Eka Wulandari, Ressy Tri Wulandari, Ratna Nurlita (Mahasiswa Departemen Manajemen FEM IPB University) Ardina Rahmi Yanti (Mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, FEMA IPB University)Hardiana Widyastuti (Dosen Departemen Manajemen, FEM IPB University)
Perkembangan media sosial di Indonesia semakin masif yang dilihat dari laporan Hootsuite (We Are Social) pada tahun 2022 pengguna media sosial aktif Indonesia mencapai 191,4 juta. Kemasifan ini mendorong kreativitas tanpa batas yang menghasilkan berbagai macam konten yang dapat dengan mudah diakses melalui media sosial. Namun, banyaknya konten tidak selalu menunjukan tingkat kualitas dan memberikan dampak yang positif bagi masyarakat secara umum. Beberapa jenis konten yang ditemukan pada media sosial lebih mengarah ke hal yang memberikan dampak negatif bagi masyarakat. Salah satu diantara banyak konten tersebut adalah konten yang mengarah pada eksploitasi kemiskinan atau disebut poverty porn content. Beberapa konten yang mengarah pada eksploitasi kemiskinan adalah konten live streaming di TikTok dan konten bagi-bagi uang yang banyak ditemukan di YouTube.
Poverty porn dalam screen industry mengarah pada jenis media apapun yang mengeksploitasi kondisi kemiskinan seseorang sebagai sajian hiburan bagi penonton (Roenigk,2014). Poverty porn juga merujuk pada segala jenis media, baik ditulis, difoto, atau difilmkan, yang mengeksploitasi kondisi masyarakat miskin dengan tujuan membangkitkan simpati dan meningkatkan sumbangan atau dukungan untuk tujuan tertentu (Collin, 2009). Bentuk konten eksploitasi kemiskinan yang sering dijumpai di media sosial diantaranya seperti konten mengemis gift di TikTok, tes kebaikan dimana mengetes kebaikan orang yang menjadi target konten jika orang yang diuji akan memberikan dengan ikhlas kepada orang yang seperti peminta minta, jikalau memberi maka orang tersebut akan diberi uang sebagai hadiah atas kebaikannya, kemudian tes kejujuran artinya konten yang mengetes kejujuran orang misalkan mengaku uang yang jatuh bukan miliknya maka orang tersebut berpeluang mendapatkan uang sebagai hadiah atas kejujurannya serta masih banyak konten sejenis lainnya yang bermunculan di media sosial. Konten tersebut dapat membangkitkan simpati dan cenderung mendapatkan ratusan hingga jutaan views di media sosial. Setidaknya terdapat lima kanal YouTube besar yang telah mengunggah konten yang menunjukkan kemiskinan seseorang. Masing-masing kanal setidaknya telah mengunggah rata-rata 50 video. Apabila diasumsikan satu video membantu satu masyarakat miskin, dengan jumlah masyarakat miskin di Indonesia pada tahun 2022 yang mencapai 26,16 juta (BPS, 2022) maka hanya 0,001 persen masyarakat miskin yang terbantu dari adanya konten tersebut.
Fokus konten poverty porn sendiri adalah menunjukkan kemiskinan dengan tujuan mengumpulkan simpati dan meningkatkan rating. Dalam masyarakat, isu ini ditanggapi pro dan kontra dengan munculnya pendapat yang berbeda di tengah masyarakat. Beberapa orang berpendapat bahwa konten yang menunjukkan kemiskinan mampu membangkitkan kesadaran mengenai isu tersebut sehingga keberadaannya dibutuhkan. Sementara beberapa yang lain menganggap bahwa konten tersebut hanya mengeksploitasi orang tidak mampu dan memberikan keuntungan besar bagi satu pihak yaitu pembuat konten. Dibuktikan dengan content creator dalam satu video saja bisa mendapatkan ratusan hingga jutaan views tentunya semakin besar views semakin besar penghasilan yang didapatkan.
Berdasarkan riset terhadap 394 responden pengguna media sosial di wilayah Jabodetabek, rata-rata frekuensi menonton konten eksploitasi kemiskinan adalah 4 kali per minggu dengan tes kejujuran sebagai contoh konten yang paling banyak ditonton responden. Responden dalam sehari cenderung menghabiskan waktu 3,4 jam untuk berselancar di media sosial dengan TikTok sebagai aplikasi pertama yang paling sering digunakan. Responden menghabiskan waktu di media sosial dengan kegiatan menonton video atau reels. Hasil riset dari 394 responden menunjukkan persepsi negatif masyarakat terhadap konten poverty porn. Hasil ini ditandai dengan hasil keseluruhan responden yang memiliki persepsi yang rendah terhadap poverty porn. Dari hasil persepsi tersebut, masyarakat berpandangan bahwa konten poverty porn tidak bermanfaat, kurang mendidik, mengarah pada settingan, dan dikhawatirkan mendorong seseorang memiliki mental miskin.
Ditinjau dari segi ketertarikan, sebanyak 58 persen masyarakat juga memiliki ketertarikan yang tergolong rendah terhadap konten poverty porn. Ketertarikan dalam riset ini tidak dihitung berdasarkan jumlah views, like, dll. tetapi ketertarikan responden terhadap konten eksploitasi kemiskinan dilihat dari dampaknya kepada masyarakat terhadap pengentasan kemiskinan di Indonesia. Didukung hasil riset bahwa kebanyakan responden melihat konten tersebut dikarenakan muncul di beranda ataupun FYP. Anggapan yang muncul dari responden adalah bahwa konten tersebut tidak membantu dalam mengentaskan kemiskinan, sebaliknya justru hanya menguntungkan satu pihak yaitu pembuat konten. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya pendapatan yang mampu diperoleh pembuat konten dari video dengan tema kemiskinan. Misalnya, video dari salah satu youtuber ternama di Indonesia yang kerap menjadikan kemiskinan sebagai konten telah ditonton lebih dari lima juta kali. Perhitungan melalui laman Influencer Marketing Hub mencatatkan penghasilan yang mengalir dari satu video tersebut dapat mencapai sekitar Rp147.000.000,00. Terakhir, hasil riset juga menunjukkan bahwa semakin rendahnya persepsi dan ketertarikan masyarakat terhadap konten tersebut semakin masyarakat setuju untuk menghapuskan konten poverty porn. Konten eksploitasi kemiskinan memang membantu secara finansial akan tetapi hanya bersifat sementara dan dalam konteks pengentasan kemiskinan dengan mengandalkan bantuan dari content creator belum bisa mengentaskan masalah kemiskinan yang kompleks di Indonesia.
Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah menangguhkan 58 konten live streaming eksploitasi kemiskinan yang tayang di beberapa media sosial. Di sisi lain, konten berbagi uang yang juga kerap mengarah pada poverty porn harus mempertimbangkan banyak hal sebelum konten tersebut ditayangkan, salah satunya pertimbangan terkait kebijakan privasi “korban” konten. Hal ini dikarenakan content creator kerap kali melakukan pengambilan gambar berbagi uang tanpa seizin “korban”. Pernyataan ini juga didukung dengan hasil wawancara terhadap salah satu penerima bantuan uang yang dibagikan salah satu youtuber dimana tidak ada perizinan terkait untuk menayangkan wajah dan kondisi penerima tersebut.
Menjamurnya konten poverty porn sudah semestinya menjadi perhatian seluruh pihak di Indonesia. Pemerintah selaku pembuat regulasi dapat mengatur tayangan apa saja yang layak untuk ditayangkan dan bertindak tegas terhadap kemunculan eksploitasi atau kegiatan mengemis baik secara online atau offline yang memanfaatkan orang lanjut usia, anak, penyandang disabilitas, atau kelompok rentan lainnya. Content creator dengan segala kreativitasnya juga harus bijak dalam menciptakan konten dengan hanya memikirkan keuntungan besar bagi dirinya dan merugikan bagi orang lain. Selain itu, dengan adanya peraturan mengenai menjaga privasi dan etika dalam membuat konten di Indonesia sudah sepatutnya diperhatikan oleh content creator untuk menjadi pedoman dalam pembuatan konten. Terakhir, masyarakat selaku agen kontrol sosial juga memiliki peran yang sangat penting dengan turut mengawasi dan mengendalikan konten di media sosial sehingga tidak ada lagi konten yang merugikan khususnya bagi kelompok-kelompok rentan.