OLEH Dr. Anisa Dwi Utami (Staf Pengajar Departemen Agribisnis FEM IPB dan Peneliti CIBEST IPB), Dr. Layli Dwi Arsyanti (Staf Pengajar Departemen Ekonomi Syariah FEM IPB dan Peneliti CIBEST IPB)
Seiring dengan meningkatnya perhatian pemerintah terhadap potensi pengembangan wakaf sebagai salah satu intrumen keuangan sosial syariah bagi perekonomian nasional, lahirlah Undang-Undang wakaf nomor 41 tahun 2004 sebagai landasan hukum pengembangan wakaf nasional. Dengan berlakunya Undang-Undang wakaf tersebut, pemerintah mendirikan Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas pengelolaan, pengembangan, dan pemasyarakatan wakaf di tingkat nasional. Berdasarkan Pasal 49 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, secara eksplisit, BWI mempunyai enam tugas dan wewenang yaitu 1) Melakukan pembinaan terhadap nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, 2) Melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional, 3) Memberikan persetujuan dan atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf, 4) Memberhentikan dan mengganti nazhir, dan 5) Memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf, serta 6) Memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan. Selain BWI, pengelolaan wakaf juga berada dalam ranah Kementrian Agama, khususnya di bawah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat pada direktorat pemberdayaan wakaf dan zakat.
Meskipun wakaf memiliki potensi yang besar, akan tetapi hingga saat ini masih terdapat banyak catatan dalam pengembangan wakaf nasional. Sebagai instrument keuangan syariah sosial, wakaf dengan zakat sebenarnya sangatlah berbeda. Jika melihat dari aspek ibadah, zakat merupakan suatu ibadah yang wajib dan jelas bagaimana penyalurannya. Sementara wakaf yang merupakan suatu ijtihad, cakupan penyalurannya cukup luas dan perlu diatur oleh banyak pihak, tidak hanya sebatas bidang keagamaan saja. Salah satu hal yang cukup krusial adalah terkait dengan tata kelola kelembagaan wakaf itu sendiri. Dalam hal ini, tidak dipungkiri adanya dualisme kelembagaan dalam tata kelola wakaf nasional yang menyebabkan belum efektifnya kebijakan dan program yang dilakukan oleh pemerintah. Pembagian fungsi masing-masing lembaga tersebut dalam pengembangan wakaf belum tertata dengan jelas. Sebagai contoh, misalnya Kementerian Agama sebagai badan legislator atau pembuat aturan dan BWI sebagai eksekutor atau operasionalnya. Maka sejatinya Kementerian Agama tidak perlu lagi mencampuri bagaimana operasional atau aktivitas wakaf tersebut berjalan. Kendati demikian hingga saat ini, Kementerian Agama masih terlibat dalam banyak hal seperti perubahan peruntukkan, penggantian aset wakaf dan perubahannya, dan hal lain sebagainya.
Fenomena tersebut menjadikan BWI berjalan tidak jelas, bagaimana konteksnya sebagai operator. Begitu pula dengan undang-undang yang mengatur apakah BWI berperan sebagai fungsi pembinaan, pengawasan, atau operator. Hal tersebut dilihat karena undang-undang yang berlaku masih tumpang tindih, fungsi besar BWI sebagai badan pengawasan dan pembinaan kemudian juga pengembangan sektor perwakafan, serta berperan sebagai pengelola aset wakaf nasional dan juga internasional. Namun-namun fungsi-fungsi tersebut belum berjalan dengan baik. Konsep yang telah ada seharusnya BWI dapat didorong sebagai nazhir kuasi negara. Apabila terjadi perselisihan atau muncul isu-isu terkait dengan aset-aset wakaf, maka BWI berperan penting sebagai clearing house. Jika terjadi permasalahan penanganannya diambil oleh BWI untuk diselesaikan sampai tuntas atau dalam pengawasan BWI. Seharusnya BWI dapat berperan penting dalam menyelesaikan sengketa dan perselisihan serta memberikan perlindungan terhadap aset wakaf. Namun sangat disayangkan hal tersebut tidak dapat berjalan, karena didalam undang-undangnya tidak dijelaskan secara lebih lanjut apa yang dimaksud dalam nazhir pengelolaan aset wakaf nasional dan internasional.
Kita perlu melakukan benchmark ke negara lain yang memiliki regulasi dan pengelolaan wakaf yang lebih baik. Selain dalam bentuk Kementerian Wakaf, di beberapa negara aktivitas wakaf telah masuk kedalam ranah bank sentral. Sebagaimana bank sentral memiliki 3 fungsi utama, yaitu nilai tukar, inflasi, dan stabilitas makro ekonomi, wakaf sendiri sebagai social fund dapat berperan dalam stabilitas ekonomi makro. Oleh karena itu, BI seharusnya dapat berperan lebih dalam terkait hal tersebut. Apabila terjadi krisis ekonomi tertentu apakah fungsi-fungsi dari wakaf tersebut dapat tetap berjalan dengan baik atau malah sebaliknya.
Selain berkaitan dengan regulasi yang masih tumpang tindih, hal lain yang perlu dievaluasi juga adalah terkait keanggotaan BWI. Dalam UU wakaf disebutkan bahwa keanggotaan BWI berjumlah antara 20-30 orang. Sementara itu, efektifitas dari keanggotaan tersebut yang sebagain besar berasal dari perwakilan organisasi masyarakat nampaknya juga perlu dievaluasi. Keanggotaan BWI nantinya diharapkan terdapat beberapa anggota dari ex officio yaitu pihak-pihak yang bersangkutan dalam menjaga stabilitas ekonomi makro seperti Kementerian Agama, Kementerian Keuangan, dan Bank Indonesia. Dengan demikian jumlah anggota BWI nantinya dapat berkurang sesuai dengan kebutuhan sehingga dapat lebih efektif dan efisien.
Berkaitan dengan pengembangan BWI pada level daerah, juga perlu merujuk pada reformulasi positiong BWI itu sendiri. Jika BWI diberikan fungsi sebagai pengelolaan wakaf, maka dapat dirancang seperti yang ada di negara Malaysia dan beberapa negara muslim, yaitu terdapat nazhir ‘am dan nazhir khos. Sebagai nazhir ’am atau umum itu, BWI hanya berperan secara administratif mencatat aset-aset yang ada di daerah dan melakukan pembinaan dan pengawasan. Sementara sebagai nazhir khos BWI di daerah bertindak sebagai nazhir khusus pengelola aset wakaf di daerah masing-masing. Akan tetapi berkaitan dengan anggaran diperlukan dukungan regulasi yang jelas berkaitan dengan hal ini. Berbeda dengan BAZNAS, Kementrian Dalam Negeri mengeluarkan surat edaran yang menyebutkan bahwa anggaran BAZNAS Daerah dapat mengambil dari APBD Daerah. Tidak adanya peraturan dalam menentukan anggaran yang diberikan kepada BWI Daerah menyebabkan terjadinya ketimpangan pemberian anggaran dari satu daerah ke daerah lainnya. Sebagai contoh, BWI Provinsi Sumatera Selatan hanya mendapat anggaran sebesar 500 juta untuk mengelola wakaf di satu provinsi. Hal ini berbanding terbalik dengan penganggaran dana yang diperoleh BWI Kota Medan yang mendapatkan anggaran sebesar 1,5 miliar untuk mengelola wakaf di kota tersebut. Desain BWI dalam pengembangan wakaf sebagai eksekutor, idealnya adalah dalam bentuk hirarki yang bukan atasan dan bawahan melainkan bersifat koordinatif dengan pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh BWI Pusat, sedangkan BWI di daerah memperoleh mandat untuk operasional wakaf di daerah. Berbagai polemik yang terjadi dalam kelembagaan dan tata Kelola perwakafan nasional sejatinya mengisyaratkan perlunya perubahan pada Undang-undang Wakaf. Akan tetapi, proses amandemen undang-undang nampaknya perlu proses politik yang tidak sederhana. Oleh karena itu, perlu dirumuskan strategi-strategi transisi harus dipersiapkan dalam proses kelembagaan pengelola wakaf dalam kurun waktu mendekat. Tahapan transisi ini sangat penting untuk direncanakan dan dipersiapkan dengan baik dalam menghadapi tantangan pengelolaan wakaf, seperti perencanaan perbankan sebagai nazhir dalam pengelolaan wakaf uang di tahun 2024, dibukanya lembaga pengelola aset sebagai nazhir di tahun 2025, petugas pembuat PPAIW selain KUA di tahun 2024, diakomodirnya transaksi digital dalam bentuk aset digital atau blockchain di tahun 2024, dan mengkonversi nazhir-nazhir perorangan menjadi lembaga dengan harapan nazhir perlembagaan akan semakin meningkat. Wallahu’alam.