OLEH Riad Azkar, Suci Wulandari, dan Maya Noravika (Mahasiswa Pascasarjana Ekonomi Pertanian IPB); Siti Riska Ulfah Hidayanti, MSi (Peneliti International Trade Analysis and Policy Studies-ITAPS); Dr. Sahara (Direktur International Trade Analysis and Policy Studies-ITAPS dan Dosen Departemen Ilmu Ekonomi FEM-IPB)
Kedelai menjadi bahan utama dalam pembuatan tempe dan tahu karena memiliki kandungan protein yang tinggi. Tempe dan tahu juga memiliki nilai gizi yang tinggi dan dapat memiliki masa simpan yang cukup lama jika disimpan dengan benar. Oleh karena itu, tempe dan tahu menjadi pilihan yang praktis dan ekonomis bagi masyarakat Indonesia.
Meskipun kedelai memiliki peran penting dalam pola makan masyarakat Indonesia, produksi kedelai di dalam negeri belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, sehingga negara ini masih mengandalkan impor untuk mencukupi kebutuhan kedelai. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi kedelai dalam negeri mencapai 241.434 ton dengan luas panen seluas 148.869 hektare pada tahun 2022. Sedangkan, jumlah impor pada tahun 2022 yaitu sebesar 2,32 juta ton.
Ketergantungan impor kedelai Indonesia selama lima tahun terakhir sudah mencapai 78,44 persen per tahun. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa jumlah produksi dalam negeri tidak sebanding dengan kebutuhan konsumsi masyarakat Indonesia.
Ada beberapa faktor yang memengaruhi rendahnya produksi kedelai di Indonesia. Salah satunya adalah kondisi lahan yang tidak ideal. Meskipun Indonesia memiliki luas lahan yang cukup besar, tapi tidak semua lahan tersebut cocok untuk ditanami kedelai.
Kedelai membutuhkan kondisi lahan tertentu yang memenuhi beberapa kriteria agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Kriteria pertama, untuk menanam kedelai dibutuhkan tanah subur yang mengandung nitrogen, fosfor, dan kalium. Kedua, kedelai membutuhkan pH tanah antara 6 hingga 7. PH tanah yang terlalu asam atau terlalu basa dapat menghambat penyerapan nutrisi oleh tanaman kedelai serta memengaruhi pertumbuhan dan produktivitas kedelai.
Ketiga, curah hujan minimum 1.000-1.500 mm per tahun, jika kekurangan air selama periode penting pertumbuhan kedelai dapat menghambat produksi dan menyebabkan kegagalan panen.
Sayangnya, beberapa daerah di Indonesia memiliki kondisi lahan yang tidak memenuhi kriteria tersebut. Daerah-daerah dengan iklim kering atau memiliki curah hujan yang rendah juga sulit untuk mengembangkan produksi kedelai secara optimal. Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara memiliki potensi yang baik dalam produksi kedelai karena memiliki tanah yang subur, pH tanah yang sesuai, dan curah hujan yang cukup.
Selain kondisi Indonesia yang tidak dapat menghasilkan produksi kedelai yang optimal dibandingkan dengan negara lain, biaya produksi pada negara-negara pengekspor kedelai, seperti Amerika Serikat, Brasil, dan Argentina, memiliki biaya produksi yang lebih rendah dibandingkan dengan Indonesia.
Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan dalam biaya input produksi, seperti bibit, pupuk, pestisida, dan tenaga kerja. Negara-negara tersebut memiliki akses yang lebih mudah dan murah terhadap input tersebut sehingga biaya produksi menjadi lebih rendah.
Negara-negara pengekspor kedelai umumnya memiliki akses yang lebih baik terhadap teknologi pertanian modern, seperti penggunaan varietas unggul, pengendalian hama dan penyakit yang efektif, penggunaan mesin pertanian yang efisien, serta sistem irigasi yang baik. Penggunaan teknologi yang lebih maju dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi produksi, sehingga mengurangi biaya produksi yang pada akhirnya tentu akan memengaruhi harga produksi kedelai.
Kepemilikan lahan yang luas dan kemampuan produksi yang besar oleh negara pengekspor membuat negara tersebut dapat memanfaatkan skala ekonomi untuk mengurangi biaya produksi. Skala produksi yang besar memungkinkan mereka untuk memanfaatkan mesin dan peralatan pertanian secara efisien, melakukan pengadaan input produksi dalam jumlah besar dengan harga yang lebih murah, dan memperoleh keuntungan dari efisiensi operasional. Hal ini akan berdampak pada harga produksi yang lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara dengan skala produksi yang lebih kecil.
Penulis melakukan riset sederhana dengan model ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average) untuk memproyeksikan harga kedelai di dalam negeri dan harga internasional untuk beberapa bulan ke depan. Harga tersebut didapatkan dari Bappebti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi).
Kami mendapatkan hasil bahwa harga kedelai pada bulan Mei 2024 mengalami peningkatan harga dimana harga tersebut meningkat sebesar Rp 385 dibandingkan harga September 2023 menjadi Rp 15.740. Ramalan peningkatan harga kedelai tersebut bisa disebabkan karena United States Department of Agriculture (USDA) dalam rilisnya menjelaskan, produksi kedelai dan jagung di AS turun sejak September 2023. Sebagaimana diketahui bahwa Amerika Serikat merupakan salah satu eksportir kedelai terbesar di Indonesia.
Transaksi impor kedelai dilakukan dengan menggunakan harga berjangka dengan jangka waktu pengiriman mencapai dua sampai tiga bulan, sehingga jika terjadi lonjakan harga pada kedelai internasional, para importir tidak langsung merasakan dampak lonjakan harga tersebut. Berdasarkan data dari World Bank, harga rata-rata bulanan di AS pada September 2023 mencapai 1.275 dolar AS per bushel/gantang atau Rp 19,76 juta (asumsi kurs Rp 15.502 per dolar AS).
Harga kedelai kemudian meningkat kembali pada Oktober 2023 menjadi 1.310,50 dolar AS atau Rp 20,31 juta. Rata-rata bulan November 2023 terakumulasi sebesar 1.354,75 dolar AS atau Rp 21 juta.
Peramalan peningkatan harga kedelai menyebabkan beberapa pihak berpendapat bahwa Indonesia tetap perlu melakukan impor kedelai untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang tidak dapat diproduksi sendiri. Produksi kedelai dalam negeri saat ini belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang tinggi.
Impor kedelai menjadi solusi untuk menjaga pasokan kedelai yang stabil dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Impor kedelai juga dapat mendukung diversifikasi pangan di Indonesia yang memungkinkan variasi produk pangan yang lebih beragam dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia.
Di sisi lain, ada juga pandangan yang berpendapat bahwa Indonesia harus lebih fokus mengembangkan produksi kedelai di dalam negeri untuk mengurangi ketergantungan pada impor dan meningkatkan kesejahteraan petani kedelai. Lalu, Indonesia juga perlu meningkatkan ketahanan pangan dan mengurangi ketergantungan pada impor.
Produksi kedelai yang lebih mandiri akan memberikan kepastian pasokan dan mengurangi risiko fluktuasi harga di pasar global. Salah satu dampak dalam negeri yaitu petani kedelai akan mendapatkan manfaat ekonomi yang lebih besar.
Meningkatnya produksi kedelai akan memberikan peluang bagi petani untuk meningkatkan pendapatan mereka dan meningkatkan kesejahteraan. Selain itu, pengembangan produksi kedelai juga dapat menciptakan lapangan kerja di sektor pertanian.
Pemerintah telah mendorong peningkatan produktivitas petani kedelai melalui program-program yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi kedelai. Pemerintah menyediakan benih unggul kedelai untuk petani dengan kualitas yang baik dan potensi hasil yang tinggi.
Pemerintah juga memberikan pelatihan dan pendampingan kepada petani dalam hal teknik budidaya kedelai yang baik dan efisien. Kemudian, pemerintah mendukung pengembangan teknologi pertanian yang dapat meningkatkan produktivitas kedelai seperti penggunaan teknologi irigasi yang efisien untuk kepastian pasokan air yang cukup untuk budi daya kedelai.
Perlu diperhatikan bahwa keputusan mengenai tetap melakukan impor kedelai atau mengembangkan produksi kedelai di dalam negeri tidak bisa diputuskan secara sepihak. Hal ini memerlukan pertimbangan yang matang dengan melibatkan berbagai pihak terkait, termasuk pakar pertanian khususnya budi daya kedelai, petani, industri pengolahan kedelai, serta regulator.
Langkah-langkah strategis dengan melakukan integrasi antara impor dengan pengembangan produksi kedelai di dalam negeri dapat menjadi solusi yang optimal untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, meningkatkan kesejahteraan petani, dan mencapai ketahanan pangan Indonesia.