OLEH Prof Bambang Juanda, Dosen Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB
Dalam beberapa bulan terakhir, kebijakan pemerintah Indonesia terkait Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) telah menjadi topik yang hangat diperbincangkan. Kebijakan ini bertujuan memberikan solusi atas permasalahan perumahan yang semakin kompleks di Indonesia. Namun, meskipun niatnya mulia, Tapera telah memicu berbagai protes dari berbagai kalangan. Apa yang sebenarnya menjadi inti dari kebijakan ini dan mengapa banyak yang menentangnya?
Artikel ini akan membahas secara mendalam tentang kebijakan Tapera, alasan di balik protes yang muncul, dan rekomendasi kebijakan.
Apa itu Tapera dan tujuannya?
Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) adalah program pemerintah yang dirancang untuk membantu masyarakat memiliki rumah layak huni dengan cara menabung secara kolektif. Undang-Undang No. 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat menjadi landasan hukum dari program ini. Melalui BP Tapera (Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat), dana yang terkumpul akan dikelola dan digunakan untuk memberikan pembiayaan perumahan kepada peserta yang membutuhkan.
Tujuan utama dari Tapera adalah untuk mengatasi backlog perumahan yang cukup tinggi di Indonesia. Dengan populasi yang terus bertambah dan kebutuhan akan perumahan yang semakin meningkat, program ini diharapkan dapat menjadi solusi jangka panjang untuk memastikan bahwa setiap warga negara memiliki akses ke rumah yang layak.
Mekanisme kerja Tapera
Tapera mengharuskan pekerja, baik dari sektor formal maupun informal, untuk menyisihkan sebagian dari penghasilan mereka ke dalam dana tabungan perumahan. Besaran kontribusi ditetapkan sebesar 3 persen dari gaji untuk pekerja formal, yang dibagi menjadi 2,5 persen ditanggung pekerja dan 0,5 persen oleh pemberi kerja. Untuk pekerja mandiri atau informal, kontribusi dilakukan secara mandiri sesuai dengan penghasilan yang diperoleh.
Dana yang terkumpul kemudian dikelola oleh BP Tapera dan digunakan untuk memberikan pembiayaan perumahan dengan bunga rendah kepada para peserta yang memenuhi syarat. Setelah masa kerja atau pada saat pensiun, peserta dapat menarik dana yang telah disimpan beserta hasil pengembangannya.
Meskipun kebijakan ini tampak menjanjikan, Tapera tidak lepas dari berbagai protes dan kontroversi. Berikut beberapa alasan utama yang memicu penolakan dari berbagai kalangan:
1. Beban finansial tambahan
Banyak pekerja mengeluhkan bahwa kontribusi Tapera menjadi beban finansial tambahan di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu. Dengan adanya potongan sebesar 2,5 persen dari gaji, beberapa pekerja merasa bahwa penghasilan yang mereka terima menjadi berkurang signifikan, terutama bagi mereka yang berpenghasilan rendah.
2. Ketidakjelasan manfaat bagi pekerja muda
Protes juga datang dari kalangan pekerja muda yang merasa bahwa mereka belum terlalu memikirkan perumahan dan lebih fokus pada kebutuhan jangka pendek seperti pendidikan dan kesehatan. Mereka menganggap kontribusi Tapera sebagai sesuatu yang tidak relevan dengan kebutuhan mereka saat ini.
3. Keraguan terhadap pengelolaan dana
Kepercayaan publik terhadap pengelolaan dana publik sering kali dipertanyakan. Beberapa kalangan khawatir bahwa dana Tapera tidak akan dikelola dengan baik dan transparan, mengingat pengalaman sebelumnya dengan beberapa program serupa yang mengalami penyalahgunaan dana.
4. Keterlibatan pekerja informal
Mengharuskan pekerja informal untuk berkontribusi secara mandiri menimbulkan tantangan tersendiri. Kelompok ini biasanya memiliki penghasilan yang tidak tetap dan kurang stabil, sehingga sulit untuk memberikan kontribusi rutin. Selain itu, mekanisme pemantauan dan pengumpulan dana dari pekerja informal juga dianggap belum jelas.
Pertanyaan yang sering muncul adalah mengapa pemerintah tidak meniru atau mengembangkan kebijakan perumahan yang dulu pernah berhasil pada era Orde Baru, seperti kebijakan Perumnas (Perumahan Nasional) atau bekerja sama dengan BTN (Bank Tabungan Negara) untuk menolong Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Kebijakan-kebijakan tersebut telah terbukti efektif dalam menyediakan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Kerja sama dengan BTN, misalnya, telah banyak membantu MBR dalam mendapatkan pembiayaan rumah dengan skema yang lebih mudah dan terjangkau.
Perhatikan beban finansial pekerja
Selain itu, kebijakan Tapera perlu memperhatikan pekerja yang gajinya sudah dipotong dengan berbagai potongan lain, seperti kredit rumah, motor, dan lain-lain. Saat ini, gaji pekerja juga sudah dipotong untuk BPJS Ketenagakerjaan, yang di dalamnya termasuk jaminan hari tua. Menariknya, 30 persen dari Jaminan Hari Tua dapat digunakan untuk manfaat layanan tambahan, seperti membantu kepemilikan rumah bagi MBR.
Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya sudah ada mekanisme yang bisa mendukung kepemilikan rumah tanpa menambah beban finansial baru bagi pekerja.
Tidak berlaku bagi pekerja yang sudah punya rumah
Kebijakan Tapera juga harus memastikan bahwa kontribusi tidak berlaku bagi pekerja yang sudah memiliki rumah. Hal ini untuk menghindari ketidakadilan dan beban tambahan yang tidak perlu bagi mereka yang sudah mencapai kepemilikan rumah. Dengan demikian, program ini bisa lebih tepat sasaran dan efektif dalam membantu mereka yang benar-benar membutuhkan.
Estimasi jumlah MBR yang dibantu
Penting untuk melakukan simulasi berapa jumlah MBR yang dapat dibantu setelah tahun pertama implementasi Tapera. Simulasi ini bisa memperlihatkan berapa tahun yang dibutuhkan agar MBR bisa memiliki rumah dengan harga tertentu jika gaji mereka dipotong sebesar 3 persen. Misalnya, jika MBR yang bekerja mandiri memiliki penghasilan bulanan sebesar Rp 4 juta, potongan sebesar 3 persen akan menghasilkan Rp 120 ribu per bulan.
Dengan mengumpulkan dana tersebut selama beberapa tahun, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai jumlah yang cukup untuk DP atau bahkan cicilan rumah? Data ini sangat penting untuk menilai efektivitas kebijakan.
Menjamin dana Tapera tidak digunakan untuk menutup defisit APBN
Salah satu kekhawatiran utama adalah bahwa dana yang terkumpul dari Tapera bisa saja digunakan untuk menutup defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sering terjadi. Untuk mencegah hal ini, perlu ada regulasi yang ketat dan transparan yang menjamin bahwa dana Tapera hanya digunakan untuk tujuan perumahan dan tidak dialihkan untuk program lain, baik yang sudah dijanjikan oleh presiden saat ini maupun presiden penggantinya.
Masukan dari berbagai kalangan
Akhirnya, semua masukan dari berbagai kalangan perlu dimasukkan dalam peraturan detail kebijakan Tapera, seperti dalam Keputusan Menteri PUPR. Masukan dari akademisi, praktisi perumahan, pekerja, dan masyarakat umum harus dipertimbangkan secara serius untuk menyusun kebijakan yang komprehensif dan inklusif.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 yang diundangkan pada 20 Mei 2024 menjadi salah satu respon pemerintah terhadap berbagai protes dan masukan yang muncul. Peraturan ini merupakan perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera. Beberapa poin penting dari PP No. 21 Tahun 2024 mencakup:
1. Fleksibilitas Kontribusi: PP ini memberikan keleluasaan lebih dalam menentukan besaran kontribusi, terutama untuk pekerja informal yang memiliki pendapatan tidak tetap. Hal ini diharapkan dapat meringankan beban finansial mereka.
2. Pengelolaan Dana yang Transparan: PP ini juga menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana Tapera. BP Tapera diwajibkan untuk melaporkan secara berkala penggunaan dana dan hasil pengembangannya kepada publik.
3. Fokus pada MBR: PP ini menegaskan bahwa dana Tapera harus digunakan secara prioritas untuk membantu MBR memiliki rumah layak huni. Hal ini bertujuan agar program ini benar-benar tepat sasaran dan memberikan manfaat maksimal bagi mereka yang membutuhkan.
Rekomendasi kebijakan
Untuk meredakan protes dan meningkatkan efektivitas Tapera, beberapa rekomendasi kebijakan dapat dipertimbangkan oleh pemerintah:
1. Sosialisasi dan edukasi
Pemerintah perlu melakukan sosialisasi yang lebih intensif mengenai tujuan, manfaat, dan mekanisme kerja Tapera. Edukasi kepada masyarakat, terutama para pekerja muda dan sektor informal, sangat penting untuk meningkatkan pemahaman dan partisipasi mereka dalam program ini.
2. Fleksibilitas dalam kontribusi
Memberikan fleksibilitas dalam besaran kontribusi, terutama bagi pekerja informal dan pekerja berpenghasilan rendah, dapat membantu meringankan beban finansial mereka. Pemerintah bisa mempertimbangkan skema kontribusi berdasarkan penghasilan atau opsi kontribusi sukarela.
3. Transparansi dan akuntabilitas
Untuk mengatasi keraguan publik terhadap pengelolaan dana, BP Tapera harus menjamin transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana. Laporan keuangan yang diaudit secara berkala dan dipublikasikan secara terbuka dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap program ini.
4. Perlindungan bagi pekerja yang sudah memiliki rumah
Kebijakan Tapera harus mengecualikan pekerja yang sudah memiliki rumah dari kewajiban kontribusi. Hal ini akan menghindari ketidakadilan dan memastikan bahwa dana yang terkumpul digunakan untuk membantu mereka yang benar-benar membutuhkan.
5. Pengembangan program perumahan alternatif
Pemerintah juga bisa mempertimbangkan untuk mengembangkan program perumahan alternatif, seperti kebijakan perumahan nasional (Perumnas) dan kerja sama dengan BTN. Program-program ini telah terbukti efektif dalam menyediakan perumahan bagi MBR dan bisa menjadi pelengkap yang baik bagi Tapera.
Dengan pendekatan yang lebih inklusif, transparan, dan fleksibel, Tapera dapat menjadi salah satu instrumen penting dalam mencapai kesejahteraan sosial dan ekonomi yang lebih merata di Indonesia. Dukungan yang kuat dari semua pemangku kepentingan dan komitmen pemerintah untuk terus memperbaiki program ini akan menjadi kunci keberhasilan Tapera di masa depan.