rice-field-jpn-fauzi - copy

Tadi malam ketika saya membaca salah satu judul berita di detik.com ada yang menggelitik saya untuk menulis. Salah satu judul berita itu..”RI bisa belajar dari Swiss, negara kaya yang pemerintahnya pro pertanian”. Tidak ada yang salah dengan statemen di atas! Kita bisa belajar dari negara maju manapun yang semuanya tidak pernah meninggalkan masalah pertanian dan masalah pangan. Apakah itu Swiss, Beanda, Spanyol, Norwegia, Itali, Denmark, Kanada,atau bahkan Islandia…dan masih banyak lagi. Seberapa majupun suatu negara, satu hal yang tidak akan dikompromikan adalah masalah pangan. Kalau

negara tersebut kaya namun lahannya tidak subur maka ia akan membeli dari manapun. Bahkan kalau bisa sekuat tenaga untuk bisa memproduksinya sendiri (salah satu peternakan sapi perah terbesar di dunia, justru ada di Arab Saudi misalnya). Penelitian dan inovasi juga akan dikerahkan sekuat tenaga untuk mendukung kebijakan tersebut. Baru-baru ini bahkan IRRI merilis benih padi yang tahan banjir yang sisebut “sub 1”, dimana benih tersebut akan “sembunyi” di tanah pada saat banjir, dan ketika air sudah surut maka benih tersebut akan tumbuh. Masalah pangan dan pertanian akan terus mendera setiap negara karena rakyat yang lapar akan berimbas pada semua aspek kehidupan. Bahkan The Economist pernah menulis “if there are problems with rice, there are problems with everything”. Soal beras saja misanya yang menjadi bahan pokok makanan penduduk Asia dan juga sudah menjadi konsumsi masyarakat global, kini semakin mengkhawatirkan. Padalah setiap tahun permintaan terhadap beras meningkat antara 1.2 sampai 1.5%. Konsumsi global konon akan mencapai 500 juta ton pada tahun 2020 dan 555 juta ton pada tahun 2035.

Pendekatan masalah pangan dan pertanian bukan sekedar masalah rekayasa teknis, pasar atau kebijakan semata. Namun jauh lebih mendasar adalah masalah mindset dan juga masalah budaya. Ingat bahwa pertanian berasal dari kata Agriculture. Agri dan culture. Mungkin anda bertanya mengapa saya menulis kata Toyota dan Honda pada tulisan ini. Mobil-mobil yang kita, anda dan semua orang pakai mungkin akan berkisar pada dua merek itu..entah itu avanza, vios, kijang atau sampai ke Camry..atau barangkali merek-merek Honda dengan berbagai variasinya. Lalu apa hubungannya dengan pangan?. Toyota didirikan pada tahun 1937 oleh Kiichiro Toyoda. Namun bukan merek Toyoda yang digunakan melainkan “Toyota”. Logo awal Toyota berbentuk huruf kanji dengan 8 goresan (stroke) yang dipercaya mengandung keberuntungan, namun Toyota juga sebenarnya mengandung makna “lahan padi yang subur” atau “sawah yang subur”. Demikian juga dengan Honda, meski didirikan oleh Soichiro Honda sehingga namanya digunakan, namun Honda juga bermakna pangan yakni “ladang padi yang utama”. Nah anda bayangkan betapa dalamnya filosifi Jepang terhadap pangan, bahkan untuk membuat merek industri yang mendunianya pun berakar pada masalah pangan. Pola pikir seperti ini yang kemudian membudaya dalam mindset masyarakat dan pengambil kebijakan di Jepang. Saya pernah menyaksikan pemandangan yang unik ketika saya naik bus dari Fujiyoshida (kota di kaki guning Fuji) menuju Tokyo. Di setiap kompleks perumahan selalu ada sawah yang dijaga dan tidak boleh dikonversi menjadi bangunan (foto di atas saya ambil dari atas bus). Ketika saya tanyakan ini kepada teman saya yang dari Jepang, rupanya hal tersebut menjadi aturan yang harus ditaati oleh semua pemilik lahan. Filosofi “Toyota” dan “honda” benar-benar harus di jaga. Mindset yang sudah membudaya pada seluruh masyarakat menyebabkan kebijakanpun mudah dilaksanakan.

Mindset yang sama kita bisa temukan pada masyarakat China. China saat ini menjadi negara penghasil beras terbesar di dunia dengan kontribusi 26% terhadap produksi global. Kebudayaan China terhadap beras sudah berlangsung lebih dari 2500 tahun dan sudah mengakar dalam masyarakat. Bahkan ucapan tahun baru China salah satunya adalah “ Semoga padi anda tidak terbakar” selain “Nian Nian you yu” (semoga ikan atau kemakmuran menyertai anda,. “yu” dalam bahasa China artinya ikan dan juga kemakmuran). Hal ini kembali menunjukkan respect terhadap pangan dan pertanian sehingga akan tercermin dalam budaya, mindset dan akhirnya diturunkan dalam bentuk kebijakan pangan. Respect adalah kata kunci karena tanpa ini, kebijakan terhadap pangan hanyalah sebatas lip service semata.

Respect inilah yang tidak kita miliki pada pangan dan pertanian kita. Produk-produk pangan kita sering menjadi cemoohan, bahkan oleh pengambil kebijakan di republik ini sekalipun. Coba simak kalimat berikut ini “ koruptor kelas kakap” penjahat kelas teri”, “otak udang”, licin bagai belut”, “adu domba”, “kambing hitam”, “bangsa tempe”, “bangsa singkong”, dan seterusnya yang menunjukkan konotasi negatif terhadap pangan. Ketika anak negeri kitapun mampu membuat mobil, bukan produk pangan atau pertanian yang dipilih sebagai merek, melainkan “esemka” (nama sekolah)…mungkin boleh juga kita beri nama mobil itu “Pagora” (padi gogo rancah) supaya berbau Itali, atau “Tasaka” (tanah sawah kita) supaya berbau Jepang, atau barangkali kita beri nama “Caldera” (Cinta lahan demi rakyat) supaya kedengeran “cool”, namun semunya memberikan respek terhadap pertanian dan pangan.

Jadi kembali ke masalah di atas, silahkan belajar pertanian kemanapun, namun yang lebih penting adalah kita harus mengembalikan rasa memiliki kita, budaya kita, mind set kita, keberpihakan kita. Tanpa itu belajar kemanapun tidak akan berarti selama “toyota-toyota” (lahan-lahan subur) kita dan “honda-honda” (lahan padi utama) kita tetap dikonversi , tetap tidak menjadi perhatian, tetap tidak berada dalam mind set para pengambil kebijakan. Mari kita bangun toyota-toyota dan honda-honda yang lain dan kita bangun respect kepada produk pangan dan pertanian kita. Dengan demikian Indonesia akan berdaulat terhadap pangan dan pertanian. Tidak harus belajar sampai ke swiss..apalagi kalau cuma mau beli keju swiss atau sekedar studi banding…banding-banding harga jam swiss!

Oleh: Prof. Ahmad Fauzi, Dosen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan FEM-IPB

sumber: http://afauzi.wordpress.com/2014/05/18/