Oleh Prof. Dr. Amzul Rifin, Staf Pengajar Departemen Agribisnis FEM IPB
Produk perkebunan merupakan salah satu andalan ekspor non migas Indonesia seperti minyak sawit, karet, coklat, lada, kopi dan produk lainnya. Namun sayangnya, produk yang diekspor masih berbentuk produk mentah yang memiliki harga yang relatif rendah. Produk minyak sawit Indonesia masih didominasi oleh crude palm oil (CPO) dan turunannya dibandingkan dengan produk oleochemical, ekspor produk karet masih didominasi oleh produk SIR dan rubber sheet dibandingkan produk turunannya seperti ban atau produk karet lainnya, ekspor coklat masih didominasi oleh biji kakao dan turunannya dibandingkan dengan produk makanan berbahan baku coklat. Perbandingan harganya dapat berkali-kali lipat, bandingkan antara harga biji coklat dengan harga permen coklat yang sudah berkali-kali lipat harganya dan ironisnya nilai tambah terbesar didapati oleh produsen permen coklat, yang umumnya merupakan produsen luar negeri, dan bukan oleh petani coklat dari Indonesia khususnya.
Pemerintah bukannya tidak menyadari akan hal ini, sudah banyak kebijakan yang diambil dari yang ekstrim seperti melarang (sementara) ekspor produk mentah perkebunan hingga menerapkan kebijakan insentif untuk pengolahan di dalam negeri. Namun kebijakan ini ada yang berhasil atau ada yang kurang berhasil. Sebagai contoh, kebijakan hilirisasi minyak sawit relative berhasil dengan berkembangnya industri hilir sawit dengan berubahnya ekspor produk minyak sawit Indonesia dari awalnya didominasi oleh crude palm oil (CPO) namun sekarang didominasi oleh produk-produk yang lebih hilir seperti minyak goreng dan produk turunan lainnya walaupun masih banyak produk turunan lainnya yang memiliki nilai tambah yang lebih besar seperti oleochemical. Kebijakan di sektor minyak sawit antara lain adalah kebijakan bea keluar bagi sebagian besar produk minyak sawit dan insentif kebijakan bagi industri pengolahan. Kebijakan bea keluar ini sudah diterapkan sejak tahun 1990-an dengan menerapkan nilai bea keluar yang tinggi untuk produk yang menjadi bahan baku untuk produk lainnya seperti CPO. Harapannya adalah dengan adanya bea keluar, maka produk mentahnya akan diolah di dalam negeri dan tidak diekspor.
Kebijakan bea keluar juga diterapkan pada biji kakao sejak April 2010. Kebijakan ini bertujuan untuk menghambat ekspor biji kakao sehingga dapat diolah di dalam negeri. Untuk tujuan tersebut, kebijakan ini dianggap berhasil dengan menurun secara drastisnya ekspor biji coklat dan meningkatnya ekspor olahan biji kakao seperti kakao butter, paste dan powder. Dengan kebijakan bea keluar biji coklat tersebut, maka terdapat beberapa investor baru yang masuk untuk membangun pabrik pengolahan biji coklat yang mengakibatkan meningkatnya produksi produk turunan coklat. Namun peningkatan ini tidak diiringi oleh peningkatan produksi biji coklat, sehingga untuk memenuhi bahan baku pabrik pengolahan biji coklat, diimporlah biji coklat tersebut dan nilainya pada tahun 2022 hampir menyamai produksi biji coklat dalam negeri.
Dari kedua kasus tersebut dapat diambil pelajaran bahwa kebijakan hilirisasi produk perkebunan tidak cukup hanya satu kebijakan di salah satu bagian, apakah di bagian hulu atau di bagian hilir. Kebijakan hilirisasi tersebut harus mendasarkan pada sistem agribisnis. Sistem agribisnis terdiri dari beberapa sub-sistem yaitu pengadaan input, usahatani, pengolahan, pemasaran dan penunjang. Kebijakan di salah satu sub-sistem akan memengaruhi subsistem lainnya. Pada kasus bea keluar, kebijakan di sub-sistem pemasaran akan memengaruhi permintaan industri pengolahan yang pada akhirnya akan meningkatkan permintaan bahan baku di sub-sistem usahatani. Hal ini yang terjadi di kasus biji coklat, kebijakan bea keluar biji coklat meningkatkan investasi di pengolahan biji coklat namun tidak ditunjang oleh kebijakan peningkatan produksi biji coklat malah sebaliknya, produksi biji coklat Indonesia mengalami penurunan yang disebabkan oleh semakin berumurnya tanaman coklat serta kalah bersaingnya dengan tanaman lainnya seperti kelapa sawit. Kebijakan di sub-sistem hilir harus ditunjang oleh kebijakan di sub-sistem hulu dan sebaliknya.
Koordinasi kebijakan antar sub-sistem ini diperparah oleh perbedaan pemangku kebijakan antar sub-sistem. Di sub-sistem usahatani yang menjadi pengambil keputusan adalah Kementerian Pertanian, di sub-sistem pengolahan yang menjadi pemangku kebijakan adalah Kementerian Perindustrian sedangkan di sub-sistem pemasaran yang menjadi pengambil keputusan adalah Kementerian Perdagangan. Seringkali sebuah kebijakan akan didukung oleh satu pihak namun akan ditentang oleh pihak lainnya. Misalnya untuk kasus bea keluar, kebijakan ini akan menguntungkan para pengolah karena akan menurunkan harga bahan baku namun akan merugikan produsen karena penurunan harga bahan baku tersebut di tingkat petani.
Belajar dari dua kasus tersebut, dalam mengambil keputusan untuk melakukan kebijakan hilirisasi harus dilakukan dengan stakeholder lainnya atau di sub-sistem lainnya. Kebijakan hilirisasi harus melibatkan dari aspek pengadaan input, produksi, pengolahan, pemasaran serta penunjang lainnya. Contohnya, apabila pemerintah ingin meningkatkan pengolahan karet domestic dengan memberikan insentif pada pengusaha, harus dibarengi dengan kebijakan peningkatan produksi karet di tingkat petani maupun kebijakan pemasaran produk karet baik untuk pasar dalam negeri maupun ekspor. Tanpa kebijakan di dua sub-sistem lainnya (usahatani dan pemasaran), kebijakan peningkatan pengolahan karet domestik akan sia-sia belaka. Dampaknya dapat berupa peningkatan impor bahan baku karet atau tidak terserapnya produk olahan karet baik di pasar domestik maupun internasional. Sebagai penutup, kebijakan hilirisasi ini harus memberikan keuntungan bagi semua pihak yang terlibat terutama petani. Selama ini petani merupakan pihak yang paling menderita apabila terjadi penurunan harga komoditi namun menjadi pihak yang paling sedikit diuntungkan dengan meningkatnya harga komoditi terutama di pasaran dunia. Harapannya dengan adanya koordinasi antar instansi dalam kebijakan hilirisasi, petani mendapatkan keuntungan dari kepastian harga yang diperolehnya. Semoga ke depannya petani Indonesia semakin sejahtera.
sumber: https://republika.id/posts/42291/kebijakan-hilirisasi-produk-perkebunan-dan-sistem-agribisnis