Dr. Burhanuddin Ketua  Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB University

Seorang wirausaha seringkali diasosiasikan sebagai seorang pengusaha atau pebisnis, sehingga menumbuhkembangkan wirausaha identik dengan menumbuhkembangkan pengusaha.  Jika demikian, bukankah pengusaha Indonesia sudah sangat berkembang, dari pengusaha lokal, nasional dan pengusaha internasional. Bahkan, jumlah pengusaha Indonesia hampir sepertiga populasi penduduk Indonesia, mulai dari skala usaha mikro, kecil, menengah, hingga besar.  Lalu bagaimana dengan wirausaha Indonesia?

Menurut Kementerian Koperasi dan UKM, jumlah wirausaha kurang dari sepersepuluh jumlah pengusaha atau sekitar 3,47% dari jumlah penduduk Indonesia.  Ini berarti bahwa wirausaha berbeda dengan pengusaha, baik secara definisi maupun aktivitas dan karakter orangnya.  Seorang wirausaha mampu mentransformasi dan memperbaharui perekonomian dunia serta konsepnya telah ada 200 tahun lalu (Bygrave, 1998).  Menurut UNDP (1999), kewirausahaan didefinisikan sebagai proses inisiatif proaktif menumbuhkan usaha-usaha baru dengan potensi pertumbuhan tinggi.

Pengembangan kewirausahaan yang efektif mengintegrasikan berbagai program, pengembangan produk dan jasa secara komprehensif, fleksibel, sensitif pada budaya, dan terpadu, serta kolaborasi pemangku kepentingan. McClelland (1961) menyatakan bahwa wirausaha merupakan individu yang menjalankan kendali atas alat produksi dan menghasilkan lebih dari yang dapat dia konsumsi untuk dijual (atau ditukar) agar individu (atau rumah tangga) memperoleh pendapatan.  Istilah wirausaha diungkapkan pertama kali oleh seorang ekonom Irlandia, keturunan Perancis, Cantillon (1697-1734), wirausaha adalah ahlinya mengambil risiko dalam menghasilkan produk atau proses atau organisasi baru.   Secara lebih khusus dinyatakan bahwa wirausaha adalah pencipta kekayaan  melalui penciptaan inovasi dan lapangan kerja  serta pusat pertumbuhan ekonomi (Bygrave, 1987).  Dengan kata lain, wirausaha itu memberikan alternatif bagi tumbuhnya ekonomi sekaligus redistribusi kekayaan yang wajar dan adil yang menurut Nikels, Mchugh dan Mchugh (2005) merupakan salah satu kreator kesejahteraan.

Oleh karena itu, jumlah wirausaha berbanding lurus dengan pembangunan ekonomi Indonesia, secara lebih konkrit  peranan wirausaha akan semakin besar di masa yang akan datang.    Makin banyak, makin baik dan makin kuat Indonesia secara ekonomi.   Pertama, karena wirausaha menciptakan lapangan kerja baru yang mampu menurunkan angka pengangguran yang selalu menjadi kesulitan pemerintah. Kedua,  dalam konteks  politik-ekonomi, wirausaha juga  sebagai sumber kelas menengah baru (new middle class) dimana kelas menengah baru ini akan  mendorong tumbuhnya  ekonomi secara berkesinambungan dan sekaligus  menjamin terciptanya  demokrasi yang sehat.  Ketiga, wirausaha  dapat diandalkan sebagai sumber penghasil devisa negara yang lebih merata, baik kecil maupun menengah dan besar.

Faktanya, Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar dan memiliki sumberdaya alam nomor 5 terbesar di dunia, masih dihadapkan pada persoalan pengangguran pada saat mendapatkan bonus demografi.  Menurut data Kementerian Tenaga Kerja, 12% pengangguran di Indonesia didominasi oleh lulusan Perguruan Tinggi.  Hal ini mengindikasikan bahwa harus ada perubahan struktur profil lulusan Perguruan Tinggi, yang awalnya didominasi untuk “bekerja” (di pemerintah, perusahaan, dan LSM) dan “melanjutkan pendidikan” ke jenjang selanjutnya, bergeser lebih dominan menjadi “wirausaha”. Maka dari itu, menumbuhkembangkan generasi baru wirausaha melalui Perguruan Tinggi sangat efektif, karena semua Perguruan Tinggi memiliki kemampuan untuk mengembangkan para profesional yang menghasilkan pemikir-pemikir strategik yang memiliki tingkat keberhasilan dalam kancah perubahan lingkungan global. Sebagai akademisi harus mengakui bahwa kewirausahaan adalah seni dan ilmu, sehingga berkontribusi dalam membangun teori yang melahirkan pemikir-pemikir reflektif

(Jack dan Anderson, 1999)

Untuk menghasilkan lulusan “wirausaha”, dimulai dari rancangan kurikulum yang mengakomodasi pendidikan kewirausahaan, yakni kurikulum yang mampu menstimulasi kompetensi wirausaha, meliputi mengambil inisiatif, menjadi proaktif, menghadapi resiko dan implementasi ide. Juga, menstimulasi kompetensi manajemen, meliputi perencanaan, pengambilan keputusan, komunikasi dan mengambil tanggung jawab. Selain itu, menstimulasi kompetensi sosial, meliputi kerjasama, membangun jejaring, melaksanakan peran baru. Dan, menstimulasi kompetensi personal (individu), meliputi percaya diri, motivasi untuk berprestasi, berpikir kritis dan belajar mandiri. Meskipun tidak menjamin semua mahasiswa menjadi wirausaha, namun belajar kewirausahaan dapat menjadi pemikir wirausaha (entrepreneurial thinker) atau sarjana yang berwawasan kewirausahaan.  Menurut Kuratko (2005), pendidikan kewirausahaan telah tumbuh secara eksponensial di lembaga pendidikan tinggi di seluruh dunia. 

Apakah pendidikan kewirausahaan hanya untuk bisnis? Ternyata tidak, seorang dengan semangat, pola pikir dan karakter wirausaha tidak selalu memiliki pekerjaan sebagai pemilik bisnis, dengan kata lain tidak semua pengusaha atau pebisnis bisa disebut wirausaha.  Juga, orang dengan ciri wirausaha bisa berada dalam berbagai lapangan pekerjaan, namun mereka memiliki sebuah persamaan, yaitu mampu membuat perbedaan, perubahan dan pertumbuhan positif dalam profesi dan pekerjaannya.  Dengan demikian, wirausaha tidak identik dengan pebisnis, begitu juga sebaliknya.  Barakat dan Hyclak (2009) menunjukkan bahwa dengan terhubungnya antara Universitas Cambridge dan Pusat Pembelajaran Kewirausahaan (center for entrepreneurial learning) telah memberikan kontribusi signifikan dalam penumbuhan wirausaha-wirausaha baru, baik yang berkiprah di dunia bisnis maupun di pemerintahan (intrapreneur) dan masyarakat (social entrepreneur).  Weber et al. (2009) merekomendasikan untuk memasukkan kewirausahaan ke dalam kurikulum pendidikan, karena dengan meningkatkan aktivitas kewirausahaan di perguruan tinggi, maka mahasiswa terbukti memperbaharui keyakinannya untuk menjadi entrepreneur di berbagai profesi.  

Perguruan Tinggi memiliki kapasitas menumbuhkembangkan wirausaha karena memiliki jaringan dan kemitraan dengan lembaga bisnis, baik perusahaan publik, swasta maupun pemerintah untuk membangun kolaborasi dan interaksi dalam rangka menghubungkan kegiatan pendidikan, penelitian dan pengembangan teknologi, sosial dan ekonomi (Guerrero & Urbano, 2012).  Ilmu kewirausahaan lebih dekat dengan ekonomi daripada ke bisnis.  Kewirausahaan menurut Ekonom adalah sebagai berikut:

  1. Richard Cantillon (1755) pencetus istilah wirausaha menyebutkan bahwa inti dari kegiatan entrepreneur adalah menanggung risiko. 
  2. Jean-Baptiste Say (1810): Wirausaha adalah seorang koordinator produksi dengan kemampuan manajerial.  The pivot on which everything turns, pusat dari bergeraknya segala sesuatu.   Di tangan seorang wirausaha, sesuatu yang masih bersifat abstrak, bisa diwujudkan menjadi sesuatu yang bisa dinikmati orang banyak. 
  3. Joseph Schumpeter (1910) mendefinisikan wirausaha sebagai seorang inovator yang kreatif, karena memilih cara yang berbeda dengan orang kebanyakan.

Huber et al. (2012) menyimpulkan bahwa pendidikan kewirausahaan lebih efektif mempengaruhi aspek non-kognitif dari pada aspek kognitif, pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi sudah menjadi suatu keharusan. Oleh karena itu, kurikulum kewirausahaan di Perguruan Tinggi menurut Quality Assurance Agency (QAA) of Higher Education (2012) harus mencakup tiga aspek untuk memberikan penyadaran, pemahaman dan menumbuhkembangkan wirausaha, yaitu: Pertama, pembentukan pola pikir kewirausahaan (entrepreneurial mindset) yang terdiri dari: kepribadian dan identitas sosial; ambisi, motivasi dan tujuan; kepercayaan diri dan resiliensi; disiplin diri dan pengetahuan diri; menyukai tantangan untuk mencapai hasil; toleransi terhadap ketidakpastian, risiko dan kegagalan; nilai-nilai pribadi: kesadaran etika, sosial dan lingkungan. Kedua, pembentukan kemampuan kewirausahaan (entrepreneurial capability) yang terdiri dari: kreativitas dan inovasi; pengenalan peluang, penciptaan dan evaluasi; pengambilan keputusan yang didukung oleh analisis dan penilaian kritis; implementasi gagasan melalui kepemimpinan dan manajemen; refleksi dan tindakan; kemampuan interpersonal; keterampilan komunikasi dan strategi. Ketiga,  efektivitas kewirausahaan (entrepreneurial effectiveness) yang terdiri dari: pengenalan diri dan kemandirian; pencapaian dan pendekatan tujuan-tujuan; menerapkan ide-ide kreatif dan inovatif; menghasilkan pilihan bisnis dan karir; melakukan penciptaan usaha-usaha baru; menghargai dan menciptakan berbagai bentuk nilai; mengidentifikasi dan strategi pencapaian dari target-target pasar.
Jadi, generasi baru wirausaha dapat tumbuh jika Perguruan Tinggi memasukkan kewirausahaan dalam kurikulumnya. Sebagai contoh, Perguruan Tinggi paling inovatif, IPB University, telah mulai membangun kurikulum kewirausahaan sejak tahun 2005 dengan memasukkan kewirausahaan sebagai salah satu pilar pendidikannya.  Lima Pilar Pendidikan IPB University adalah (1) Academic professionalism, (2) Social awareness, (3) Environmental concern, (4) Entrepreneurships, dan (5) Moral and ethics.  Kelima pilar ini bertujuan untuk membentuk mahasiswa IPB menjadi sumberdaya manusia handal yang profesional, memiliki kepekaan sosial dan kepedulian lingkungan yang tinggi, berjiwa wirausaha yang dilandasi dengan moral dan etika yang baik.  Akhirnya, pendidikan yang bisa membangun bangsa dan negara untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sekaligus percepatan menumbuhkembangkan generasi baru wirausaha adalah pendidikan kewirausahaan

sumber: https://republika.id/posts/43349/menumbuhkembangkan-generasi-baru-wirausaha

Related Posts