Oleh Muh Faturokhman (Mahasiswa Program Doktor Sains Agribisnis IPB University), Dr Burhanuddin (Ketua Departemen Agribisnis, dan Dosen Program Doktor Sains Agribisnis IPB University)
Salah satu ukuran untuk melihat kemajuan ekonomi suatu negara yaitu dengan melihat seberapa banyak wirausaha yang ada di negara tersebut. Banyaknya wirausaha akan berdampak pada peningkatan jumlah produk dan jasa yang akan dihasilkan.
Hal ini tentu akan berdampak pada peningkatan roda perekonomian. Selain itu, efek pengganda dari banyaknya wirausaha adalah berkurangnya tingkat pengangguran dan munculnya produktivitas.
Melihat gambaran tersebut maka peningkatan wirausaha di suatu negara mutlak harus dilakukan. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan Pambudy (2022) bahwa jika bisa melakukan main streaming kewirausahaan, khususnya di bidang agribisnis, multiplier effect-nya terhadap ekonomi makro sangat besar. Dari sisi tenaga kerja dengan scale up industri mikro menjadi industri kecil, maka ketersediaan lapangan kerja kita bisa meningkat hingga tiga kali lipat.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah wirausaha yang relatif masih rendah. Berdasarkan sensus ekonomi Badan Pusat Statistik (BPS), baseline 2019, rasio wirausaha baru 3,3 persen setara 8,2 juta penduduk. Sedangkan, target tahun 2024 adalah 3,95 persen. Untuk itu, diperlukan sekitar 1,5 juta penduduk yang menjadi wirausaha.
Kondisi Indonesia ini masih kalah dengan negara tetangga seperti Singapura yang mencapai 8,76 persen dan Malaysia yang di atas angka 4,5 persen. Selain itu, data dari Global Entrepreneurship Index (GEI), Indonesia masih menempati urutan ke-75 dari 137 negara dengan skor 26.
GEI mengukur kemampuan suatu negara menghasilkan wirausaha. Posisi GEI tersebut menunjukan bahwa Indonesia masih rendah dalam memunculkan calon-calon wirausaha yang siap menjadi wirausahawan.
Ekosistem kewirausahaan merupakan ekosistem yang kompleks
Indikator lain yang menunjukkan posisi rendahnya tingkat kewirausahaan Indonesia adalah data yang dirilis oleh Global Entrepreneurship Monitor (GEM) (2022) yang menyampaikan bahwa persentase individu dewasa di Indonesia yang terlibat aktivitas wirausaha melalui total early entrepreneurial activity (TEA) berada pada peringkat 36 dari 49 negara. Data GEM ini menjadi tantangan bagi pemerintah Indonesia untuk memacu pertumbuhan kewirausahaan dengan membuat ekosistem kewirausahaan yang memudahkan bagi masyarakat untuk menjadi seorang wirausaha.
Kompleksitas ekosistem kewirausahaan
Meningkatnya wirausaha di suatu negara akan sangat dipengaruhi oleh ekosistem kewirausahaan (entrepreneurial framework condition/EFC). Menurut GEM (2021), ekosistem kewirausahaan berasal dari serangkaian kondisi struktural kewirausahaan yang memfasilitasi atau menghambat peluncuran usaha bisnis baru.
Dengan demikian, ekosistem kewirausahaan merupakan ekosistem yang kompleks, signifikan, dan serangkaian interkoneksi yang melibatkan berbagai aktor yang berbeda membentuk masyarakat wirausaha (perusahaan, pengusaha, pendidik, media, dan pemerintah). Hal ini diperkuat oleh Walsh dan Winsor (2019) yang menyatakan bahwa ekosistem kewirausahaan muncul dari kombinasi beragam budaya, ekonomi, politik, dan faktor-faktor sosial yang berlaku di wilayah tertentu, baik yang mendukung maupun sebaliknya, termasuk di dalamnya perusahaan-perusahaan yang inovatif.
GEM (2021) menyampaikan bahwa untuk mengukur ekosistem kewirausahaan dapat dilihat dari 12 variabel. Variabel-variabel itu adalah pendidikan kewirausahaan di sekolah, pelatihan kewirausahaan, infrastruktur komersial dan profesional, fisik dan infrastruktur layanan, dukungan dan kebijakan pemerintah, serta pajak dan birokrasi.
Variabel lainnya adalah program kewirausahaan pemerintah, penelitian dan pengembangan, norma sosial dan budaya, akses terhadap pembiayaan kewirausahaan, dinamika pasar internal, serta keterbukaan pasar internal.
Sebanyak 12 variabel independen tersebut merupakan pendekatan untuk memonitor kondisi kewirausahaan di sebuah kawasan atau negara.
Melihat kompleksitas ekosistem kewirausahaan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, maka pengembangan ekosistem kewirausahaan yang baik tidaklah mudah. Perlu kontribusi dan kesadaran bersama semua stakeholder baik itu pemerintah, swasta, dunia pendidikan, kelompok sosial dan lain-lain.
Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Perpres Nomor 2 Tahun 2022 tentang Pengembangan Kewirausahaan. Dalam Perpres tersebut dijelaskan bahwa pemerintah berupaya untuk mewujudkan ekosistem berwirausaha agar dapat mendorong peningkatan rasio wirausaha yang ditargetkan 3,95 persen pada tahun 2024.
Inovasi kunci kewirausahaan
Schumpeter (1942) dalam buku Capitalism, Socialism and Democracy (1942), menulis bahwa kapitalisme selalu berkembang dan tidak mengalami keruntuhan karena kapitalisme berhasil melakukan inovasi melalui proses “destruksi kreatif” (creative destruction) yang dilakukan terus-menerus. Destruksi kreatif merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan bahwa sebuah proses inovasi di mana inovasi-inovasi lama akan tergantikan oleh inovasi-inovasi baru.
Merujuk pada pernyataan Schumpeter tersebut, kita dapat melihat bagaimana dunia berkembang dan terus berubah akibat dari inovasi. Perubahan era 1.0, 2.0, sampai 5.0 yang terjadi saat ini adalah hasil inovasi bidang information technology.
Berkembangnya internet of thing, artificial intelligence, robotic, big data, blockchain, sampai pada metaverse adalah bukti nyata bahwa inovasi adalah kunci perubahan. Di bidang kewirausahaan juga sama, inovasi memegang peran strategis dalam pengambangan kewirausahaan.
Schumpeter (1934 dan 1942) menyampaikan bahwa peran wirausaha adalah sebagai inovator yang dapat mengimplementasikan perubahan dalam perekonomian melalui barang baru atau metode produksi baru.
Peran kewirausahaan terhadap pertumbuhan ekonomi
Penggagas teori kewirausahaan, Joseph Schumpeter, pada tahun 1934 dalam the Theory of Economic Development mengatakan bahwa kewirausahaan merupakan salah satu roda penggerak pembangunan ekonomi.
Hal itu menunjukkan bahwa kewirausahaan memiliki peran strategis dalam pembangunan ekonomi suatu bangsa. Peran utama kewirausahaan secara makro adalah ikut meningkatkan gross domestic product (GDP) suatu negara sehingga terjadilah pertumbuhan ekonomi.
Peningkatan GDP merupakan akumulasi dari berbagai variabel sebagai dampak dari meningkatnya aktivitas kewirausahaan. Variabel tersebut, antara lain, peningkatan produktivitas baik di sektor barang atau jasa sebagai akibat dari munculnya inovasi. Kedua, pengurangan tingkat pengangguran akibat munculnya usaha-usaha baru yang membutuhkan pasokan tenaga kerja.
Variabel ketiga adalah meningkatnya sektor input produksi karena kebutuhan akan pasokan bahan baku baik di subsistem hulu (up stream) maupun on farm. Sedangkan, variabel keempat meningkatkan pendapatan pemerintah melalui sektor pajak.
Dengan tumbuhnya usaha-usaha baru, maka ada potensi peningkatan pajak, antara lain PPN dan pajak perusahaan. Selanjutnya yang kelima adalah meningkatnya pendapatan masyarakat sebagai imbalan akan pekerjaan yang dilakukan di sektor wirausaha.
Peningkatan pendapatan ini akan berakibat pada munculnya berbagai aktivitas ekonomi yang dilakukan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Aktivitas yang muncul misalnya dari dorongan kebutuhan akan pangan, perumahan, pendidikan, dan wisata. Hal inilah yang mendorong terjadinya perputaran ekonomi sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Tantangan pengembangan kewirausahaan
Untuk membangun ekosistem kewirausahaan yang baik tidaklah mudah, tapi bukan berarti tidak bisa. Kewirausahaan dapat berkembang jika tantangan-tantangan yang menghambat dapat diatasi.
Pengembangan kewirausahaan di Indonesia tentu berbeda dengan di negara lain. Indonesia memiliki corak dan budaya sendiri yang dapat menjadi pendorong ataupun penghambat pengembangan ekosistem kewirausahaan.
Tantangan pengembangan kewirausahaan di Indonesia ialah, antara lain, budaya malas dan kinerja rendah orang Indonesia. Budaya malas ini adalah warisan yang menghantui masyarakat akibat penjajahan masa lalu dan juga ketergantungan akan alam. Persoalan ini dapat diubah jika mindset dan paradigma masyarakat diubah.
Kedua, dibutuhkan dukungan kebijakan pemerintah yang holistik. Walaupun sudah terbit Peraturan Presiden No 2 Tahun 2022 tentang Pengembangan Kewirausahaan, implementasi kebijakan tersebut masih terfragmentasi pada bidang yang terkait saja, misalnya hanya di tataran Kementerian Koperasi dan UKM.
Padahal, jika berbicara kewirausahaan, diperlukan sinergi dan kolaborasi dari semua pihak karena membangun ekosistem kewirausahaan sangatlah kompleks. Selain itu, diperlukan konektivitas pusat dan daerah dalam implementasi program terkait kewirausahaan.
Ketiga, infrastruktur kewirausahaan relatif masih rendah. Dalam implementasi pengembangan ekosistem kewirausahaan, diperlukan sarana dan prasarana yang memadai.
Meningkatnya jumlah wirausaha di berbagai sektor ekonomi akan berpotensi meningkatkan perputaran dan aktivitas perekonomian
Pusat-pusat pelatihan, sarana digital dan nondigital harus tersedia dan mudah diakses oleh semua kalangan masyarakat. Untuk itu, perlu dukungan semua pihak khususnya pemerintah baik pusat maupun daerah untuk merancang program-program yang mendukung ekosistem kewirausahaan baik yang bersifat fisik maupun nonfisik.
Terciptanya ekosistem kewirausahaan yang baik sangat dibutuhkan untuk menghasilkan wirausaha-wirausaha baru. Meningkatnya jumlah wirausaha di berbagai sektor ekonomi akan berpotensi meningkatkan perputaran dan aktivitas perekonomian yang pada akhirnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Oleh karena itu, diperlukan sinergi, kolaborasi, dan fasilitasi dari berbagai pihak untuk mewujudkan ekosistem kewirausahaan yang dapat memberikan ruang bagi semua pihak yang ingin menjadi seorang wirausaha.