OLEH Swietenia Tiara Andini, Ni Ketut Dela Yanti, Muhammad Kevin Naufal, Nisayu Kurniawati, Fauzany Ahsa Muhammad (Mahasiswa Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan (ESL) FEM IPB University), Dr Nuva, Nindyantoro (Dosen Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan (ESL) FEM IPB)
Sumber daya energi merupakan faktor fundamental yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi negara. Saat ini, sumber energi utama di Indonesia masih menggunakan bahan baku energi fosil.
Akan tetapi, pada dasarnya Indonesia memiliki banyak sumber energi terbarukan potensial yang diyakini akan berkelanjutan, seperti bioenergi, biogas, panas bumi, bahkan energi berbasis sampah.
Energi berbasis sampah yang dikenal sebagai PLTSa (pembangkit listrik tenaga sampah) jika dikembangkan dengan baik, akan dapat mendukung pemenuhan kebutuhan energi listrik yang ramah lingkungan, selain mengatasi permasalahan timbulan sampah yang terus semakin banyak.
Sebagaimana kita ketahui, permasalahan sampah di Indonesia saat ini telah menjadi isu nasional yang cukup serius, melibatkan sisa-sisa padat dari kegiatan manusia, baik organik maupun anorganik, yang dapat terurai maupun tidak (Utari dkk, 2022).
Jumlah sampah terus meningkat, mencapai 188.259.210,61 ton per tahun pada 2022, dengan volume harian mencapai 50.025,23 ton (KLHK 2022). Jumlah timbulan sampah yang terus bertambah berdampak pada penurunan kualitas lingkungan hidup, menyebabkan dampak seperti pemanasan global akibat emisi gas metana (CH4) dari timbunan sampah.
Kota besar di Indonesia merupakan penyumbang utama timbulan sampah yang berkontribusi sebesar 64 persen terhadap total emisi sampah nasional, dengan potensi emisi sebesar 11.390 ton per tahun (Environmental Health Student Association FKM Universitas Indonesia, 2020).
Selain itu, dari sisi sumber energi yang ada saat ini, khususnya pembangkit listrik bertenaga bahan bakar fosil, seperti diesel dan batu bara, menjadi penyumbang utama emisi Gas Rumah Kaca (GRK).
Masalah emisi energi menjadi isu penting dalam mengurangi dampak perubahan iklim di Indonesia. Dalam rangka mengatasi permasalahan ini, Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai Net Zero Emission pada tahun 2060 atau lebih cepat. Fokus utama dalam mitigasi emisi GRK di sektor energi adalah pengembangan energi baru terbarukan (EBT) seperti Pembangkit Listrik Tenaga Sampah(PLTSa).
Beberapa lokasi PLTSa yang sudah beroperasi di Indonesia di antaranya, PLTSa Putri Cempo yang (Solo), PLTSa Benowo (Surabaya), PLTSa (Bekasi), PLTSa (Surakarta), PLTSa (Palembang), PLTSa (Denpasar). Tidak hanya itu, saat ini pemerintah tengah membangun infrastruktur Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di 12 kota di Indonesia.
Pada periode 2019-2022, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, ada 12 PLTSa yang akan beroperasi guna menyelesaikan persoalan sampah di Indonesia.
Sudrajat (2006) mencatat bahwa setiap ton sampah organik (40-60 persen) menghasilkan 140-200 m3 biogas dengan kandungan metana (CH4) 55 persen, setara dengan 250-300 kwh listrik.
Pasek (2007) menjelaskan bahwa PLTSa, dengan pembakaran pada temperatur 850-900 derajat C, dapat mengolah sampah, memenuhi konsep pemulihan (recovery), dan memanfaatkan sisa pembakaran seperti abu dan debu terbang. Abu dan debu ini, sebesar 5 persen dari volume sampah basah yang dapat digunakan sebagai bahan untuk membuat jalan. Sedangkan fly ash (debu terbang) dapat dicampur dalam material bangunan.
Teknologi pembakaran (incinerator) menghasilkan logam bekas dan uap yang dapat dikonversikan menjadi energi listrik, mengurangi volume sampah hingga 75-80 persen tanpa pemilahan. Abu atau terak dari sisa pembakaran dapat langsung digunakan sebagai bahan pengurug untuk lahan kosong, rawa, atau daerah rendah.
Meskipun menggunakan bahan bakar tambahan, tungku pembakaran dilengkapi dengan burner berbahan bakar minyak. Penggunaan PLTSa di Indonesia sesuai dengan kriteria Best Available Technology Meet Actual Needs, diproduksi secara lokal dengan kapasitas pengolahan 100 ton per hari dan menghasilkan listrik sekitar 700 kWh. Selama lebih dari 20 tahun penggunaannya di seluruh dunia, PLTSa hingga saat ini tidak menyebabkan pencemaran dioksin dan gas beracun lainnya.
Penelitian LAS Widyaputri (2014) membahas terkait nilai manfaat ekonomi reduksi emisi karbon dan analisis ekonomi proyek PLTSa di TPST Bantargebang. Estimasi proyeksi pengolahan sampah menunjukkan bahwa tahun 2009-2023, produk olahan seperti kompos, biji plastik, dan listrik berhasil mengurangi jumlah sampah di TPST Bantargebang sebanyak 7.572.908,8 ton.
Reduksi ini juga berdampak pada pengurangan emisi CO2, dengan asumsi 1 ton sampah menghasilkan 0,0152 ton CO2. PLTSa Bantargebang memiliki potensi ekonomi yang layak untuk dikembangkan, berkontribusi pada pengurangan emisi CO2, dan mampu menghasilkan energi listrik.
Potensi ini diharapkan dapat menjadi contoh bagi PLTSa di Indonesia untuk mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) terkait energi berkelanjutan (SDGs 7), pertumbuhan ekonomi (SDGs 8), industri inovatif (SDGs 9), kota berkelanjutan (SDGs 11), dan konsumsi dan produksi yang berkelanjutan (SDGs 12).
PLTSa berpotensi menjadi energi terbarukan yang berkelanjutan bagi masyarakat Indonesia. PLTSa dengan intermediate treatment facility dapat memproduksi energi terbarukan sebesar 0,101 persen dari keseluruhan penggunaan energi temporer saat ini (Wibisono, 2021) Meskipun hasil energi tersebut dinilai rendah, namun dengan adanya PLTSa tersebut Indonesia dapat terdorong dalam mengejar target energi terbarukan sebesar 25 persen di tahun 2025.
Potensi listrik dari sampah jika diasumsikan 100 ton sampah menghasilkan 1 MW, maka untuk sampah yang ditimbun di TPA diperkirakan akan menghasilkan 8.645 MW dan dari sampah yang tidak terkelola diperkirakan akan menghasilkan 39.649 MW (Misna, 2020).
Selain itu, pengembangan pembangunan PLTSa yang pada dasarnya menggunakan bahan dasar sampah tentunya akan mendukung perekonomian hijau. Pembangkit listrik sejatinya merupakan penyumbang pencemaran. Dengan PLTSa, dapat meminimalkan biaya ekonomi untuk kesehatan masyarakat dan kompensasi lingkungan.
Pengembangan PLTSa juga akan dapat mendorong penelitian-penelitian dalam menciptakan industri pembangkit listrik yang lebih efisien, serta dapat membantu mengurangi dampak lingkungan dari sampah di kota dan permukiman. Di sisi lain, TPA di beberapa daerah di Indonesia telah mencapai kapasitas maksimum bahkan kurang.
Dengan menggunakan teknologi ini, sampah tidak hanya dibuang ke tempat pembuangan akhir, tetapi diubah menjadi sumber energi, mengurangi pencemaran lingkungan dan merespons isu-isu sanitasi perkotaan.
Pengembangan PLTSa dapat menjadi alternatif atau menjadi salah satu solusi pengelolaan sampah berbasis Net Zero Emission, yaitu situasi di mana jumlah karbon yang dilepaskan ke atmosfer tidak melebihi apa yang diserap bumi.
Program ini bertujuan untuk mengurangi pencemaran lingkungan yang dapat menyebabkan pemanasan global. Namun, sebelum dapat mencapai NZE 2060 terlebih dahulu harus dapat mencapai Nationally Determined Contribution (NDC) 2030 di mana NDC pertama Indonesia pada tahun 2015 sendiri menargetkan penurunan emisi sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen pada tahun 2030 jika dengan kerja sama internasional, dilanjutkan dengan NZE 2060.
Selain meningkatkan target E-NDC, upaya Indonesia mencapai NZE 2060 atau lebih cepat dengan salah satu yang terpenting adalah dengan mengurangi pembangkit berbahan bakar batu bara (PLTU) dan membangun pembangkit-pembangkit menggunakan energi baru dan terbarukan.