Oleh: Dr. Anisa Dwi Utami Peneliti Pusat Studi Bisnis dan Ekonomi Syariah/CI-BEST IPB University
Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia memiliki potensi yang sangat besar dalam pengembangan perekonomian dan keuangan syariah. Termasuk di dalamnya adalah sektor keuangan sosial. Keuangan sosial syariah selama ini selalu diidentikkan dengan zakat, infaq dan sedekah. Namun baru beberapa tahun akhir ini mulai dikenalkan tentang wakaf sebagai salah satu instrumen dalam sektor keuangan sosial. Secara konstitusional wakaf telah diatur dalam peraturan perundangan sejak dikeluarkannya Undang-undang wakaf nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf. Sebelum Undang-undang tersebut, peraturan-peraturan yang ada belum cukup memadai dari sisi kandungan pengaturannya maupun jenis peraturannya. Pengaturan yang ada pada peraturan-peraturan sebelumnya sangat sederhana dan belum mencakup banyak aspek dari wakaf itu sendiri. Peraturan perwakafan tersebar pada beberapa peraturan lain, seperti peraturan di bidang pertanahan.
Wakaf sebagai suatu instrument ekonomi sebenarnya memiliki potensi yang sangat besar. Menurut Sistem Informasi Wakaf Kementrian Agama RI, sampai dengan tahun 2022, tanah wakaf yang tersebar mencapai 440,5 ribu titik dengan total luas 52,7 hektar. Adapun potensi wakaf uang ditaksir mencapai angka 180 triliun per tahun. Menurut Badan Wakaf Indonesia, perolehan wakaf uang per Maret 2022 mencapai nilai sebesar 1,4 triliun rupiah. Angka ini meningkat jauh dibandingkan perolehan pada tahun-tahun sebelumnya (2018-2021) yaitu senilai 855 miliar rupiah. Dengan potensi yang demikian besar, akan tetapi tidak dipungkiri bahwa masih banyak tantangan dan permasalahan yang harus dijawab dalam pengembangan wakaf nasional. Salah satunya berkaitan dengan sejauhmana pemahaman masyarakat muslim itu sendiri terkait dengan wakaf atau merujuk pada terminologi literasi wakaf.
Dalam upaya memonitor perkembangan literasi masyarakat terkait wakaf, Badan Wakaf Indonesia Bersama dengan Pusat Kajian Strategis Baznas dan Direktorat pemberdayaan zakat dan wakaf Kementrian Agama Republik Indonesia telah mengeluarkan indeks literasi wakaf nasional (ILW), yang terdiri dari nilai pemahaman wakaf dasar dan nilai pemahaman wakaf lanjutan. Secara nasional, nilai ILW sampai dengan tahun 2020 sebesar 50.48 dengan nilai pemahaman wakaf dasar sebesar 57.67 dan nilai pemahaman wakaf lanjutan sebesar 37.97. Jika dilihat secara detail nilai ILW setiap provinsi, terdapat variasi yang cukup signifikan. Dari hasil pengukuran diketahui bahwa nilai ILW tertinggi dicapai oleh Provinsi Gorontalo dengan skor 73.74 disusul dengan Provinsi Papua (64.04), Bali (62.49), dan Sulawesi Tengah (62.28). Adapun skor ILW terendah diperoleh oleh Provinsi Riau, Kalimantan Tengah dan DKI Jakarta. Hasil yang cukup mengejutkan mengingat tingkat literasi yang rendah justru dimiliki oleh Provinsi-provinsi di wilayah Jawa dan DKI Jakarta sebagai ibukota negara. Hal ini seolah-olah bertentangan dengan tingkat literasi masyarakat secara umum dimana akses terhadap berbagai macam fasilitas dan media edukasi seharusnya lebih baik pada masyarakat di Jawa, terlebih ibukota Negara seperti DKI Jakarta.
Sejalan dengan hasil pengukuran pemahaman masyarakat terhadap wakaf, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian keuangan juga telah mencoba melakukan survey terkait dengan wakaf uang pada tahun 2019 dengan hasil yang kurang lebih sama. Survey tersebut dilakukan di 11 provinsi di Indonesia yaitu meliputi Aceh, Sumatera Barat, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan dengan total 753 responden. Hasil survey menyatakan tingkat literasi masyarakat terhadap wakaf uang yang cenderung rendah dengan skor sebesar 0.472. Meskipun sebagian besar responden dalam survey tersebut menyatakan sudah mengerti mengenai istilah wakaf dan perbedaannya dengan zakat, namun Sebagian besar responden (48.9 %) masih menganggap bahwa wakaf sama dengan infaq dan shodaqoh. Selain itu, Sebagian besar responden juga menyatakan ketidaktahuannya tentang istiah nazhir dan wakaf uang. Hampir seluruh responden juga belum memahami tentang pengelolaan dan peruntukan hasil wakaf uang dari Lembaga tempat mereka berwakaf.
Terminologi literasi sendiri sejatinya tidak hanya berkaitan dengan pemahaman atau aspek knowledge (tahu atau tidak tahu). Jauh dari itu, literasi adalah kemampuan yang dimiliki masyarakat dalam memproses berbagai informasi yang diperolehnya terutama melalui aktivitas membaca dan menulis. Dalam konteks pengembangan wakaf nasional maupun ekonomi dan keuangan syariah secara umum di Indonesia, dibutuhkan suatu rekayasa sosial untuk membangun suatu ekosistem yang mampu memfasilitasi dalam memberikan edukasi kepada masyarakat. Meskipun Indonesia merupakan negara dengan mayoritas muslim terbesar, tetapi sejauhmana pemahaman masyarakat terhadap prinsip-prinsip syariah juga masih menjadi pertanyaan besar. Namun sebelum berbicara lebih jauh tentang bagaimana bangunan ekosistem tersebut, barangkali pertanyaan mendasar yang perlu dipertanyakan adalah “selama ini siapakah yang sudah berperan dalam mengedukasi wakaf dalam masyarakat muslim di Indonesia”. Pertanyaan ini tentu saja bukan berarti menghilangkan sama sekali praktik-praktik edukasi yang sudah ada di masyarakat, terlebih wakaf itu sendiri juga sudah ada dalam sejarah masyarakat Indonesai sejak lama. Selanjutnya pertanyaan tersebut kemudian dapat menjadi jembatan ke pertanyaan selanjutnya mengenai siapa sajakah yang dapat berperan sebagai the main actors dalam proses rekayasa sosial tersebut. Identifikasi stakeholders ini tentu saja berhubungan dengan sejauhmana efektivitas rekayasa sosial yang dapat dilakukan sekaligus media maupun bentuk kelembagaan seperti apa yang dibutuhkan.
Peningkatan literasi wakaf masyarakat secara siginifikan tentu saja tidak dapat dicapai tanpa adanya rumusan strategi yang sistematis dengan melibatkan berbagai macam stakeholder yang ada di masyarakat. Secara praktis, rumusan startegi tersebut mungkin perlu diinisiasi oleh pemerintah khususnya Kementerian Agama dan Badan Wakaf Indonesia selaku pihak regulator. Akan tetapi tentu saja strategi tersebut seharusnya mampu menjangkau berbagai macam stakeholder di dalam masyarakat sehingga tidak hanya berhenti pada rangkaian program maupun regulasi yang hanya sampai pada tataran konsep atau di atas kertas. Meskipun pemerintah saat ini sudah memiliki instrument pengukuran terkait dengan tingkat literasi wakaf, tetapi tentu saja pengembangan literasi ini tidak hanya berhenti pada hitung-hitungan angka tersebut. Oleh karena itu, selain rumusan strategi, secara teknis metode pengukuran dalam indeks literasi juga perlu dievaluasi secara berkala untuk melihat validitas dan realibilitasnya. Lebih jauh lagi, strategi pengembangan literasi wakaf ini juga perlu diintegrasikan dengan strategi pengembangan ekonomi dan keuangan syariah secara lebih luas. Dinamika masyarakat yang terjadi saat ini dengan karakteristik masayarak millennial dan post-millenial serta perkembangan digitalisasi yang semakin masif juga perlu diperhatikan dalam upaya-upaya tersebut. Wallahua’lam.
sumber: https://www.republika.id/posts/43276/pekerjaan-rumah-literasi-wakaf-nasional