mendengar dari Anies Baswedan, sekarang disuarakan oleh partai terbesar yang selama ini menjadi pendukung Pak Jokowi, berkaitan dengan apakah Presiden Jokowi bisa berlaku netral ketika putranya menjadi pendamping Pak Prabowo.
Pada titik ini, terlepas dari apakah keraguan tersebut ada intensi politiknya atau tidak, menurut saya, Presiden Jokowi harus mendengar dengan baik sekaligus menunjukkan komitmennya untuk menghadirkan pemilu yang jurdil dan legitimate. Bukan semata-mata untuk kepentingan bangsa ini, tetapi juga untuk kepentingan dirinya karena Pemilu 2024 nanti berlangsung di bawah pemerintahan presiden Jokowi.
Jadi, kalau misalnya, Pemilu nanti tidak berlangsung secara netral, yang rugi bukan hanya bangsa ini, tetapi yang rugi juga adalah Presiden Jokowi. Hal ini karena legitimasi hasil pemilu 2024 akan dipertanyakan dan Presiden Jokowi akan terkena getahnya karena sebagai presiden, beliau akan dituding sebagai pihak yang tidak mampu menghadirkan pemilu yang netral.
Ini satu kritikan yang baik dan kita harapkan Presiden Jokowi akan mendengar sehingga semua indikasi, semua tanda-tanda yang memungkinkan munculnya keraguan atas kehadiran pemilu yang jurdil dan netral, harus segera diperbaiki demi kepentingan berlangsungnya pemilu yang legitimate.
Selain itu, dengan teknologi informasi sekarang, jejak digital tidak mungkin dihilangkan dan akan menjadi bukti yang nyata karena semua anggota tubuh kita akan menjadi saksi tentang apa yang kita perbuat.