Oleh Manuntun Parulian Hutagaol, Guru Besar Ilmu Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi IPB University
Krisis pangan telah menjadi isu global akhir-akhir ini. Setiap negara harus mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Bila tidak, kemungkinan besar akan jadi korban yang dampaknya bisa berkepanjangan. Soalnya kecukupan asupan pangan menentukan menentukan kualitas sumberdaya manusia (SDM), sementara kualitas SDM dipercaya faktor kunci penentu daya saing suatu bangsa. Oleh karena itu menciptakan ketahanan pangan dan merawatnya merupakan suatu keharusan bagi setiap bangsa, termasuk Indonesia.
Bagi Indonesia yang saat ini populasi penduduknya terbesar keempat di dunia, ancaman krisis pangan tersebut bukan hanya suatu tantangan, tetapi juga sekaligus peluang. Sebab, pasar ekspor akan semakin terbuka bila krisis terus mengancam. Ini momen yang baik bagi Indonesia untuk mengisinya.
Meskipun hingga saat ini belum berhasil mewujudkan ketahanan pangan berkelanjutan, bukan berarti Indonesia tidak mampu memproduksi pangan melebihi kebutuhan nasionalnya. Bahkan produksi bisa melimpah asal saja Indonesia mampu memanfaatkan kelimpahan sumberdaya alamnya yang tersebar di seantero nusantara.
Pada awal dekade 1950-an Bung Karno sebagai presiden telah mengingatkan akan pentingnya Indonesia menguasai produksi pangan. Namun, pemerintah Orde Baru yang kemudian menggantikan pemerintahannya telah menafsirkannya secara keliru dengan membawa Indonesia mengejar swasembada beras. Sebagai konsekuensinya usaha produksi bahan pangan karbohidrat non-beras seperti jagung, kedelai dan singkong menjadi kurang mendapat perhatian. Sebagai akibatnya, kemudian, Indonesia menjadi tergantung pada pasar impor untuk memenuhi berbgai bahan pangan non-beras dan juga bahan pakan untuk makanan ternak.
Sudah lebih lima dekade, sejak dimulainya REPELITA I pada 1 April 1969 lalu, Indonesia secara terus menerus mengejar swasembada beras. Ternyata, hingga saat ini, produksi beras dalam negeri tidak selalu bisa memenuhi kebutuhan beras nasional. Impor beras masih sering berulang dilakukan untuk menutupi kesenjangan antara kebutuhan nasional dan produksi beras domestik. Hal ini cukup memprihatinkan mengingat Indonesia diberkati dengan kelimpahan sumberdaya alam yang potensil menjadikannya suatu negara eksportir pangan.
Kelihatannya pemerintah telah menyadari adanya kekeliruan yang diwarisi dari pemerintahan Orde Baru terkait strategi dan kebijakan pembangunan ketahanan pangan nasional. Beberapa tahun lalu sebelum pandemic covid-19 pemerintah menyatakan untuk menjadikan Indonesia lumbung pangan dunia. Hal ini mengandung makna bahwa produksi pangan nasional tidak lagi hanya fokus pada pemenuhan kebutuhan beras nasional saja. Indonesia akan menjadi pemasok pangan dunia selain memenuhi kebutuhan nasionalnya. Juga Indonesia akan memanfaatkan keberagaman kebutuhan pangan dunia untuk kepentingan nasional dengan mengekspor berbagai macam pangan karbohidrat non-beras.
Dengan menjadi lumbung pangan dunia, maka Indonesia tidak mungkin lagi tetap berfokus pada pemanfaatan lahan sawah untuk produksi pangan Indonesia. Perluasan produksi pangan ke lahan non-sawah terutama di luar Jawa harus menjadi prioritas nasional. Pemerintah sudah mulai mengarah ke sini seperti yang ditunjukkan oleh upaya pengembangan Food Estate (FE) di berbagai lokasi di luar Jawa. Meskipun ada berbagai kekurangan, pelaksanaannya perlu diacungi jempol. Sebab FE adalah langkah awal untuk menjadikan Indonesia lumbung pangan dunia.
Agar berhasil meraih idaman menjadi lumbung pangan dunia, Indonesia harus mampu menghasilkan produk-produk pangan yang berdaya saing tinggi. Persaingan di pasar ekspor sangat ketat. Hanya produk-produk yang berdaya saing tinggi yang akan bertahan di pasar. Kelak kemampuan bersaing di pasar ekspor inilah yang menjadi penentu apa Indonesia akan menjadi lumbung pangan dunia sebagaimana diidamkan
Tantangannya tidaklah mudah bagi petani-petani Indonesia untuk menghasilkan produk-produk pangan yang mampu bersaing di pasar ekspor. Soalnya lahan pertanian yang akan diusahakan bukanlah lahan yang kualitasnya sebaik lahan irigasi yang ada sentra-sentra produksi beras nasional. Karena tujuannya adalah menjadikan Indonesia lumbung pangan dunia, maka tentunya lahan-lahan yang sangat marjinal pun akan digunakan memproduksi pangan.
Kuncinya adalah pemilihan benih tanaman yang diusahakan di lahan tersebut. Benih harus mempunyai kemampuan beradaptasi yang tinggi dengan kondisi lahan yang relatif marjinal. Juga, benih tersebut harus punya kemampuan beradaptasi yang baik dengan lingkungannya dan berbagai kondisi yang menekan (stressful) akibat dari perubahan iklim global, seperti kekeringan dan serangan hama penyakit.
Benih yang memenuhi berbagai syarat tersebut akan mampu menghasilkan produktivitas tanaman tinggi dan produk pangan berkualitas baik. Keduanya adalah pembentuk daya saing suatu produk pangan. Para ahli bioteknologi dan lembaga di mana mereka bekerja telah mengembangkan berbagai benih biotek yang mampu beradaptasi pada kondisi seperti tersebut di atas sehingga produk yang dihasilkannya akan mampu bersaing di pasar ekspor.
Indonesia pun tidak ketinggalan soal penguasaan teknologi rekayasa benih ini. Berbagai pusat penelitian biotek sudah ada dan beroperasi di negeri ini. Bahkan Program Studi Biotek di berbagai Sekolah Pascasarjana mendidik generasi muda dalam bidang teknologi rekayasa genetika ini.
Tiga dekade terakhir ini kemajuan SDM dan fasilitas penelitian telah mendukung perkembangan yang pesat dalam penyediaan benih biotek, pertanian tanaman pangan biotek serta perdagangan antar negara. Sejak dimulai perdagangan produk-produk biotek pada tahun 1996 lalu, perdagangan pangan dan pakan biotek telah melibatkan lebih 40 dari negara. Sebagian besar negara ini merupakan negara berkembang dengan penguasaan lahan per petani yang relatif kecil. Secara kumulatif luas tanaman biotek yang diusahan selama periode ini sudah lebih dari seratus juta hektar. India dan Philipina adalah dua negara berkembang yang telah berhasil memanfaatkan benih biotek pangan untuk mengentaskan kemiskinan dan membangun ketahanan pangan nasionalnya, bahkan jadi eksportir produk pangan dan pakan biotek.
Pasar produk rekayasa genetik (PRG) sangat besar dan terus berkembang. Hingga saat ini posisi Indonesia masih “net import” PRG . Volume dan nilai importnya terus meningkat. Kondisi ini harus segera diubah bila Indonesia mau menjadi lumbung pangan dunia. Menjadi lumbung pangan akan membuat ekspor pangan menjadi sumber devisa yang handal bagi Indonesia. Saat ini pasokan devisa dalam jumlah yang sangat besar dibutuhkan untuk membiayai upaya pemulihan ekonomi dari dampak pandemic covid-19 yang telah merusak kapasitas produksi dan ekspor nasional. Keberhasilan upaya pemulihan perekonomian nasional dan pengentasan kemiskinan sangat tergantung pada ketersediaan devisa.
Untuk itu Indonesia perlu mengikuti langkah berbagai negara berkembang lainnya, seperti Philipina dan India tersebut di atas dalam pemanfaatan teknologi biologi (biotek). Penyederhana regulasi terkait penglepasan dan penanaman benih biotek dan perdagangan PRG sudah semestinya dilakukan pemerintah agar Indonesia mampu mewujudkan harapannya menjadi lumbung pangan dunia. Tidak ada lagi alasan ilmiah yang kuat untuk terus mempertahankan “prinsip kehati-hatian” di tengah akumulasi bukti yang tidak mendukung keberadaan “resiko” yang menjadi dasar penerapan prinsip tersebut. Jayalah Indonesia, makmur rakyatnya.