Oleh M Syaefudin Andrianto, Dosen Departemen Manajemen FEM IPB dan Mahasiswa Doktor Manajemen dan Bisnis SB IPB
Kontribusi Pariwisata ke GDP
Sektor pariwisata memberikan kontribusi peningkatan pendapatan devisa, pajak, penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan industri terkait termasuk UMKM. Berdasarkan data Indonesia Tourism Satellite Accounts 2016-2020, Sektor pariwisata telah memberikan Nilai Tambah Bruto /Gross Value Added Tourism Industries (GVATI) Indonesia tahun 2016-2019 berkisar pada angka 7% dan turun menjadi 4.95% pada tahun 2020 karena Pandemi Covid 19. Pada tahun 2019, Kontribusi pengeluaran Industri wisata domestik mencapai Rp 1.454 Triliun rupiah dan wisatawan asing mencapai Rp279 Triliun. Kemudian pengeluaran turun tahun 2020 menjadi Rp 674 Triliun untuk wisatawan domestik dan 71 Triliun untuk wisatawan asing (BPS, 2023). Pandemi Covid 19 menyebabakan orang dilarang bepergian sehingga industri pariwisata dan turunannya seperti hotel dan transportasi adalah sektor yang paling terdampak. Menurut organisasi turis global, UNWTO (United Nation World Tourism Organization), diperlukan waktu 2,5- 4 tahun agar kondisi pariwisata pulih seperti tahun 2019.
Dalam konteks perdagangan internasional, khususnya neraca pembayaran Negara, Belanja wisatawan asing dikelompokan kedalam penerimaan negara beserta ekspor produk, transportasi, Dividen dan bunga Foreign Direct Investment (FDI) investasi di luar negeri serta investasi asing (Cateora et all,2010). Karena masuk kedalam penerimaan, beberapa negara mengelola dan mempromosikan destinasi wisata secara sistematis seperti Perancis, Spanyol, USA, Tiongkok, Italia dan Turki. Belanja wisatawan asing menggerakan perekonomian lokal dan menumbuhkan industri jasa.
Jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia dibandingkan dengan negara ASEAN lain masih jauh tertinggal khususnya Thailand dan Malaysia (Tabel 1). Indonesia hanya menempati urutan ke 4 setelah Singapura selama 2017-2019. Jumlah wisatawan asing sebelum pandemi 2019 yang berkunjung ke Indonesia kurang dari ½ yang berkunjung ke Thailand dan setara dengan 60% dari Malaysia. Dilihat dari segi luas wilayah, jumlah destinasi wisata dan keanekaragaman budaya, Indonesia mestinya bisa lebih banyak menarik wisatawan asing. Sehingga, sebagai bagian dari penerimaan negara, maka perlu dirancang strategi untuk meningkatkan kunjungan wisatawan asing.
Tabel 1 Jumlah Kunjungan wisatawan asing di ASEAN 2017-2020 (dalam Jutaan)
Negara | 2017 | 2018 | 2019 | 2020 |
Thailand | 35.6 | 38.2 | 39.9 | 6.7 |
Malaysia | 25.9 | 25.8 | 26.1 | 4.3 |
Singapore | 17.4 | 18.5 | 18.9 | 2.7 |
Indonesia | 14 | 15.8 | 16.1 | 4.1 |
VietNam | 12.9 | 15.5 | 18 | 3.7 |
Phillipines | 6.6 | 7.1 | 8.3 | 1.5 |
Cambodia | 5.6 | 6.2 | 6.6 | 1.3 |
Laos | 3.9 | 4.2 | 4.8 | 0.9 |
Myanmar | 3.4 | 3.5 | 4.4 | 0.9 |
Brunei Darussalam | 0.2 | 0.2 | 0.3 | 0.1 |
Total | 125.7 | 135.2 | 143.5 | 26.1 |
Peluang GMT
Penghargaan GMTI (Global Muslim Travel Index) yang menempatkan Indonesia dan Malaysia menjadi destinasi wisata muslim terbaik tahun 2023 yang diselenggarakan oleh Mastercard-Crescent Rating (Republika, 2 Juni 2023) merupakan momentum strategis untuk meningkatkan kunjungan wisatawan muslim global. Apresiasi ini tentu menggembirakan dan memberikan semangat untuk lebih membangun industri pariwisata nasional. Indonesia yang dikenal sebagai negara penduduk muslim terbesar di dunia memiliki keunggulan dan positioning yang lebih kuat untuk membidik Global Muslim Traveler (GMT). GMT adalah wisatawan muslim lintas negara, seiring dengan perkembangan bertambah populasinya.
Dalam laporan GMTI 2023, Potensi Global GMT pada tahun 2028 mencapai 230 juta orang dengan potensi USD 225 Milyar. Segmen yang dapat dianalisis dari pasar GMT antara lain Global Woman, Gen Z dan Millenial, serta segmen digital dan bisnis. Tujuan GMT ini bukan hanya negara mayoritas Islam yang tergabung dalam Organization Islamic Countries (OIC) tapi juga negara non OIC. Negara non OIC yang menjadi destinasi top GMT antara lain Singapura, UK, Taiwan, Thailand, Hongkong dan Jepang.
Industri yang terpengaruh oleh GMT antara lain transportasi, makanan dan minuman, Horeka (hotel, restoran dan catering), IT atau digital aplikasi, Sistem keuangan termasuk bank, Fashion, travel agen, atraksi kultural dan obyek wisata. GMT tidak hanya mengunjungi obyek wisata Islami tapi juga yang bersifat alami dan wilayah mayoritas non muslim seperti di Indonesia seperti Bali dan obyek destinasi agama lain seperti Candi Borobudur. Yang perlu dipastikan adalah terpenuhinya akomodasi Sholat dan kehalalan atau yang disebut dengan muslim friendly.
Apa yang diukur oleh GMTI dalam meranking 138 negara tujuan wisata GMT yang meliputi 5 benua? Secara umum GMTI 2023 mengukur 4 aspek yaitu Pelayanan Jasa (40%), Lingkungan (30%), Komunikasi (20%) dan Akses (10%). Pelayanan jasa antara lain terdiri dari kehalalan makanan, tersedianya tempat sholat, airport, heritage dan atraksi kultural, serta hotel. Sedangkan Linkungan terdiri dari iklim, keamanan, larangan-larangan terkait kepercayaan. Komunikasi terdiri dari kelancaran komunikasi, pemasaran tujuan wisata, dan stakeholder awareness. Akses terdiri dari konektivitas, infrastruktur transport dan persyaratan Visa.
Tantangan menarik GMT
Secara umum Indonesia menghadapi 6 tantangan untuk menarik minat GMT antara lain (1) image terkait persepsi potensi Islam radikal dan intoleran. Hal ini menimbulkan ketakutan dan kecemasan bagi wisatawan baik muslim maupun non muslim. Peristiwa Bom Bali yang memakan koban jiwa 202 WNI dan WNA dan 209 orang luka-luka menjadi catatan tersendiri terkait keamanan. Disisi lain ini juga kesempatan menunjukan wajah destinasi wisata yang ramah, penuh keanekaragaman budaya dan agama yang dapat berdampingan secara harmonis. Beberapa waktu yang lalu sempat ada penolakan dari masyarakat terkait usulan Branding “Malang Halal City” (detik.com, 18/02/2022). Komunikasi dan promosi esensi muslim friendly lebih penting daripada hard campaign wisata halal. (2) Tantangan terkait dengan awareness pelaku usaha bahwa GMT memerlukan sarana ibadah sholat 5 waktu saat bepergian, makanan-minuman halal dan fashion ataupun pemandangan yang menutup aurat. Tidak berarti semua fasilitas dalam suatu obyek wisata ataupun kota harus halal tetapi dapat dipisahkan ataupun ada tanda larangan untuk muslim bila hal tersebut tidak halal. (3) Peran agen perjalanan juga penting dalam mempromosikan tujuan wisata kalaupun ada wisatawan muslim yang mengunjungi tempat yang mayoritas bukan muslim seperti di Bali dapat menyusun itinenary muslim friendly. (4) Penyiapan SDM yang memahami hospitality management termasuk penerapan CHSE (Cleanliness, Health, Safety, and Environmental sustainabilty). Hospitality Management sangat penting karena pada hakekatnya manusia ingin dilayani, pelayanan yang tulus akan menimbulkan respek dan keinginan untuk berkunjung Kembali. CHSE merupakan pemberian sertifikat kepada usaha, destinasi dan produk pariwisata sebagai jaminan kepada wisatawan bahwa usaha tersebut telah menerapkan standar protokol kesehatan yaitu pelaksanaan Kebersihan, Kesehatan, Keselamatan, dan kelestarian lingkungan. (5) Sertifikasi ataupun garansi halal. Kehalalan produk menjadi perhatian GMT, akan ada tantangan dari pelaku usaha seperti rumah makan padang dan warteg pada saat dilakukan sertifikasi halal. (6) Penyusunan promosi dan digitalisasi wisata halal atau Muslim friendly termasuk digital guide yang dapat mendorong transformasi dan adopsi wisata digital.
Penulis berharap dengan berakhirnya pandemi covid 19 dan apresiasi GMTI menjadi momentum strategis stakeholder pariwisata halal untuk menarik minat GMT berkunjung ke Indonesia. Secara umum peningkatan pengembangan pariwisata halal diarahkan kepada pariwisata yang bertanggung jawab, berkelanjutan dan inklusif.