OLEH Dr. Deni Lubis (Dosen Departemen Ilmu Ekonomi Syariah), Muzdalifah Rahma Dewi (Alumni Departemen Ilmu Ekonomi Syariah), Dr. Alla Asmara (Dosen Departemen Ilmu Ekonomi)
Food waste telah menjadi masalah global yang harus diperhatikan dan diselesaikan untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik. Menurut Food and Agriculture Organization (2011), food waste adalah makanan yang masih bisa dikonsumsi oleh manusia, tetapi tidak dikonsumsi dan dipilih untuk dibuang karena alasan tertentu.
Food waste terjadi pada tahap distribusi dan pemasaran hingga konsumen akhir. Membuang sampah makanan akan berdampak pada hilangnya potensi ekonomi. Diperkirakan sebesar 107-346 triliun rupiah per tahun kehilangan ekonomi yang akan timbul akibat food waste (Bappenas 2021).
Sampah sisa makanan telah menjadi isu global yang persoalannya masih harus ditindaklanjuti. Hal ini diperkuat dengan adanya data negara dengan besarnya jumlah sampah makanan setiap tahunnya. Berdasarkan beberapa data tersebut, Indonesia sering kali menempati peringkat atas dalam permasalahan food waste ini. Indonesia merupakan negara dengan jumlah sampah makanan tertinggi di Asia Tenggara dan memiliki selisih yang cukup besar dengan negara di peringkat kedua, yaitu Filipina (UNEP 2021). Hal ini dapat dilihat dari komposisi sampah sisa makanan yang memiliki jumlah terbesar dengan persentase sebesar 39,57 persen (SIPSN 2021).
Kota Padang merupakan salah satu kota di Indonesia yang memiliki jumlah food waste tertinggi di Provinsi Sumatra Barat yang bersuku Minangkabau, yang tatanan kehidupannya memiliki nilai serta norma adat dan agama Islam, sebagaimana semboyan “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”.
Istilah ini menjadikan simbol masyarakat Minangkabau yang mayoritas beragama Islam, kuat memegang teguh ajaran Islam. Namun, perilaku tabzir atau food waste banyak terjadi di Kota Padang, padahal perilaku tersebut dilarang keras dalam ajaran Islam seperti tertuang dalam QS. Al-Isra: 26-27, bahwa perilaku tabzir adalah perilaku setan dan kufur terhadap Tuhan.
Menurut beberapa literatur, anak remaja atau Generasi Z (usia 13–28 tahunan) menjadi salah satu kelompok usia yang banyak membuang makanan. Hal ini karena kesadaran mereka terhadap lingkungan masih rendah dan tanggung jawab mereka terhadap makanan masih minim.
Remaja merupakan kelompok yang rentan dengan perilaku konsumtif karena semua kebutuhan mereka disiapkan oleh orang tuanya, sehingga mereka tidak merasa susah untuk mendapatkannya dan berakibat kurang tanggung jawab terhadap makanan. Saat ini, Generasi Z memiliki populasi terbesar di Kota Padang dan setiap generasi mempunyai sikap yang berbeda terhadap makanan. Namun, berdasarkan hasil dari beberapa penelitian sebelumnya, Generasi Z merupakan generasi yang perlu dikhawatirkan dalam perilaku terhadap makanan.
Survei, yang dilakukan oleh WWF (2018), menghasilkan 11 persen dari kalangan anak muda dalam rentang usia 18-24 tahun menyatakan bahwa kebiasaan dalam membuang makanan tidak menimbulkan ancaman sama sekali terhadap lingkungan. Menurut FAO, pada tahun 2012 anak berusia 15-24 tahun di Eropa merupakan kelompok usia yang paling sering membuang makanan. Sering kali perilaku membuang makanan ini telah menjadi kebiasaan dan sebagian masyarakat tidak peduli dengan dampak yang akan ditimbulkan dari perilaku tersebut.
Permasalahan food waste dapat ditekan dengan mengadakan langkang-langkah pencegahan. Jika tidak ada program pencegahan food waste, jumlah sampah makanan akan terus bertambah dan bisa berdampak pada kenaikan harga makanan, impor makanan, dan ketahanan pangan negara.
Hal pertama yang harus dilakukan dalam mengurangi food waste adalah dengan mengubah perilaku, ketika perilakunya baik terhadap makanan maka akan sedikit makanan yang dibuang. Perilaku dipengaruhi oleh intensi atau minat dari seseorang, dan intensi dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Dalam penelitian yang kami lakukan dengan menggunakan survei kepada 205 remaja di Kota Padang ditemukan bahwa food waste terjadi diawali dari perilaku yang kurang baik dari remaja. Setelah dilakukan beberapa uji statistik ditemukan bahwa variabel perilaku memengaruhi intensi seseorang untuk tidak membuang makanan.
Ketika konsumen merasa bahwa sikap dalam menghabiskan makanan akan membawa kebaikan, maka akan memberikan dampak kepada intensi konsumen untuk menghabiskan makanan. Jika seseorang merasa tidak enak untuk membuang makanan atau merasa bersalah, konsumen akan memiliki intensi yang lebih tinggi untuk mengurangi sampah makanan.
Hal ini karena perbuatan dipengaruhi oleh intensi atau niat. Seperti yang disampaikan dalam Hadis Riwayat Bukhari, “Sesungguhnya perbuatan itu tergantung kepada niat…” Jadi niat memiliki kedudukan penting terhadap perilaku. Sementara niat sendiri dipengaruhi oleh attitude, seorang yang attitude-nya baik, biasanya niatnya baik dan perilakunya juga baik.
Selanjutnya, variabel yang berpengaruh terhadap intensi tidak membuang makanan adalah perceived behavior control (PBC). Ini adalah persepsi individu terhadap sejauh mana mereka memiliki kontrol atas perilaku tertentu dalam situasi tertentu.
Hasil uji menunjukkan bahwa PBC berpengaruh negatif terhadap niat untuk tidak membuang makanan. Indikator-indikator pada variabel PBC dalam penelitian ini memiliki pengaruh yang nyata terhadap niat seseorang untuk tidak membuang makanan. Artinya, semakin konsumen tidak merasa kesulitan untuk menghabiskan makanan akan berdampak pada niat konsumen untuk menghabiskan makanan.
Sebagai contoh, ketika seseorang dihadapkan pada kondisi sulit untuk menghabiskan makanan karena disuguhi makakan dalam jumlah banyak, atau makanan yang terlalu pedas, dan terlalu masam, maka kesulitan ini membuat seseorang tidak dapat menghabiskan makanan tersebut, walaupun dia tidak ada niat untuk membuang makanan.
PBC secara langsung memengaruhi niat mengurangi jumlah sampah makanan, semakin sedikit hambatan untuk mengurangi sisa makanan, maka semakin kuat niat konsumen untuk tidak menyisakan makanan. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa PBC berpengaruh negatif dan signifikan terhadap intnesi untuk tidak mengabiskan makanan.
Norma agama memiliki hubungan positif dan signifikan terhadap intensi untuk tidak membuang makanan. Semakin baik norma agama yang diyakini oleh seseorang maka akan berpengaruh terhadap intensi untuk tidak membuang makanan. Artinya, tingkat kepercayaan seseorang bahwa di dalam agama terdapat larangan untuk tidak membuang-buang makanan akan menguatkan niat konsumen untuk tidak membuang makanan.
Hal itu sejalan dengan beberapa penelitian yang mengatakan bahwa religiositas dapat mencegah seseorang membuang makanan. Penanaman norma agama pada generasi muda dapat membantu generasi muda untuk mengurangi membuang makanan.
Permasalahan sampah makanan akan semakin menumpuk jika tidak ada program khusus dalam penanggulangannya
Kebiasaan juga berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku membuang makanan. Ketika remaja memiliki habit yang tidak baik terhadap makanan maka akan berdampak pada perilaku membuang makanan. Terdapat hubungan yang signifikan antara variabel kebiasaan dengan perilaku membuang makanan. Ini didukung dengan beberapa penelitian yang menjelaskan bahwa konsumen yang membeli makanan di luar kebutuhan konsumen akan berakhir pada perilaku membuang makanan.
Kesimpulannya, permasalahan sampah makanan akan semakin menumpuk jika tidak ada program khusus dalam penanggulangannya. Permasalahan sampah makanan biasanya diawali dari perilaku buruk terhadap makanan, untuk mengurangi jumlah sampah makanan maka harus diperbaiki perilakunya terlebih dahulu.
Kebiasaan mengambil porsi makanan yang banyak, belanja makanan dalam jumlah banyak, dan perilaku konsumtif berpenaruh buruk terhadap perilaku membuang makanan pada remaja. Pencegahan perilaku membuang makanan pada remaja dapat dilakukan dengan sosialisasi dan edukasi kepada remaja tersebut. Juga bisa menggunakan media sosial untuk kampanye pengurangan limbah makanan, selain itu dapat disisipkan dalam mata pelajaran di sekolah tentang kewajiban menjaga lingkungan dan mengurangi sampah makanan.