OLEH Wiwiek Rindayati (Dosen Ilmu Ekonomi FEM IPB), Lailatun Nikmah (Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEM IPB)
Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang mulai berlaku pada tahun 2001 memberikan kewenangan yang besar kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Payung hukum dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal ini adalah UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah Pusat dan Daerah.
Ada beberapa tujuan kebijakan desentralisasi fiskal, antara lain, untuk meningkatkan alokasi nasional dan efisiensi operasional pemda, memenuhi aspirasi daerah, memperbaiki struktur fiskal secara keseluruhan dan memobilisasi pendapatan nasional dan daerah, dan meningkatkan akuntabilitas, transparansi dan mengembangkan partisipasi konstituen dalam pengambilan keputusan di tingkat daerah.
Tujuan lainnya adalah mengurangi kesenjangan fiskal antar pemda, memastikan pelaksanaan pelayanan dasar masyarakat di seluruh Indonesia dan mempromosikan sasaran-sasaran efisiensi pemerintah. Adapun tujuan akhirnya adalah memperbaiki kesejahteraan sosial rakyat bagi seluruh rakyat Indonesia.
Desentralisasi fiskal dalam perjalanannya banyak mengalami tarik ulur kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah sehingga undang-undang payung hukumnya mengalami beberapa kali revisi, yaitu pada tahun 2004 berubah menjadi Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No 35 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah.
Kemudian, regulasi terbaru yang terbit berkaitan dengan desentralisasi fiskal adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (UU HKPD). Inti dari undang-undang tersebut adalah menitik-beratkan pada reformasi hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah agar lebih adil, seimbang, dan jelas. Hal ini dilakukan untuk penyediaan layanan publik lebih baik, daerah lebih kuat dalam persaingan, dan juga daerah lebih mandiri.
Pendekatan penerimaan
Kebijakan desentralisasi fiskal yang dijalankan pemerintah terdiri atas dua pendekatan, yaitu pendekatan dari sisi penerimaan dan pendekatan dari sisi pengeluaran atau belanja. Pendekatan sisi penerimaan mengisyaratkan adanya kebebasan bagi daerah untuk menggali potensi-potensi daerah sebagai sumber penerimaan daerah untuk membiayai pengeluarannya. Daerah diharapkan punya kemandirian daerah dalam memperoleh pendapatan untuk membiayai pengeluaran/belanjanya.
Pendekatan sisi pengeluaran mengisyaratkan adanya kebebasan daerah untuk memutuskan pengeluarannya guna menyelenggarakan layanan publik dan pembangunan.
Kemandirian keuangan daerah merupakan kemampuan daerah dalam membiayai kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan melalui peningkatan potensi penerimaan daerah.
Derajat desentralisasi fiskal merupakan ukuran kemandirian daerah. Ini adalah ukuran kemampuan pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) guna membiayai pembangunan. Semakin besar angka derajat desentralisasi, berarti akan semakin mandiri daerah dalam membiayai pengeluarannya, sehingga tidak tergantung dari dana transfer dari pemerintah pusat.
Sedangkan kinerja daerah dari sisi belanja ukurannya adalah kualitas belanja, pendekatan ini umumnya sangat erat dengan kinerja pengelolaan keuangan daerah, dimana keberhasilannya akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber penerimaan daerah. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah daerah untuk merancang rencana pembiayaan pengeluaran yang sesuai dengan kebutuhan dan prioritas daerah. Hal ini dapat terwujud dengan menjaga transparansi dan akuntabilitas yang baik.
Desentralisasi fiskal di Indonesia sudah berjalan lebih dari dua dekade, namun apabila kita telaah kinerjanya dari sisi penerimaan, fiskal daerah di Indonesia belum mandiri. Angka Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF) di Indonesia yang diukur dari rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Total Pendapatan Daerah mempunyai angka yang rendah.
Semakin tinggi DDF menggambarkan semakin tinggi kemampuan daerah untuk mendanai kebutuhannya melalui penerimaan yang dihasilkan sendiri. Hasil analisis terhadap Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2022 mengungkapkan bahwa 30 kabupaten/kota dan satu provinsi, Papua Barat, menghadapi kemandirian fiskal yang rendah, yakni di bawah 20 persen.
Selama lima tahun terakhir (2018-2022), pemerintah provinsi berhasil mencapai kemandirian fiskal sebesar 37,6 persen, menunjukkan keunggulan dibandingkan pemerintah kabupaten/kota. Meski begitu, di tengah keberhasilan ini, kita tidak bisa mengabaikan disparitas yang semakin terlihat nyata.
DKI Jakarta menonjol sebagai daerah dengan kemandirian fiskal tertinggi, mencapai angka 69,4 persen. Sementara Papua Barat berada di posisi paling bawah dengan kemandirian fiskal sebesar 6,1 persen.
Pada tingkat kabupaten/kota, Kabupaten Badung dan Kota Surabaya menunjukkan kemandirian fiskal tertinggi, masing-masing 80 persen dan 60 persen. Sedangkan Kabupaten Puncak dan Kabupaten Tambrauw menjadi sorotan dengan kemandirian fiskal yang hampir tidak terlihat, masing-masing 0,04 persen dan 0,27 persen.
Ini menandai tantangan nyata dalam desentralisasi fiskal, di mana tidak hanya tingkat kemandirian yang menjadi sorotan, tetapi juga kesenjangan yang semakin membesar di antara entitas pemerintahan lokal.
Adapun jika menakar kemandirian fiskal pemerintah kabupaten/kota melalui analisis Realisasi APBD 2022, hanya 1 persen kab/kota yang berada dalam kemandirian fiskal sangat baik dan 2 persen berada dalam kategori baik. Sementara kemandirian dengan kategori fiskal sangat kurang dan kategori kurang mendominasi dengan proporsi masing-masing 56 persen dan 28 persen atau total sebanyak 424 kab/kota.
Ini menandai tantangan nyata dalam desentralisasi fiskal. Sebab, bukan hanya tingkat kemandirian yang menjadi sorotan, tetapi juga kesenjangan yang semakin membesar di antara entitas pemerintahan lokal.Untuk meningkatkan kemandirian fiskal daerah dan mengurangi ketergantungan fiskal daerah, usaha-usaha yang perlu dilakukan adalah dengan menggali potensi ekonomi daerah sebagai sumber PAD dengan melakukan deversifikasi penerimaan, menggerakan ekonomi daerah melalui pengembangan pariwisata, hilirisasi industri di daerah dan mengembangkan UMKM di daerah.
Pendekatan pengeluaran
Menelaah kinerja desentralisasi fiskal dari sisi pengeluaran ukurannya adalah dari kualitas belanja daerah yang bisa diukur dengan rasio belanja pembangunan terhadap total belanja. Belanja daerah diharapkan digunakan untuk menghasilkan output pembangunan.
Dari hasil kajian, kualitas belanja daerah masih relatif rendah. Mengkaji lebih dalam dari sisi belanja pemerintah daerah, masih ada celah besar untuk dapat ditingkatkan kualitasnya.
Belanja pegawai masih mendominasi dengan porsi terbesar, meskipun trennya menurun dari 70,13 persen pada tahun 2001 menjadi 32,6 persen pada tahun 2022. Belanja modal yang seharusnya menjadi katalisator bagi pertumbuhan ekonomi daerah dan manfaatnya nanti dapat dirasakan oleh masyarakat, masih memiliki porsi yang relatif rendah, yaitu sebesar 20,76 persen.
Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2022 menunjukan bahwa sebagian besar pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia menghadapi tantangan dalam mengoptimalkan belanja modal. Dari total 548 kab/kota, sebanyak 214 atau 39 persen di antaranya memiliki rasio belanja modal yang rendah.
Sementara itu, sebanyak 263 atau 48 persen pemda kab/kota memiliki rasio belanja modal dengan kategori sedang. Hanya sekitar 13 persen atau 69 pemda kab/kota yang mencatatkan rasio belanja modal tinggi.
Pada tingkat pemerintah provinsi, dinamika serupa terlihat. Hanya enam provinsi yang berhasil mencapai kategori rasio belanja modal tinggi, sementara 13 provinsi lainnya berada pada kategori sedang. Kemudian sebanyak 15 provinsi dengan rasio belanja modal yang rendah.
Data sejak awal desentralisasi hingga tahun 2022 menunjukkan bahwa belanja daerah dalam sektor pendidikan rata-rata telah memenuhi ketentuan minimal sebesar 20 persen dari total belanja. Meski demikian, tidak dapat diabaikan bahwa masih ada daerah yang belum memenuhi standar ini.
Pada tahun 2022, tercatat 98 kabupaten/kota dan dua provinsi yang masih belum memenuhi kewajiban ini. Sementara itu, dalam sektor kesehatan, terdapat 50 kabupaten/kota dan 15 provinsi pada tahun yang sama yang belum mampu memenuhi mandatory spending sebesar 10 persen.
Belanja modal perlu ditingkatkan untuk menciptakan efek domino positif dalam pertumbuhan ekonomi lokal. Pendidikan dan kesehatan, sebagai dua pilar penting pembangunan harus mendapat perhatian khusus dalam alokasi belanja pemerintah daerah.