OLEH Dewi Setyawati (Peneliti ITAPS FEM IPB)
Istilah wastra masih awam digunakan dibandingkan apabila kita menyebutkan kain tradisional yang ada di nusantara. Dari bahasa Sansekerta yang berarti sehelai kain, wastra Indonesia tentunya memiliki makna yang lebih karena nilai seni dan budaya yang membentuknya. Sebutlah batik dan tenun dengan ragam motif, ukuran dan bahan yang dihasilkan oleh para pengrajin. Kerajinan yang pada awalnya merupakan usaha turun menurun, kemudian berkembang menjadi kelompok industri tekstil dan produk tekstil. Wastra Indonesia kini banyak diminati khalayak hingga manca negara, peluang ekspor menanti untuk dibidik.
Pengembangan Batik dan Tenun
Batik Indonesia telah menjadi Intangible Cultural Heritage atau warisan budaya tak benda yang diakui oleh dunia. Perkembangan batik banyak terjadi pada masa Kerajaan Mataram yang berlanjut masa Kerajaan Solo dan Yogyakarta. Pusat perkembangan tersebut merupakan daerah santri yang kemudian batik menjadi komoditas yang diperdagangkan oleh pedagang muslim. Wastra lainnya yaitu tenun berkaitan erat dengan aspek estetika, adat, keagamaan dan status sosial. Setiap daerah memiliki penciri motif, bahkan setiap pengrajin pun memiliki kekhasan masing-masing untuk menonjolkan kelebihannya.
Proses pembuatan batik dapat berupa batik tulis, batik cap dan batik kombinasi. Batik tulis secara manual dengan menggunakan canting. Sedangkan batik cap menggunakan cap atau stempel sebagai pengganti canting. Adapun batik kombinasi menyatukan proses proses tulis dan cap. Tenun juga bermacam ragam dilihat dari teknik pembuatannya, seperti tenun ikat dan tenun songket dengan alat tenun gedogan maupun Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM).
Back to Nature
Pengrajin wastra saat ini sudah banyak yang mengusung konsep produk ramah lingkungan. Back to nature, wastra tradisional yang pada awalnya memakai bahan pewarna alami saat ini kembali digunakan. Seperti apakah wastra Indonesia yang disebut ramah lingkungan? Tentunya secara umum adalah usaha tersebut tetap mempertahankan nilai-nilai sustainability dalam aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Permintaan pasar terutama pasar luar negeri atau fora internasional yang ramah lingkungan juga menjadi pertimbangan untuk mengembangkan produk wastra hijau. Pada nilai sosial adalah bagaimana konsep ramah lingkungan dapat meningkatkan nilai tambah dan kesejahteraan pelaku usahanya serta menerapkan inklusivitas. Isu lingkungan disoroti terkait penggunaan bahan kimiawi dapat diatasi melalui pengelolaan limbah dengan baik.
Dalam implementasinya saat ini belum terdapat rincian yang secara spesifik menjelaskan tentang produk hijau untuk kerajinan, termasuk wastra Indonesia. Pada tahun 2022 lalu, Bank Indonesia dengan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB melakukan Penyusunan Kajian Model Bisnis Pengembangan UMKM Hijau Bank Indonesia. Kemudian pada tahun 2023 ini dilanjutkan untuk melakukan Pilot Project dan Pedoman Model Bisnis UMKM Hijau Bank Indonesia. Harapannya, pedoman tersebut dapat diimplementasikan untuk menjadi salah satu bagian pengembangan ekonomi hijau di Indonesia.
Peluang Pasar
Peluang pasar wastra Indonesia masih terbuka baik domestik maupun ekspor. Dari data Kemenperin, jumlah industri batik di Indonesia skala besar sedang tahun 2021 sebanyak 208 dan skala UMKM sebesar 2951 usaha. Provinsi Jawa Tengah memberikan kontribusi yang besar bagi industri batik (51,92%) maupun pada skala UMKM (74,25%). Dari sentra produksi di Jawa Tengah, aliran pemasaran ke daerah lain baik Pulau Jawa maupun luar Jawa. Pengrajin batik luar Pulau Jawa memesan motif daerah asal kepada pengrajin di Pulau Jawa untuk selanjutnya dijual kepada konsumen akhir rumah tangga maupun perkantoran. Untuk wastra tenun, relatif lebih local centris, dengan adanya Indikasi Geografis (IG) memastikan bahwa produk tenun berasal dari wilayah tersebut.
Permintaan dari luar negeri biasanya diperoleh dari pameran-pameran internasional, pencarian melalui media sosial dan warganegara Indonesia yang berada di luar negeri. Untuk pengrajin batik skala UMKM terbatas pada permintaan dari wisatawan yang datang. Berdasarkan data Kemenperin nilai ekspor batik dan produk batik pada tahun 2022 sebesar USD 64,56 juta yang mengalami peningkatan 30,1% dibanding tahun 2021. Adapun pada periode Januari-April 2023, nilai ekspor batik dan produk batik sebesar USD26,7 juta, dan pada tahun 2023 ditargetkan hingga USD 100 juta.
Tantangan ke Depan
Tantangan ke depan adalah kompetitifnya pasar sehingga kinerja wastra Indonesia harus dicermati. Pasca pandemi Covid-19 wastra mulai bergerak kembali. Masuknya wastra ke dalam trend fesyen industri kreatif juga menjadi peluang pasar. Apa yang harus dilakukan?
Dalam aspek produksi, permasalahan yang dihadapi oleh pelaku usaha wastra diantaranya terkait dengan sumberdaya manusia. Pengrajin batik dan tenun pada umumnya sudah memiliki usia tua. Berkurangnya minat dari tenaga kerja muda menjadi pengrajin sehingga sulitnya mencari tenaga kerja. Hal yang bisa dilakukan seperti membuat club wastra bagi anak-anak muda dengan memberikan pelatihan dan aktivitas lain yang dapat menarik minat.
Tantangan wastra Indonesia pada era digitalisasi adalah pemanfaatan digitalisasi yang dapat memberikan efisiensi dan efektivitas proses produksi. Hal yang dapat dilakukan adalah pemakaian digital misalnya untuk membuat desain motif sehingga lebih cepat. Pemotifan tenun endek ataupun tenun songket saat ini pun sudah dapat diaplikasikan dengan menggunakan digital. Memungkinkan jika “Gen Z milenial” yang inovatif dan kreatif didorong untuk sebagai konten creator pemasaran. Story telling yang dapat menceritakan rangkaian proses produksi bisa dimasukkan dalam media promosi pemasaran digital seperti pada media sosial maupun website.
Dalam pemasaran, promosi melalui pameran masih perlu ditingkatkan untuk mendekatkan kepada konsumen. Beberapa pelaku usaha wastra mengakui bahwa promosi dan pameran memberikan kontribusi yang signifikan dalam pendapatan. Beberapa event pameran diselenggaran pada tingkat lokal, nasional dan internasional. Dukungan dari berbagai pihak untuk membantu pelaku usaha dengan memberikan kesempatan pameran. Misalnya saja melalui Trade Expo Indonesia yang mengundang buyer luar negeri. Binaan dari kementerian lembaga, perseroan, perbankan dan lainnya difasilitasi setelah melalui kurasi produk. Pelaku usaha dapat langsung melakukan negosiasi bahkan membuat MoU kesepakatan kerjasama. Jenis pameran lainnya dapat pula menggandeng para desainer terkenal dan juga endorsement dari public figure.
Tantangan lain adalah produk tekstil dan produk tekstil dari luar yang dapat menggantikan wastra. Dalam hal ini, perlu upaya untuk lebih mendekatkan wastra kepada masyarakat. Dukungan pemerintah daerah maupun pusat seperti himbauan pengenaan pakaian tradisional pada hari atau event tertentu dapat dilakukan. Tantangan 3K (kualitas, kuantitas dan kontinuitas) dapat diantisipasi dengan penguatan kerjasama antar pelaku usaha. Adanya semacam koperasi produsen wastra menjadi salah satu alternatif yang tepat apabila semuanya dapat bersinergi. Kelembagaan ini dapat mendukung apabila ingin mengembangkan pasar ekspor ke depan. Dalam pasar ekspor untuk menjaga kontinuitas maka ketersediaan bahan baku sangat berperan penting. Pada TPT, termasuk wastra, kain dan benang sebagai bahan baku utama yang digunakan dalam produksi masih banyak diimpor. Demikian pula untuk kebutuhan modal kerja atau pembiayaan, serta pemenuhan aturan maupun persyaratan oleh buyer apabila akan melakukan ekspor produk. Intinya dengan membuat satu kelembagaan bersama dapat meningkatkan posisi tawar para pengrajin wastra. Dukungan semua pihak sangat dibutuhkan untuk pengembangan wastra Indonesia.