OLEH Dr. Indra Refipal Sembiring (Dosen Departemen Manajemen, FEM-IPB), Sendi Setiawan (Mahasiswa Berprestasi FEM-IPB 2023-2024)
Situasi petani di Indonesia menunjukkan kompleksitas yang semakin meningkat, terutama dengan dominasi generasi pra-gen Z (gen X, gen Y, dan baby boomer) yang mencapai 93,72 persen dari total petani, dengan rentang usia antara 27 hingga 77 tahun (Kementan, 2023). Dari jumlah keseluruhan 40,64 juta petani di Indonesia, sekitar 72,19 persen bermukim di wilayah pedesaan dan termasuk dalam kategori petani kecil yang bekerja secara informal (BPS, 2021).
Lebih lanjut, kesejahteraan petani di Indonesia masih menghadapi tantangan yang signifikan, tercermin dari fakta bahwa 51,33 persen dari rumah tangga miskin di Indonesia berasal dari sektor pertanian (BPS, 2021).
Koperasi pertanian secara konsep dibangun untuk menjadi alternatif dalam mengusahakan kesejahteraan petani. Petani yang menjadi subjek utama dalam koperasi pertanian diharapkan mampu lepas dari kungkungan kemiskinan lewat pengelolaan lahan yang lebih terstruktur dan modern. Saat ini, terdapat 13.173 koperasi di sektor pertanian di Indonesia, berperan sebagai entitas pengelola bagi sebagian besar petani di wilayah pedesaan.
Meskipun demikian, sebagian besar dari koperasi ini masih mengadopsi model operasional yang tradisional. Diperlukan upaya proaktif untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas operasional koperasi guna mencapai dampak yang lebih positif terhadap kesejahteraan petani.
Koperasi tradisional para petani dilanda permasalahan trilema koperasi, yaitu sebuah istilah yang merujuk pada kesulitan dalam menyeimbangkan tuntutan pasar, negara, dan masyarakat sipil secara bersamaan. Koperasi jenis ini juga masih memiliki banyak kekurangan karena rendahnya keterlibatan dan ketidakjelasan peran dari para pemangku kepentingan sehingga masih terjadi keterbatasan modal, ketidaksetaraan kontribusi anggota, kesulitan dalam pemasaran, dan kurangnya kemampuan implementasi teknologi pertanian (Hanggana, 2017).
Pentingnya modernisasi dalam pengelolaan koperasi menjadi aspek utama yang perlu ditekankan. Penerapan teknologi informasi dan sistem manajemen yang lebih canggih dapat menjadi langkah awal untuk meningkatkan daya saing koperasi.
Pelibatan pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan sektor swasta dalam sinergi yang kuat menjadi kunci utama dalam merangsang transformasi positif di sektor pertanian Indonesia. Inisiatif bersama ini dapat mencakup penyediaan pelatihan dan pendampingan bagi pengelola koperasi, implementasi teknologi pertanian modern, serta fasilitasi akses ke pasar yang lebih luas.
Dengan demikian, koperasi dapat menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi di pedesaan dan meningkatkan kesejahteraan petani, seiring dengan tercapainya visi transformasi positif dalam sektor pertanian Indonesia. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencapai kondisi tersebut adalah dengan mengubah sistem koperasi tradisional menjadi Koperasi Multi Pihak (KMP).
KMP merupakan suatu bentuk koperasi yang menerapkan model pengelompokan anggota berdasarkan peran kelompok pihak anggota dalam suatu lingkup usaha tertentu. Pengelompokan ini disesuaikan dengan kesamaan kepentingan ekonomi, keterkaitan usaha, potensi, dan kebutuhan anggota (BPK RI, 2021).
Selain itu, Universitas Wisconsin-Madison mendefinisikan KMP sebagai koperasi yang dimiliki dan dikendalikan oleh lebih dari satu jenis anggota, seperti konsumen, produsen, pekerja, relawan, atau pendukung komunitas. Pemangku kepentingan dapat berupa individu atau organisasi seperti lembaga nirlaba, bisnis, lembaga pemerintah, atau bahkan koperasi lainnya. Model solusi ini mengintegrasikan kemitraan multi pihak baik dalam ranah on-farm maupun off-farm.
Koperasi multi pihak dimulai dari Hebden Bridge Fustian Manufacturing Co-operative Society di Inggris yang bertransformasi menjadi multipihak pada tahun 1870 dan secara legal berkembang ke Italia, yang kemudian dianggap sebagai praktik terbaik (best practice) KMP di dunia. Saat ini, terdapat 14 ribu KMP yang sebagian besar bergerak di sektor sosial. Model ini dapat dipraktikkan untuk kebutuhan bisnis apapun termasuk sektor pertanian.
Di sektor pertanian, diskusi banyak ditekankan pada transformasi Koperasi Tradisional seringkali menjadi koperasi kontemporer (New Generation Coop/NGC). Konsep koperasi kontemporer diperkenalkan sebagai salah satu evolusi dari koperasi yang sudah berjalan secara tradisional. Koperasi ini didefinisikan terintegrasi secara vertikal yang memberikan pembagian peran bagi petani sebagai pelanggan dan pemilik sekaligus.
Tentu saja model ini memberikan keuntungan kepada petani dalam usaha memberikan nilai tambah hasil pertanian untuk kesejahteraan anggotanya. Akan tetapi, peran yang terbagi dalam petani bukanlah hal yang sederhana, mengingat masalah manajemen organisasi koperasi adalah hal yang tidak mudah, dan kapasitas dan kapabilatas dari pengurus dan anggotanya seringkali menjadi masalah besar dalam mengarahkan koperasi yang sukses.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ajates (2017; 2018; 2021) di Spanyol dan Inggris menunjukkan bahwa model KMP memiliki potensi untuk mendukung keberlanjutan sektor pertanian melalui kerja sama antara berbagai pemangku kepentingan dalam rantai nilai industri tersebut. Contoh implementasi yang berhasil terdapat di Jepang melalui Japan Agricultural Cooperative Noto Wakaba (JA Noto Wakaba), yang mengusung konsep mutual cooperation atau koperasi yang saling menguntungkan.
JA Noto Wakaba memiliki empat unit bisnis yang fokus pada farm business, supplying business, credit business, dan mutual insurance. Koperasi ini telah berhasil memberdayakan 13.911 petani per Maret tahun 2023 dengan melibatkan 191 pemangku kepentingan dalam struktur koperasi (JA, 2021).
Penelitian Ajates juga mencatat bahwa model KMP memiliki potensi untuk meningkatkan keberlanjutan sektor pertanian dengan melibatkan kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan dalam rantai nilai industri. Dengan demikian, model KMP dapat dijadikan sebagai rujukan bagi pengembangan koperasi serupa di berbagai negara, termasuk Indonesia, untuk memperkuat daya saing dan kesejahteraan petani kecil melalui integrasi usaha, kemitraan multipihak, dan saling menguntungkan dalam ekosistem pertanian.
Isu pertanian skala kecil masih menjadi tantangan di berbagai wilayah berkembang, seperti Asia Tenggara, Amerika Selatan, dan Afrika Sub-Sahara. Oleh karena itu, pengembangan pertanian skala kecil merupakan prasyarat yang sangat esensial untuk kemajuan pertanian modern di wilayah-wilayah ini.
KMP muncul sebagai suatu mekanisme industri yang sangat potensial untuk menggalakkan pertanian skala kecil dan menjembatani kesenjangan antara praktik pertanian tradisional dengan model pertanian yang lebih modern. Meskipun demikian, realitas di lapangan menunjukkan bahwa koperasi pertanian di negara-negara berkembang dihadapkan pada berbagai tantangan yang kompleks, dan sebagian besar upaya koperasi berakhir dengan kegagalan.
Koperasi ini seharusnya berfungsi sebagai alat yang efektif dalam mendorong proses industrialisasi pertanian dengan memperkuat kohesi di antara komunitas petani, mengoptimalkan pemanfaatan subsidi pemerintah, dan meningkatkan akumulasi modal.
Meski demikian, perkembangan KMP dapat menghadapi permasalahan jika tidak diatur dengan cermat. Di Cina, contohnya, jumlah koperasi pertanian meningkat hampir 85 kali lipat antara tahun 2007 dan 2019. Pertumbuhan tersebut sayangnya menyebabkan munculnya banyak koperasi palsu, mengakibatkan tidak efektifnya pemberian subsidi pemerintah dan menimbulkan keraguan terkait efisiensi koperasi pertanian.
Perjalanan dan pengalaman Koperasi di sektor pertanian di Indonesia tentunya telah memberikan banyak pelajaran, terutama dalam usaha meningkatkan posisi ekonomi petani sebagai anggota utama koperasi. Namun tetap saja petani tidak dapat mencapai keuntungan ekonomi yang optimal karena kompleksitas internal maupun eksternal koperasi dalam rantai suplai sektor pertanian.
Pembagian peran yang jelas dan kolaborasi dalam sebuah kesatuan kelembagaan koperasi dapat menjadi alternatif tantangan ini. Optimalisasi nilai dapat dicapai dengan keunggulan-keunggulan yang dibawa oleh stakeholder dengan peran dan spesialisasi yang berbeda dan dapat diandalkan.
Dengan demikian, kehadiran KMP perlu dijadikan acuan untuk mengusahakan tujuan eksistensi yang optimal di sektor pertanian.