Oleh Marhamah Muthohharoh (Dosen Departemen Ilmu Ekonomi Syariah FEM IPB)

Indonesia digadang-gadang akan meraup bonus demografi dan menikmati masa keemasan pada tahun 2020-2045. Bonus demografi tersebut berasal dari jumlah penduduk Indonesia yang berusia produktif (15-64 tahun) lebih besar daripada penduduk yang berusia tidak produktif (usia di bawah 14 tahun dan di atas 65 tahun). Proporsinya diperkirakan 70% berbanding 30%. Pemerintah Indonesia harus dapat menangkap kesempatan strategis tersebut untuk melakukan berbagai percepatan pembangunan karena jumlah penduduk produktif yang besar merupakan sumber tenaga kerja, pelaku usaha, dan konsumen yang potensial. Untuk menyiapkan generasi emas 2045, Pemerintah telah menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, atau dikenal dengan visi Indonesia Emas. Salah satu yang menjadi fokus strategi dan kebijakan adalah menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang produktif dan berkualitas.

Melewati masa keemasan 2045, tentunya Indonesia akan dihadapkan pada kondisi yang berkebalikan. Bukan tidak mungkin, Indonesia bahkan akan mengalami kondisi yang dialami banyak negara maju saat ini. Aging society atau aging population, kondisi di mana jumlah penduduk berusia lanjut lebih besar dari jumlah penduduk berusia produktif. Kondisi ini tentu dapat menjadi beban bagi perekonomian nasional ke depan apabila tidak diantisipasi dengan baik oleh para pemegang kebijakan. Penduduk berusia lanjut yang sudah tidak lagi produktif akan ditanggung bebannya oleh penduduk yang masih produktif, atau yang disebut dengan rasio ketergantungan (dependency ratio). Berdasarkan hasil proyeksi penduduk BPS tahun 2025-2035, rasio ketergantungan Indonesia pada tahun 2035 diperkirakan mencapai 47,3. Artinya, setiap 100 orang penduduk usia produktif harus menanggung beban ekonomi 47,3 orang penduduk berusia lanjut. Bukan tidak mungkin, angka tersebut tembus 50 pada tahun 2045.

Salah satu langkah antisipasi untuk mengurangi beban demografi adalah dengan menggalakkan kampanye dana pensiun kepada generasi emas sehingga saat mencapai usia lansia, mereka tetap bisa melanjutkan hidup secara mandiri, baik dan sejahtera. Namun, pasar dana pensiun (dapen) di Indonesia masih dihadapkan pada permasalahan keikutsertaan peserta yang masih rendah. Hingga Juli 2023, jumlah peserta dana pensiun yang tercatat dalam program pensiun, baik konvensional maupun syariah sebesar 4,04 juta orang, di mana 1,26 juta di antaranya tergabung dalam dana pensiun pemberi kerja (DPPK) dan 2,78 juta lainnya tergabung dalam dana pensiun lembaga keuangan (DPLK) (Statistik Dana Pensiun OJK, 2023). Angka tersebut tentunya sangat jauh jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang bekerja sebesar 138,6 juta per Februari 2023 (BPS, 2023). 

Rendahnya literasi dan inklusi keuangan masyarakat berkontribusi pada rendahnya tingkat penetrasi dana pensiun di Indonesia. Tidak sedikit masyarakat yang memiliki persepsi bahwa dana pensiun hanya dapat dimiliki oleh mereka yang bekerja formal, atau mereka yang bekerja di lembaga pemerintah. Berdasarkan Survei Literasi dan Inklusi Keuangan OJK tahun 2022, tingkat literasi masyarakat Indonesia terkait dana pensiun mencapai 30,46%. Artinya, terdapat sekitar 30 dari setiap 100 penduduk Indonesia yang memiliki literasi yang baik mengenai produk dan jasa dana pensiun. Angka ini meningkat pesat dari 14,13% pada tahun 2019, dan lebih tinggi dari angka literasi terkait pasar modal. Sayangnya, dari sisi inklusi, masyarakat Indonesia yang sudah memiliki akses dan menggunakan produk dan jasa dana pensiun baru sekitar 5 dari 100 penduduk Indonesia (5,42%). Angka tersebut menurun dari 6,18% pada survei tahun 2019. Tingkat literasi dan inklusi masyarakat Indonesia bahkan lebih rendah lagi mengenai dana pensiun syariah.

Dana pensiun di Indonesia

Menurut Pasal 1 UU No.11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun, dana pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun. Manfaat pensiun sendiri didefinisikan sebagai pembayaran berkala yang dibayarkan kepada peserta pada saat dan dengan cara yang ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun (PSAK No. 24).

Di Indonesia, berlaku 2 (dua) program pensiun: wajib/mandatory dan sukarela/voluntary. Program pensiun wajib ditetapkan oleh Pemerintah dan wajib diikuti oleh kelompok masyarakat tertentu. Program ini dikelola oleh beberapa entitas Pemerintah, seperti Badan Pengelola Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS-TK), PT ASABRI, dan PT TASPEN (Persero). Pada program pensiun sukarela, terdapat dua jenis pengelolaan: dana pensiun pemberi kerja (DPPK) dan dana pensiun lembaga keuangan (DPLK). DPPK adalah dana pensiun yang didirikan oleh pemberi kerja untuk memberikan manfaat pensiun bagi pekerjanya. DPLK adalah dana pensiun yang dibentuk oleh bank atau perusahaan asuransi untuk menyelenggarakan program pensiun iuran tetap bagi perorangan, baik yang bekerja namun terpisah dari DPPK, maupun yang bekerja sendiri. DPLK terbuka untuk peserta yang lebih luas, termasuk individu yang terkait dengan bank atau perusahaan asuransi.

Sejak berlakunya UU No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK), guna mendorong peningkatan efisiensi dana pensiun, DPPK diperbolehkan untuk menyelenggarakan satu atau dua program sekaligus, yaitu program pensiun manfaat pasti (PPMP/defined benefit) dan program pensiun iuran pasti (PPIP/defined contribution). Menurut OJK (2017), PPMP merupakan program paternalistik di mana pemberi kerja menanggung sebagian besar risiko, termasuk risiko investasi. Besaran manfaat pasti ditentukan berdasarkan formula dengan mempertimbangkan masa kerja karyawan dan gaji terakhirnya. Sedangkan PPIP merupakan program yang seluruh risiko investasinya ditanggung oleh pegawai. Iuran tersebut, beserta imbalannya, dicatat dalam rekening individu untuk manfaat pensiun. Kewajiban perusahaan hanya sebatas membayar iuran dan tidak menjamin penggantian kerugian. Baik DPPK maupun DPLK bisa melaksanakan program ini.

Dana pensiun syariah: peluang dan tantangan

Penerapan dua sistem keuangan, yakni konvensional dan syariah, turut mendorong perkembangan dana pensiun syariah di Indonesia. Perkembangan dana pensiun syariah diawali oleh DSN MUI yang mengeluarkan Fatwa No.88/DSN-MUI/XI/2013 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Program Pensiun Berdasarkan Prinsip Syariah dan Fatwa No.99/DSN-MUI/XII/2015 terkait Anuitas Syariah bagi Program Pensiun (al-Ratib al-Taqa’udi al-Islami). Fatwa pertama memuat berbagai hal terkait akad yang digunakan antara peserta program pensiun dengan lembaga dana pensiun, lembaga dana pensiun dengan manajer investasi, dan lembaga dana pensiun dengan pihak ketiga dalam hal penyaluran dana kelolaan investasi dana pensiun. Sementara, fatwa kedua menjelaskan tentang produk anuitas syariah bagi program pensiun. Fatwa-fatwa tersebut kemudian didukung oleh Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 33/POJK.05/2016 tentang Penyelenggaraan Program Pensiun Berdasarkan Prinsip Syariah. 

Meski sudah didukung dari sisi kebijakan, namun dana pensiun syariah belum mengalami perkembangan yang signifikan. Terlebih apabila mengingat Indonesia memiliki jumlah penduduk muslim yang besar. Berdasarkan data OJK, jumlah peserta dana pensiun yang tercatat dalam program pensiun syariah pada Juli 2023 hanya mencapai 121,5 ribu peserta, menurun 7,62% dari 131,6 ribu peserta pada Juli 2022 (yoy). Angka tersebut juga hanya mencakup 3,01% dari total peserta dana pensiun di Indonesia secara keseluruhan. Penurunan jumlah peserta tersebut didorong oleh penurunan jumlah peserta DPPK PPIP dan DPLK.

Menariknya, jumlah peserta DPPK PPMP justru tumbuh signifikan sebesar 36,55% (yoy) menjadi 13,03 ribu peserta pada Juli 2023. Tidak hanya itu, jumlah dana pensiun syariah juga bertambah menjadi 5 unit, 3 unit di antaranya merupakan DPPK PPMP, 1 unit DPPK PPIP dan 1 unit DPLK. Aset dana pensiun syariah juga meningkat pesat dalam setahun terakhir dari Rp2,18 triliun pada Juli 2022 menjadi Rp3,23 triliun pada Juli 2023, atau tumbuh sebesar 48,07% (yoy). Angka pertumbuhan tersebut lebih tinggi dari pertumbuhan aset dana pensiun konvensional sebesar 6,85% (yoy) pada periode yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa pasar dana pensiun syariah di Indonesia memiliki potensi yang masih sangat luas untuk dapat berkembang.

Selain dihadapkan pada literasi dan inklusi keuangan syariah yang masih rendah, tantangan lain dana pensiun syariah adalah terbatasnya ketersediaan produk-produk investasi keuangan syariah sehingga membatasi pilihan dalam mengelola dan mengembangkan dana pensiun peserta. Dana pensiun syariah juga harus bersaing dengan instrumen keuangan lain yang lebih kompetitif. Guna mendukung pengembangan dana pensiun syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya, diperlukan diversifikasi dan pendalaman pasar keuangan syariah. Hal ini akan memungkinkan penempatan dana yang lebih baik dan mendorong pertumbuhan dana pensiun syariah secara keseluruhan. Selain itu, dana pensiun syariah juga harus mampu mengembangkan teknologi yang dapat memfasilitasi masyarakat mengakses dana pensiun secara lebih mudah.

Beyond Indonesia Emas 2045

Total aset dana pensiun masih sangat rendah, terutama jika dibandingkan dengan nilai GDP Indonesia. Berdasarkan preliminary report ‘Pension Market in Focus’ OECD, total aset dalam pensiun beragun aset (asset-backed pension) untuk semua program pensiun yang tersedia di Indonesia hanya sebesar 1,7% dari total GDP pada akhir tahun 2022. Lebih rendah dari India sebesar 3,1%, ataupun dengan Meksiko sebesar 18,4%. Visi Indonesia Emas 2045 tidak cukup hanya sampai menyiapkan SDM yang produktif dan berkualitas untuk meraup bonus demografi, tapi harus lebih jauh menyiapkan SDM Indonesia menghadapi beban demografi setelahnya. 

Salah satu tantangan utama dalam pengembangan dana pensiun, baik konvensional maupun syariah, adalah rendahnya pemahaman masyarakat akan pentingnya tabungan hari tua. Oleh karena itu, literasi dan edukasi terkait manfaat dana pensiun sangat penting dilakukan. Menargetkan informasi tentang dana pensiun kepada anggota rumah tangga yang lebih muda juga bisa menjadi strategi pemasaran yang efektif karena masih banyak masyarakat Indonesia yang bergantung pada anak-anak mereka untuk mendapatkan dukungan keuangan di hari tua. Edukasi dini melalui perguruan tinggi juga dapat dilakukan karena lembaga-lembaga ini berfungsi sebagai pintu gerbang ke dunia kerja. Institusi pendidikan dapat memasukkan literasi keuangan ke dalam kurikulum, mengajarkan tentang konsep-konsep, seperti pengelolaan pendapatan dan pengeluaran, investasi, dan perencanaan pensiun.

Selain itu, sangat penting untuk memahami motif permintaan tabungan oleh generasi emas. Hal ini dapat membantu meningkatkan inovasi produk dana pensiun untuk memenuhi kebutuhan mereka saat lanjut usia. Memperkenalkan berbagai skema kepesertaan an besaran iuran program dana pensiun yang lebih fleksibel sesuai dengan kemauan dan kemampuan membayar yang berbeda-beda juga dapat dipertimbangkan agar dapat menjangkau pasar yang lebih luas.

Artikel ini di muat pada https://www.republika.id/posts/45938/beyond-indonesia-emas-2045

Related Posts