OLEH Fathya Dhiya Ulhaq (mahasiswa program magister ilmu ekonomi FEM IPB); Dr. Widyastutik, Dr. Deniey A Purwanto (Dosen Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB)
Pencapaian pembangunan berkelanjutan menjadi isu yang hangat di dunia internasional, termasuk negara-negara yang tergabung dalam G20. Lahirnya konsep pembangunan berkelanjutan sendiri sejatinya diawali dengan kepedulian yang besar terhadap keberlanjutan lingkungan. Permasalahan terkait perubahan iklim akibat penggunaan bahan bakar fosil serta semakin memburuknya kualitas lingkungan hidup membuat konsep pembangunan berkelanjutan memainkan peranan penting dalam pembangunan ekonomi tidak saja negara satu persatu namun pembangunan ekonomi global secara keseluruhan. Praktek-praktek pembangunan berkelanjutan memungkinkan berlangsungnya aktifitas-aktifitas ekonomi yang berorientasi pada keberlangsungan dan keberlanjutan sumber daya ekonomi tidak saja untuk generasi saat ini namun juga generasi yang akan datang.
Praktek-praktek pembangunan berkelanjutan telah dilakukan oleh beberapa negara termasuk di negara-negara G20, baik negara maju seperti Jerman dan Italia maupun negara berkembang seperti Indonesia dan Afrika. Salah satunya adalah komitmen bersama untuk dapat mencapai Net Zero Emission. Hal ini diupayakan dengan salah satunya kebijakan transmisi energi kepada Energi Baru Terbarukan (EBT) seperti mempromosikan pembangkit listrik tenaga surya, tenaga angin, dan sebagainya. Selain itu, negara-negara G20 juga memiliki komitmen bersama untuk mempromosikan transformasi ekonomi menuju ekonomi hijau yang didorong oleh menumbuhkembangkan usaha yang ramah lingkungan melalui investasi yang berorientasi pada bisnis hijau. Di Indonesia misalnya, inisiasi praktek pembangunan berkelanjutan pun dilakukan Indonesia dalam bidang pengembangan bisnis UMKM. Praktek bisnis yang mengembangkan prinsip green process dan green output di dalamnya dapat mencapai tujuan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Di Indonesia, potensi UMKM Hijau di Indonesia cukup tinggi bahkan sudah berorientasi kepada ekspor.
Dalam konteks G20, optimalisasi pembangunan berkelanjutan menghadapi tantangan utama yang perlu segera ditangani dan diperhatikan semua negara anggota, yaitu ketimpangan pencapaian pembangunan berkelanjutan antar negara. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan pencapaian Indeks Pembangunan Berkelanjutan di negara-negara G20. Di angka indeks 70 persen ke atas, terpolarisasi negara-negara maju G20 sementara negara-negara berkembang G20 terpolarisasi di bawah angka indeks 70. Walaupun tanpa dipungkiri, kesemua negara menunjukkan dinamika yang terus meningkat dan menuju pembangunan berkelanjutan yang lebih baik. Di satu sisi, adanya negara maju dan negara berkembang sebagai anggota G20 memiliki konsekuensi disparitas sumber daya yang dimiliki dalam mengupayakan pembangunan berkelanjutan. Di sisi lain, disparitas sumber daya ini juga menjadi potensi untuk optimalisasi kerjasama-kerjasama antar negara dalam mengupayakan pembangunan berkelanjutan.
Indeks Pembangunan Berkelanjutan Negara-Negara G20, 2000-2022
Sumber: Sustainable Development Report 2023, diolah.
Oleh karena itu, penting artinya untuk mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang krusial dalam mengupayakan percepatan dan pemerataan pembangunan berkelanjutan terutama untuk mengatasi kesenjangan antara negara maju dan negara berkembang anggota G20. Analisis kami mengidentifikasi setidaknya ada 3 faktor penentu dalam optimalisasi pembangunan berkelanjutan. Pertama, pembentukan modal atau investasi. Pembentukkan modal terbukti memainkan peranan penting baik bagi negara maju maupun negara berkembang, namun dalam konteks yang berbeda. Di negara-negara maju G20 (Autralia, Kanada, Cina, Rusia, Perancis, Italia, Jerman, Jepang, Korea Selatan, Turki, Inggris, dan Amerika Serikat) terbukti bahwa dalam jangka panjang pembentukkan modal telah berorientasi pada pembangunan berkelanjutan diantaranya dapat dilihat dengan telah banyak berkembangnya investasi hijau baik dari sisi sistem maupun kelembagaan. Namun, hal tersebut berbanding terbalik dengan kondisi di negara-negara berkembang G20 (Indonesia, Afrika Selatan, Argentina, Brasil, Meksiko, Saudi Arabia, dan India) dimana terbukti bahwa pembentukkan modal di negara berkembang masih berkontribusi negatif terhadap pembangunan berkelanjutan. Artinya, pembentukkan modal di negara berkembang belum sepenuhnya berorientasi pada pembangunan berkelanjutan. Perbedaan kondisi ini bisa jadi disebabkan oleh perbedaan antara negara maju dan negara berkembang dalam hal pembiayaan maupun dalam hal kemajuan teknologi.
Kedua, partisipasi angkatan kerja. Partisipasi tenaga angkatan kerja juga terbukti memainkan peranan yang penting bagi pembangunan berkelanjutan di negara maju. Namun, sektor-sektor utama di negara maju belum sepenuhnya diarahkan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan, seperti misalnya sektor industri yang belum sepenuhnya mengimplementasikan proses produksi yang mendukung pembangunan berkelanjutan. Sementara itu, berbeda dengan permasalahan yang dihadapi negara berkembang bahwa partisipasi angkatan kerja belum berpengaruh secara signifikan. Artinya, produktifitas sumber daya manusia di negara berkembang belum mampu mendukung pencapaian pembangunan berkelanjutan.
Ketiga, perdagangan internasional. Selain itu, kerja sama perdagangan dirasa mampu mendukung pencapaian pembangunan berkelanjutan di negara G20. Perdagangan internasional terbukti secara signifikan berpengaruh positif terhadap pembangunan berkelanjutan baik di negara maju maupun negara berkembang G20. Bahkan jika diteliti lebih jauh, peranan perdagangan internasional terhadap pembangunan berkelanjutan di negara berkembang G20 lebih besar dibandingkan di negara maju G20. Hal ini dapat dijelaskan masih relatif besarnya porsi ekspor negara berkembang yang bersumber dari sumber daya alam, baik mineral maupun sumber daya alam lainnya.
Untuk menjawab ketimpangan pembangunan berkelanjutan di negara-negara G20, selain upaya-upaya yang telah dan sedang dilaksanakan di masing-masing negara, tidak lain ada kerjasama antar negara. Dalam hal disparitas pembentukan modal, sangat mungkin disebabkan oleh perbedaan ketersediaan instrumen pembiayaan maupun dalam penyerapan kemajuan teknologi yang berorientasi pembangunan berkelanjutan. Dengan demikian, G20 dapat meningkatkan kerjasama dan sinergi infrastruktur global serta fasilitasi perdagangan untuk meningkatkan keterkaitan antar negara anggota. Salah satu inisiasi kebijakannya yaitu mendirikan perserikatan infrastruktur global atau Global Infrastructure Connectivity Alliance(GICA). Sementara itu, pada bidang sumber daya manusia dan ketenagakerjaan, inisiasi kebijakan kerja sama yang dapat dilakukan G20 salah satunya yaitu mengadopsi kerangka kerja dalam promosi pekerjaan yang berkualitas serta strategi pelatihan dalam promosi tenaga kerja muda yang lebih baik. G20 pun dapat memanfaatkan peran dari perdagangan dengan mendiskusikan berbagai isu terkait peran sistem perdagangan multilateral, rantai nilai global, serta peran perdagangan dan investasi terhadap penciptaan lapangan kerja.
Dalam implementasi Rencana Aksi Pembangunan 2030, G20 memberikan fasilitasi melalui pendekatan aksi individu secara nasional dan pendekatan aksi kolektif secara bersama-sama. Adapun pendekatan aksi secara nasional berupa komitmen negara anggota G20 untuk senantiasa memberikan laporan kemajuan implementasi Rencana Aksi 2030, sementara pada pendekatan aksi secara kolektif, negara anggota G20 berkomitmen untuk senantiasa memfokuskan pembentukan kelompok kerja atau working group pada isu pembangunan yang lebih mendalam seperti terkait keberlanjutan pertanian dan keberlanjutan iklim dan lingkungan yang kemudian dinamakan sebagai Development Working Group (DWG).
DWG G20 berupaya mengidentifikasi masalah-masalah umum yang dihadapi negara anggota G20 berkaitan dengan implementasi pembangunan berkelanjutan dan menginisiasikan komitmen kebijakan berupa rencana aksi bersama berdasarkan kelompok sektor pembangunan berkelanjutan sesuai dengan permasalahan yang dihadapi negara anggota (China’s G20 Precidency 2016). Adapun kelompok sektor tersebut antara lain: (1) Infrastruktur, (2) Pertanian, ketahanan pangan, dan nutrisi, (3) Pembangunan sumber daya manusia dan ketenagakerjaan, (4) Inklusi keuangan, (5) Mobilisasi sumber daya domestik, (6) Industrialisasi, (7) Inklusi bisnis, (8) Energi, (9) Perdagangan dan investasi, (10) Anti-korupsi, (11) Konstruksi keuangan internasional, (12) Strategi pertumbuhan ekonomi, (13) Perubahan iklim dan green finance, (14) Inovasi, (15) Kesehatan global.Dinamika yang berkembang serta komitmen-komitmen berkelanjutan dengan fakta ketimpangan antar negara-negara G20 membawa konsekuensi penting bagi upaya-upaya pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Salah satu kata kuncinya adalah kerjasama antar negara. Tantangan bagi Indonesia adalah bagaimana mengoptimalkan kerjasama-kerjasama dengan negara-negara G20 lainnya terutama dalam hal investasi, perdagangan internasional, dan tenaga kerja. Dalam hal investasi misalnya, Indonesia bertekad mengurangi emisi karbon dengan skenario pembiayaan dengan kemampuan sendiri (unconditional) sebesar 31,8% dan dengan bantuan internasional (conditional) sebesar 43,2% pada 2030 (Nationally Determined Contribution, 2023). G20 dapat menjadi kendaraan bagi Indonesia untuk mencapai tekad pengurangan emisi karbon menuju pembangunan berkelanjutan. Forum G20 pun menyepakati Rencana Aksi Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030 dan mengeluarkan High-Level Principles on the Implementation of 2030 Development Agenda pada pertemuan konferensi G20 di China (2016). Secara umum, Forum G20 bertujuan memastikan pertumbuhan yang inklusif, pembangunan yang berkelanjutan, dan pengentasan kemiskinan melalui kegiatan perdagangan internasional. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut negara-negara G20 sadar bahwa perlunya kerja sama dan kesepakatan bersama untuk mencapai tujuan tersebut.
Artikel ini dimuat pada https://www.republika.id/posts/45201/ketimpangan-pembangunan-berkelanjutan-g-20-dan-konsekuensinya-bagi-indonesia