Oleh Prof Bambang Djuanda (Dosen Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB)

Dalam Inpres 4/2022, Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P2KE) di seluruh wilayah Republik Indonesia pada tahun 2O24 menjadi nol persen, lebih awal dari target SDGs pada Tahun 2030. Pelaksanaan Inpres ini dikoordinasikan oleh Wakil Presiden selaku Ketua Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). 

Dalam Republika 6 Juli 2023, penulis menyampaikan bahwa kita perlu: (1) upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dalam bentuk kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara; dan (2) satu data kemiskinan yang solid dan terintegrasi, sesuai amanah Perpres 39/2019 tentang Satu Data Indonesia (SDI).  

Disalokasi Bantuan (exclusion & inclusion errors)

Jika sumber datanya beragam dari BPS, Kemensos, dan TNP2K (Kemenko PMK) akan berimplikasi terhadap ketidaktepatan sasaran berbagai bantuan, misalnya penerima bantuan sementara tunai (BST) merupakan warga mampu jika dugaan jumlah orang miskinnya terlalu banyak (overestimate), dan warga miskin tidak menerima BST jika dugaan jumlah orang miskinnya terlalu sedikit (underestimate).  Jika kebijakan satu data kemiskinan yang merupakan syarat perlu ini tidak dilakukan, penghapusan kemiskinan ekstrem pada 2024 akan terhambat.

BPS telah mulai melakukan upaya agar konsisten dengan kebijakan SDI melalui pendataan Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) pada tanggal 15 Oktober-14Nov 2022 dan ditargetkan tahun 2023 ini selesai. Ini semacam social registry yang biasa dipraktekkan di negara maju untuk membangun data kependudukan tunggal, atau satu data supaya pemerintah dapat melaksanakan berbagai programnya secara terintegrasi, tidak tumpang tindih, dan lebih efisien. Data Regsosek mencakup informasi kondisi sosial ekonomi, termasuk status kesejahteraan, yang meliputi kondisi sanitasi, perumahan, dan kerentanan kelompok penduduk khusus, serta kepemilikan asset juga.  

Bulan Mei 2023 lalu BPS mengadakan Forum Konsultasi Publik (FKP) dengan pejabat desa atau kelurahan dengan ketua RT-RW untuk memverifikasi hasil Regsosek 2022.  Jika ketua RT tidak hadir dianggap setuju hasil Regsosek BPS. Ada Ketua RT yang hadir memberi informasi kepada penulis bahwa beberapa keluarga di RT nya diklarifikasi sehingga hasil olahan BPS terutama terkait status kesejahteraan warganya dirubah berdasarkan informasinya.  Ketua RT tersebut juga meminta sebaiknya BPS melibatkan ketua RT dalam pendataan Regsosek supaya efisien dan efektif. Finalisasi FKP adalah diperoleh data mikro by Name, by Address hasil Regsosek 2022 seperti data yang dikeluarkan TNP2K tentang warga yang miskin.

Semua rumah tangga didaftar tahun 2022 lalu, kemudian dengan metode tertentu, diperingkatkan mulai dari yang termiskin hingga yang terkaya, melalui verifikasi pada Mei 2023 yang melibatkan pengurus RT, RW, Lurah/Kades, dan tokoh masyarakat. Metode seperti ini kemungkinan terjadi kesalahan identifikasi, yaitu “warga mampu” diidentifikasi sebagai “warga miskin” sehingga menerima BST dan “warga miskin” diidentifikasi sebagai “warga mampu” sehingga tidak menerima BST.  Kesalahan eksklusif dan kesalahan inklusif (exclusion & inclusion errors) masih agak besar, yaitu sekitar 20-30 persen menurut kolega dari forum masyarakat statistik (FMS). 

Kesalahan identifikasi ini memang tidak dapat dihilangkan apalagi publikasi klasifikasinya tahunan, karena kemiskinan memang dinamis. Tahun sekarang diklasifikasi miskin, tahun depan dapat diklasifikasikan tidak miskin lagi.  Begitu juga dapat sebaliknya, Tahun sekarang diklasifikasi mampu, tahun depan dapat diklasifikasikan menjadi miskin. Belum lagi tim penilai di desa/kelurahan, termasuk para Kades khawatir dapat menjadi sasaran kemarahan warga yang tidak mendapat BST akibat data yang tidak akurat dan tidak jelas.  Jadi, kesimpangsiuran data kemiskinan ini rawan memicu konflik antara warga desa dan pemerintah desa atau kelurahan.

Terlebih lagi Ketika terjadi kondisi luar biasa, misalnya akibat kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) waktu kondisi pandemi 2000-2021 yang menyebabkan seseorang rentan menjadi miskin dalam waktu satu sampai empat minggu.  Karena dinamika kemiskinan yang cukup cepat ini, pemutakhiran data kemiskinan harus dilakukan tiap bulan menurut peraturan Menteri Sosial (Permensos) 3/2021.  Sedangkan pemutakhirkan data kemiskinan oleh BPS tiap tahun dan oleh Kemenko PMK tiap semester.

Tantangan Satu Data

Meskipun kebijakan SDI ini sudah empat tahun berjalan, banyak tantangannya karena tidak mudah Bappenas mengkordinasi dari berbagai sumber data kemiskinan ini karena masing-masing Kementerian atau Lembaga (K/L) merasa pengumpulan data yang biasa dilakukannya sudah merupakan tugas pokok dan fungsinya (tupoksi).  Jika kita melakukan triangulasi atau usaha mengecek kebenaran data dari beberapa sumber tersebut juga tidak mudah dan bahkan cenderung sia-sia saja.

Sebagaimana penulis sampaikan (Republika 6 Juli 2023), dengan perbedaan yang sangat besar terkait data kemiskinan 2022 di Kabupaten Bogor antara P3KE dengan BPS sebanyak 1.034.040 orang, pemda melakukan pemadanan menjadi 832.104 orang miskin berdasarkan Data DTKS yang masuk P3KE sebagai target sasaran penerima intervensi penanggulangan kemiskinan.  Mahasiswa bimbingan penulis juga melaporkan perbedaan yang serupa sangat besar di daerah penelitiannya di Bekasi. Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bekasi tahun 2022 sebanyak 236.212 orang (BPS), 1.035.402 orang (DTKS), dan 1.317.098 orang (P3KE).  Perbedaan data kemiskinan yang sangat besar antara P3KE dengan BPS sebanyak 1.035.166 orang ini, mengharuskan pemda melakukan pemadanan, untuk memperoleh data kemiskinan yang akurat sebagai target sasaran penerima intervensi penanggulangan kemiskinan.

Untuk memadankan data kemiskinan dari BPS, Kemensos, dan TNP2K (Kemenko PMK) ini perlu dilihat setidaknya dari perbedaan definisi, cara mengumpulkannya, dan periodisitas data kemiskinan tersebut dipublikasikan secara rutin atau pemutakhiran data yang dilakukan oleh masing-masing K/L tersebut.  Pemadanan data kemiskinan dengan pendekatan ini sulit dilakukan dan cenderung tidak akan berhasil memperoleh data kemiskinan yang akurat.  Perlu keseriusan untuk mengembangkan satu data kemiskinan sesuai amanah Perpres 39/2019 tentang SDI.  

Pengembangan Satu Data

Penulis pernah menyampaikan kepada panitia seleksi Kepala BPS tahun 2021 bahwa data kemiskinan yang akurat harus mulai dari wilayah paling kecil yang tatakelolanya sudah ada dan jelas yaitu di tingkat desa/kelurahan. Hal ini juga dilakukan karena setiap pemberian bantuan oleh Pemerintah (Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota) dan BUMN atau swasta, wajib melaporkan ke database “Bantuan Sosial” di masing-masing desa/kelurahan, yang teridentifikasi menurut Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Kartu Keluarga (KK). 

NIK terdiri atas 16 digit, merupakan kode wilayah Provinsi, Kabupaten/Kota dan Kecamatan tempat tinggal pada saat mendaftar, tanggal, bulan dan tahun kelahiran serta nomor urut penerbitan NIK yang sekarang sudah diproses secara otomatis (online).  NIK berlaku seumur hidup dan selamanya  tidak berubah dan tidak mengikuti perubahan domisili. NIK diterbitkan setelah dilakukan pencatatan biodata penduduk sebagai dasar penerbitan KK, KTP dan Akta-akta Catatan Sipil pada Dinas Dukcapil setempat.

Jadi pemantauan penduduk apakah golongan mampu atau miskin, dilakukan rutin tiap waktu seperti yang biasa dipraktekkan di negara maju untuk membangun data kependudukan tunggal, atau satu data supaya pemerintah dapat melaksanakan berbagai programnya secara terintegrasi, dan lebih efisien. Database di tingkat desa/kelurahan ini dapat mencakup informasi kondisi sosial ekonomi, termasuk status kesejahteraan, yang meliputi kondisi sanitasi, perumahan, dan kerentanan kelompok penduduk khusus, serta kepemilikan asset juga seperti dicakup dalam Regsosek BPS.  Database ini dapat juga disebut dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) seperti terminologi yang digunakan di Kemensos.

Pengelolaan DTKS dilakukan melalui 4 tahapan, yaitu proses usulan, penjaminan kualitas, penetapan dan penggunaan. Usulan dapat melalui pendaftaran mandiri dengan menggunakan Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial secara online.  Jika terjadi ketidaksesuaian data usulan, penjaminan kualitas oleh lembaga independen (seperti Perguruan Tinggi) yang ditetapkan Menteri Sosial, sehingga konflik antara warga dengan pemerintah desa atau kelurahan dapat dihindari karena transparan menggunakan definisi kemiskinan yang standar dan sudah digunakan secara nasional maupun internasional seperti yang penulis sampaikan di Republika 6 Juli 2023.  Dalam pelaksanaannya dapat melibatkan ketua RT/RW atau penduduk local yang sudah terlatih.Pendekatan atau mekanisme social registry yang terkordinasi ini akan berfungsi secara berkelanjutan jika ada mekanisme insentif dalam pengelolaan database tersebut.  Insentif dalam pemutakhiran data kemiskinan ini, dapat diatur melalui pengalokasian minimal 10% DAU dan DBH, atau minimal 10% dari Bagi Hasil PAD ke desa/kelurahan, dikaitkan dengan kinerja pemutakhiran data kemiskinannya di tiap desa/kelurahan yang dikordinasi dan ditetapkan oleh pemda kabupaten/kota.  Begitu juga mekanisme bantuan keuangan dari provinsi ke desa/kelurahan dapat dikaitkan dengan kinerja pemutakhiran data kemiskinan atau social registry.

Related Posts