Oleh Anisa Dwi Utami (Dosen Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB dan Peneliti CIBEST), Laily Dwi Arsyianti (Sekretaris Departemen Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB dan Peneliti CIBEST)
Dalam Sejarah dunia Islam, wakaf uang (cash waqf) baru diperkenalkan sejak awal kedua hijriah. Pada saat itu seorang ulama terkemuka bernama Imam Az Zuhri (wafat 124 H) mengeluarkan fatwa untuk menganjurkan wakaf dinar dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah, sosial dan pendidikan Islam. Adapun di Turki praktek wakaf uang telah familiar sejak abad ke 15 H. Selanjutnya memasuki abad ke 20, seriring dengan berkembangnya berbagai macam ide-ide besar Islam dalam bidang ekonomi dan lahirnya berbagai lembaga keuangan seperti bank, asuransi, pasar modal, dan lain sebagainya, lahir pula berbagai macam gagasan dan pemikiran untuk menjadikan wakaf uang sebagai salah satu instrumen pembangunan perekonomian ummat. Di Indonesia sendiri, sebelum terbit UU nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf, Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa tentang wakaf uang (11/5/2002). Wakaf uang adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai, termasuk di dalamnya adalah surat-surat berharga. Secara umum, wakaf uang hukumnya boleh dengan syarat hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang diperbolehkan secara syar’i. Sesuai dengan kaidah wakaf, nilai pokok wakaf uang selanjutnya harus dijamiin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan dan atau diwariskan. Wakaf uang dapat berarti uang yang diwakafkan, ataupun wakaf melalui uang.
Dalam konteks pengembangan ekonomi ummat, wakaf uang diyakini merupakan salah satu instrumen yang memiliki potensi dan peran yang besar. Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah Indonesia telah meluncurkan wakaf uang pertama kali pada masa Presiden SBY yaitu pada tahun 2010. Selanjutnya Presiden Jokowi kembali meresmikan Gerakan Nasional Wakaf Uang pada 25 Januari 2021. Menurut rilis data Badan Wakaf Indonesia (BWI), sampai dengan Februari 2023, jumlah wakaf uang tercatat mencapai 1,7 triliun, dengan komposisi sebesar 420 milyar berasal dari wakaf uang dalam bentuk CWLS (Cash-Waqf Linked Sukuk). Adapun potensi wakaf uang sendiri diproyeksikan mencapai 180 trilliun per tahun sesuai dengan penghitungan yang dilakukan oleh BWI. Ini artinya tingkat realisasi wakaf uang di Indonesia masih jauh dari potensi yang dimilikinya, sehingga diperlukan berbagai upaya untuk mendorong pengembangan wakaf uang di Indonesia.
Lantas faktor apa sajakah yang menyebabkan masih rendahnya nilai realisasi wakaf uang dibandingkan nilai potensinya tersebut? Berdasarkan hasil beberapa studi, setidaknya terdapat tiga aspek utama yang melatarbelakangi situasi tersebut. Pertama, rendahnya literasi masyarakat terkait dengan wakaf uang. Tidak dipungkiri literasi merupakan tantangan utama yang masih harus dihadapi dalam berbagai sektor keuangan syariah, pun tidak hanya berkaitan dengan wakaf atau wakaf uang. Menurut hasil pengukuran indeks literasi wakaf (ILW) nasional yang dikeluarkan oleh BWI, hingga tahun 2020, nilai ILW secara nasional baru mencapai 50,84 yang dikategorikan rendah. Survey yang dilakukan oleh Badan Kebijakan Fiskal Kementrian Keuangan pada tahun 2019 juga menyatakan bahwa sebagian besar responden menyatakan ketidaktahuannya tentang istiah nazhir dan wakaf uang. Hampir seluruh responden belum memahami tentang pengelolaan dan peruntukan hasil wakaf uang dari lembaga tempat mereka berwakaf.
Peningkatan literasi masyarakat secara siginifikan memerlukan rumusan strategi yang sistematis dengan melibatkan berbagai macam stakeholder yang ada di masyarakat. Secara praktis, rumusan startegi tersebut dapat diinisiasi oleh pemerintah khususnya Kementerian Agama dan Badan Wakaf Indonesia selaku pihak regulator. Akan tetapi tentu saja strategi tersebut seharusnya mampu menjangkau berbagai macam stakeholder di dalam masyarakat sehingga tidak hanya berhenti pada rangkaian program maupun regulasi yang hanya sampai pada tataran konsep atau di atas kertas. Meskipun pemerintah saat ini sudah memiliki instrumen pengukuran terkait dengan tingkat literasi wakaf, tetapi tentu saja pengembangan literasi ini tidak hanya berhenti pada hitung-hitungan angka tersebut.
Kedua, berkaitan dengan kualitas nazhir yang masih terbatas dalam hal kompetensi dan profesionalismenya. Menurut data BWI, saat ini tercatat 343 nazhir wakaf uang yang terdiri dari 165 lembaga dalam bentuk legalitas koperasi syariah, BMT, KJKS, KSPPS, koperasi pondok pesantren, 158 yayasan, 13 organisasi Masyarakat (ormas), 2 perguruan tinggi negeri, serta 3 lembaga BWI daerah dan BWI itu sendiri. Survey yang dilakukan oleh Center for the Study of Religion and Culture (CSRC), dari 500 nazhir yang tersebar di 11 provinsi di Indonesia, hanya sekitar 16% nazhir yang bekerja secara full time, selebihnya (84%) memiliki pekerjaan utama lainnya. Nazhir memiliki peran yang sangat penting dalam pengelolaan wakaf, terlebih dalam praktik pengelolaan wakaf uang yang sangat dinamis dan berkembang sebagai instrumen ekonomi. Nazhir wakaf uang perlu memiliki kompetensi juga dalam memahami tentang bisnis dan investasi untuk menunjang pengembangan wakaf produktif.
Ketiga, belum kondusifnya ekosistem perwakafan dalam mendukung pengembangan wakaf uang nasional. Meskipun saat ini secara regulasi pengembangan wakaf uang sudah memiliki legalitas yang sah, tetapi peraturan yang ada belum mampu menjangkau berbagai praktik pengembangan wakaf di berbagai sektor indutri seperti asuransi, pasar modal, maupun industri keuangan syariah secara umum. Dalam aspek pengumpulan, belum ada sistem mobilitas dana yang efektif sehingga masing-masing lembaga nazhir memiliki strategi yang berbeda yang cenderung bersifat ad-hoc dan tidak sistematis sehingga memiliki jangkauan yang terbatas. Pada aspek pengelolaan, saat ini wakaf uang hanya dapat diinvestasikan pada LKSPWU (Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang) atau harus dijamin oleh lembaga asuransi jika ingin diinvestasikan di tempat yang lain. Namun faktanya, belum ada satu pun lembaga asuransi yang bersedia menjamin hingga saat ini. Hal ini mengindikasikan bahwa belum terbangunnya sistem manajemen resiko dalam pengelolaan wakaf uang sehingga berimbas juga kepada minimnya kepercayaan publik. Pola hubungan nazhir dan lembaga keuangan syariah juga masih menjadi pertanyaan. Menurut laporan Kementrian Agama, saat ini hanya berkisar 40% nazhir wakaf uang yang telah bermitra dengan LKSPWU, sehingga Bank Syariah cenderung menganggap peran LKSPWU sebagai kegiatan sambilan karena minimnya nazhir yang bermitra tersebut. Sementara itu, hingga saat ini belum semua Bank Syariah menjadi LKSPWU. Menurut data Kementrian Agama, per April 2023, tercatat 8 Bank Umum Syariah (BUS) yang menjadi LKSPWU dari total 13 BUS, 15 Unit Usaha Syariah (UUS) dari total 20 UUS, dan 17 BPR Syariah dari total 171 BPR Syariah di Indonesia.
Dari ketiga permasalahan utama di atas yaitu literasi, kualitas nazhir dan ekosistem yang belum kondusif menyebabkan belum tersedianya produk wakaf uang yang menarik dengan transaksi yang mudah bagi msyarakat. Sejalan dengan permasalahan inkompentensi nazhir wakaf uang, pengembangan wakaf uang nasional tidak terlepas dari kebutuhan akan adanya kolaborasi lembaga nazhir wakaf uang selama ini dengan berbagai stakeholder di industri keuangan syariah. Dengan kolaborasi tersebut memungkinkan adanya pengembangan dan implementasi produk wakaf uang yang applicable di semua sektor. Optimalisasi wakaf uang juga dapat dilakukan dalam upaya pengembangan asset wakaf tanah yang nilainya juga sangat besar saat ini.
Dengan demikian, program inkubasi nazhir juga diperlukan selain wakaf tidak hanya diperuntukkan bagi 3M (masjid, makam, dan pesantren), wakaf produktif perlu dikelola oleh nazhir dengan kompetensi dan cara berpikir layaknya enterpreneur. Bagaimana pemanfaatan aset-aset wakaf yang ada selama ini dapat lebih berkembang dan menghasilkan manfaat bagi masyarakat yang lebih luas. Nazhir juga perlu merencanakan agar kondisi wakaf uang yang dimanfaatkan untuk wakaf produktif dapat sustain secara bisnis maupun keuanganny supaya nilainya dapat at least terjaga.
Artikel ini di muat pada https://www.republika.id/posts/45661/pekerjaan-rumah-pengembangan-wakaf-uang-di-indonesia