OLEH Sendi Setiawan (Mahasiswa Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB), Bryen Ariel (Mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian IPB), Sofiani Anamy (Mahasiswa Sekolah Bisnis IPB), Nurul Hidayati (Dosen Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB)
Mengusung tema “ASEAN Matters: Epicentrum of Growth”, Indonesia kembali dipercaya menjadi ketua ASEAN untuk kelima kalinya pada tahun 2023. Kepemimpinan Indonesia di ASEAN yang saat ini sedang berada di titik terlemah dalam satu dekade terakhir berpeluang untuk mengembalikan posisi ASEAN menjadi organisasi regional yang diperhitungkan tidak hanya di Asia tetapi juga di tingkat global (Ramadhony & Firmansyah, 2022). Terdapat tiga fokus utama dalam perekonomian yang diangkat oleh Kepemimpinan Indonesia di ASEAN 2023, salah satunya adalah kebutuhan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan mendorong tantangan ekonomi biru (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, 2023). Oleh karena itu, ASEAN Blue Economy Framework ditetapkan sebagai salah satu prioritas utama dalam bidang perekonomian oleh Kepemimpinan Indonesia di ASEAN 2023.
Menurut Bank Dunia, ekonomi biru adalah pemanfaatan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk mendukung pembangunan ekonomi, kemakmuran, dan pelestarian ekosistem laut (KADIN Indonesia, 2023). Indonesia memiliki potensi kelautan dan maritim yang sangat besar sebagai negara kepulauan. Sumber daya hayati laut Indonesia sangat beragam karena posisi Indonesia yang berada di garis khatulistiwa, tempat bertemunya arus panas dan dingin (Mei, 2017). Bahkan, 37% ikan karang dunia dan 76% terumbu karang terdapat di perairan Indonesia (United Nations Development Programme, 2023).
Sayangnya, pencemaran sampah plastik ke laut menjadi faktor penghambat kelangsungan ekonomi biru (Yuan et al., 2023). Setiap tahun, setidaknya 14 juta ton plastik masuk ke lautan dan terdapat 1,7 kg sampah plastik per meter persegi di lautan Indonesia (IUCN, 2022; Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2021). Mayoritas sampah plastik di lautan berasal dari bahan polimer polyethylene terephthalate (PETE) yang sangat berbahaya bagi ekosistem laut. Sebagai contoh ialah cup plastik dan sedotan yang penggunaanya lebih dari 92 juta batang/hari di Indonesia (Hermawan & Andrew, 2021).
Apabila fenomena ini dibiarkan, laut beserta segala isinya akan sangat tercemar sehingga tidak layak diolah untuk menunjang terwujudnya ekonomi biru. Dengan demikian, kekayaan tersebut akan sia-sia. Perencanaan bisnis dengan memanifestasikan konsep ESG (environmental, social, dan governance) merupakan urgensi yang sangat besar dan tidak hanya berfokus pada keuntungan finansial, tetapi juga turut mempertimbangkan dampak lingkungan dan sosial yang dihasilkan.
Beruntungnya, inisiatif ramah lingkungan seperti penggantian penggunaan plastik tradisional (petrokimia) dengan plastik biodegradable mulai dilirik oleh beberapa kalangan. Untuk memberikan alternatif berkelanjutan yang layak untuk plastik petrokimia dalam waktu dekat, plastik biodegradable dianggap sebagai salah satu kemungkinan (United Nations Environment Programme, 2022). Plastik biodegradable dapat memiliki kualitas yang setara dengan plastik petrokimia sekaligus memberikan manfaat karena lebih sedikitnya karbon dioksida yang dihasilkan ke lingkungan (Steven et al. 2020). Menariknya, rumput laut berpotensi menghasilkan polimer penyusun plastik biodegradable yaitu polyhydroxyalkanoate (Moshood et al., 2022).
Habitat rumput laut terbesar di dunia terdapat di Indonesia yang luasnya mencapai 1,2 juta hektar (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2018). Rumput laut sebagai polimer plastik alami memiliki potensi untuk diaplikasikan menjadi berbagai kemasan makanan. Rumput laut merah seperti Euchema cottonii dan Kappaphycus alvarezii yang mengandung karagenan tumbuh di daerah tropis. Kualitas fotoprotektif senyawa dari rumput laut tropis merah seperti Euchema cottonii dan Kappaphycus alvarezii berasal dari kandungan karagenan. Bioplastik yang dikembangkan dari rumput laut dapat lebih tahan terhadap radiasi gelombang mikro dan menjaga kualitas kemasan makanan dibandingkan bahan lainnya (Leadbeater et al., 2022). Kelebihan ini akan menguntungkan di masa depan karena tren kesadaran konsumen terhadap produk dan gaya hidup berkelanjutan terus meningkat, terutama usaha pengurangan penggunaan plastik.
Peluang pengembangan rumput laut menjadi plastik biodegradable ini didukung dengan adanya kondisi dimana Indonesia menargetkan sampah plastik laut berkurang 70% dalam tiga tahun Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, 2022); Indonesia sebagai ketua ASEAN pada tahun 2023, memiliki peran penting dalam pengembangan ekonomi biru di kawasan Indo Pasifik, dan Pemerintah Indonesia telah menetapkan Perpres No. 97/2017 tentang pengurangan sampah plastik 30% pada tahun 2025 (Moshood et al., 2022). tingkat pertumbuhan plastik biodegredable tahunan diprediksi akan menjadi sekitar 30% hingga tahun 2025 (Moshood et al., 2022). Selain itu, Peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya berkontribusi pada pengurangan sampah plastic (GreenPeace Indonesia, 2021).
Pemerintah Indonesia telah mengembangkan program untuk mendorong pengembangan teknologi di Indonesia, seperti program Teknologi Hijau dan Inovasi Berbasis Sumber Daya Alam. Adanya penggunaan teknologi hijau dalam proses produksi dan penggunaan energi terbarukan. Adanya aspek legal yang mendukung, yakni dilihat dari Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.74 tahun 2018 tentang Pengelolaan Sampah Plastik Berbasis Masyarakat dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 15 Tahun 2017 tentang Pemberian Insentif bagi Perusahaan yang Berkinerja Tinggi dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pengendalian Pencemaran (JDIH BPK RI, 2021).
Artikel ini di muat pada https://www.republika.id/posts/45475/kuatkan-ekonomi-biru-melalui-pengembangan-rumput-laut