Oleh: Meilanie Buitenzorgy, Ph.D, Dosen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan IPB
Sebuah program beasiswa yang dirancang dengan baik seharusnya, dalam jangka panjang, mampu berkontribusi mengurangi kemiskinan dan ketimpangan.
Sayangnya, disinilah justru kekurangan dari program-program beasiswa sekolah ke luar negeri level S1 dari Kemdikbud. Beasiswa-beasiswa ini pada akhirnya bersifat elitis karena hanya dapat diakses oleh anak-anak dari keluarga elite.
Sebelum membahas lebih jauh kaitan antara beasiswa dan pengurangan kemiskinan, mari mencermati sebuah kasus.
Nayla Zhafira, siswi SMA Shafiyyatul Amaliyyah, viral di media sosial beberapa minggu lalu. Netizen berlomba membagikan meme dengan judul bombastis “Tak Lolos SNBP, Justru Dapatkan Beasiswa di 6 Kampus Top Luar Negeri”. Meme itu dilengkapi dengan foto diri Nayla sekitar separuh halaman, nama SMA-nya yang tercetak besar, dan daftar enam universitas top luar negeri (LN).
Masalahnnya, selain memuji Nayla, tak sedikit warganet yang berkomentar miring.
Bahwasanya Indonesia gagal menangkap bibit unggul.
Bahwasanya universitas-universitas di Indonesia tak becus melaksanakan tugas rekrutmen anak-anak terbaik bangsa.
Bahwasanya Nanyang Technological University (Singapura), Monash University (Australia), University of Western Australia, UNSW (Australia), Curtin University (Australia), Wageningen University and Research (Belanda) berlomba-lomba membiayai sekolah Nayla, anak yang justru disia-siakan Bangsa sendiri.
Inilah akibat dari narasi menyesatkan dari meme yang viral tersebut. Siapa pun pihak yang membuat meme tersebut, seharusnya malu. Mereka telah mempermalukan Negara sendiri.
Padahal, bukan keenam universitas top LN tersebut yang membiayai studi lanjut Nayla. Nayla justru mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Indonesia untuk melanjutkan kuliah di LN melalui Kemdikbud. Yaitu Beasiswa Indonesia Maju (BIM).
Tetapi toh, the damage has been done. Tak banyak warganet yang mau repot-repot menelusuri informasi yang lebih komprehensif tentang siapa pemberi beasiswa Nayla. Mereka hanya merujuk pada meme viral yang menyesatkan itu. Rujukan ngawur yang telah membuat sebagian warganet mencaci-maki Pemerintah dan otoritas Pendidikan Tinggi Indonesia.
Cerita yang sebenarnya adalah, Nayla memperoleh BIM. Dengan bekal “uang“ di tangan, ia pun melamar ke berbagai universitas top di LN. Ia sukses mendapatkan admission, surat penerimaan, dari enam universitas tersebut di atas.
Padahal, ada siswa lain di Solo yang dapat sepuluh admission sekaligus. Tapi tidak diviral-viralkan.
Saat ini, tidak perlu menjadi jenius seperti Habibie hanya untuk memperoleh belasan admission letter pendidikan tingkat Sarjana/Bachelor dari universitas top LN. Terutama universitas top di negara seperti Australia yang salah satu sumber devisa utamanya adalah dari para mahasiswa internasional level sarjana ini. Level inilah yang menjadi tambang emas universitas-universitas top LN.
Nyaris tidak ada beasiswa internasional level S1 di universitas-universitas top LN. Beasiswa internasional baru mereka berikan di level S3, dan sedikit di level S2.
Ya, inilah yang perlu diketahui oleh pengelola beasiswa di Indonesia. Bahwa para penerima BIM adalah tambang emas bagi universitas-universitas LN. Dengan lambaian “uang” BIM di form lamaran admission, universitas-universitas itu yang justru berlomba-lomba merekrut Nayla dan kawan-kawan.
Di Australia misalnya, sudah jadi rahasia umum di kalangan mahasiswa lokal. Bahwa saringan penerimaan mahasiswa internasional S1 jauh lebih ringan daripada rekrutmen mahasiswa S1 domestik. Hal ini sangat terasa saat mahasiswa domestik dan mahasiswa internasional berbaur dalam tugas-tugas kelompok dari dosen. Mahasiswa lokal sering mengeluhkan kemampuan akademik mahasiswa-mahasiswa internasional ini, sehingga sulit berkolaborasi untuk dapat mencapai nilai tugas kelompok yang optimal.
Kalau dipadankan dengan saringan masuk PTN di Indonesia, rekrutmen mahasiswa S1 internasional universitas top LN itu kira-kira seperti jalur Seleksi Mandiri.
Yang perlu juga diketahui oleh warganet, SMA Nayla yaitu SMA Shafiyyatul Amaliyyah, adalah Sekolah Internasional. Ya. Nayla datang dari sekolah mahal dan elite. Bukan sekolah wong cilik milik pemerintah.
Dengan bekal SMA Internasional, tentu Nayla sudah memiliki kemampuan bahasa Inggris yang mumpuni. Inilah kelebihan Nayla yang sulit disaingi oleh anak-anak Indonesia lainnya yang bisa jadi kemampuan akademiknya lebih baik dari Nayla.
Kalau melihat dari kacamata sebaliknya misalnya, BIM justru kurang sukses merekrut siswa yang prestasi sekolahnya lebih baik dari Nayla. Jika Nayla tidak lolos SNBP (Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi), berarti ada siswa lain yang prestasi akademiknya lebih baik dari Nayla tapi tak tertangkap BIM karena belum siap secara bahasa.
Dalam konteks ini, beasiswa-beasiswa LN level S1 yang disediakan oleh Pemerintah Indonesia, menjadi sangat elitis. Beasiswa ini sulit diakses oleh anak-anak dari keluarga menengah ke bawah karena mempersyaratkan skor bahasa Inggris.
Ada anak rekan saya memperoleh beasiswa IISMA. Ini adalah skema pembiayaan sekolah S1 selama satu semester di universitas top LN dari Kemdikbud. Rekan saya ini, suami istri dosen. Sang suami adalah pejabat di salah satu PTN top tanah air. Bersama sang anak yang memperoleh beasiswa IISMA tadi, dulunya mereka pernah bertahun-tahun tinggal di Eropa untuk studi S2-S3 hingga post-doctoral.
Rekan saya bercerita miris, yang dapat beasiswa IISMA ini adalah anak-anak elite. Anak duta besar, anak diplomat, anak pengusaha kaya, minimal anak dosen pejabat yang pernah ikut orang tuanya sekolah di LN. Mungkin ada juga terselip anak Jaksel.
Sulit membayangkan BIM dan IISMA dapat diakses oleh anak-anak miskin yang tumbuh besar di pinggir kali seperti Presiden Jokowi, misalnya.
Padahal, salah satu kunci pencapaian mobilitas sosial vertikal ke atas adalah pendidikan.
Pendidikan memberikan kesempatan bagi setiap orang untuk mencapai kedudukan maupun status ekonomi yang lebih tinggi. Semakin rendah status ekonomi seseorang, maka akan semakin jauh lompatan yang bisa dicapai melalui pendidikan. Ketika orang tersebut sukses, minimal keluarga intinya pun akan terangkat dari kemiskinan.
Bayangkan jika beasiswa BIM dan IISMA lebih banyak diberikan kepada anak-anak cerdas dari kelas menengah ke bawah. Secara kumulatif, efek jangka panjangnya dalam 20-30 tahun ke depan akan jauh lebih signifikan terhadap upaya-upaya pengurangan kemiskinan dan ketimpangan. Dengan biaya yang sama, Negara akan memperoleh benefit yang jauh lebih besar dibanding jika beasiswa ini hanya terdistribusi pada anak-anak elite. Anak-anak yang tanpa beasiswa Negara pun mungkin mampu bersekolah ke LN. Dengan beasiswa Ayah dan Bunda.
Yang perlu dilakukan oleh para pengelola beasiswa ini sebenarnya tidak terlalu sulit. Hanya tinggal mengalokasikan sebagian kecil dana untuk program persiapan bahasa Inggris gratis yang dapat diakses oleh siswa-siswa cerdas yang miskin. Sehingga mereka mampu bersaing secara lebih fair dengan anak-anak elite dalam memperebutkan BIM ataupun IISMA.
Untuk dik Nayla, kita tentu ucapkan selamat dan sukses. Semoga Nayla sukses menempuh pendidikan Bachelor in Chemical and Biomolecular Engineering di Nanyang Technological University. Hanya saja, jangan menjadi Malin Kundang yang mempermalukan Negara yang sudah menjadi penyandang dana sekolahmu ya Dik. Nayla harus menegur siapa pun pembuat meme menyesatkan itu. Karena walau bagaimana pun, wajah Nayla yang dipajang di meme tersebut. Nayla juga harus ikut bertanggung jawab atas kesalahpahaman publik terhadap Negara dan otoritas Pendidikan Tinggi Indonesia.
sumber: https://republika.id/posts/42557/kemiskinan-dan-beasiswa-elite-pemerintah